Antara Ajal dan Sakit

sakitInna liLlahi wa inna ilaihi roji’un…. Ime mengurut dadanya saat membaca status teman SMAnya di Face Book yang menyebutkan, bahwa seorang teman telah berpulang ke rahmatuLlah tadi malam.

“AstaghfiruLlah…, yang bener, Ir?” Ime mengkonfirmasi berita duka yang mengejutkan itu lewat chatting.
” Ya, ampyun… Gile loe,Me.. masa’ gue bo’ong, seh… Nyawa orang getoh…,.ngga bakal gue berani mainin “
“Makanya, dirimu kalau bikin status yang adem. Jangan cuma nyindir dan ngibul, hehehe. Giliran ngasih berita penting, banyak orang jadi ngga percaya.”

Terang saja Ime jadi sangsi. Almarhumah yang juga sohibnya waktu sekolah dulu itu tak menderita sakit apapun ataupun kecelakaan yang tragis. Bahkan dua hari lalu masih terlihat online di FB maupun YM. Yah, itulah salah satu misteri kehidupan … Maut tak bisa ditebak, sebab ia bisa datang kapan saja dan dalam kondisi apapun.

Sejenak Ime teringat kabar sebulan lalu dari Bekasi. Sepupunya, kak Fitri, meninggal dunia di usia yang ke 35 tahun. Ia, seorang bunda dari 2 anak-anak yang manis dan pintar, akhirnya ‘sembuh total’ dari kanker di paru-parunya yang diidapnya sejak 10 tahun lalu. Sakitnya itu akhirnya mengantarkannya pada ajal. Setelah Masa sakit yang cukup panjang bagi seorang pengidap kanker stadium 3.

Yang membuat kaget mendengar kak Fitri pergi untuk selamanya, adalah selama 10 tahun, tak begitu jelas terlihat bahwa dia itu sakit parah. Begitu pandainya ia menyimpan ‘duka’ dari keluarga yang lain. Selalu nampak sumringah bila ngobrol dengannya. Bahkan dua minggu sebelum wafat, ia masih ikut jalan-jalan ke Singapur dengan keluarganya dan beberapa orang family. Seolah ingin mengukir kenangan manis di ujung hayatnya dengan sanak saudara tercinta.

Bayangan Ime pun melayang pada tante kesayangannya di Jakarta. Lima tahun yang lalu bi Tati, biasa ia dipanggil, divonis dokter mengidap gagal ginjal kronis. Bi Tati dan keluarga besar kaget bukan main, tatkala sang dokter mendiagnosa ginjal bi Tati hanya kurang dari 5 % lagi berfungsi, kiri dan kanan. Rupanya, obat hipertensi yang telah diresepkan untuknya berakibat fatal pada organ yang lain. Tidak ada jalan keluar dari petaka itu kecuali cuci darah. Bagai petir di siang hari, tentu hal yang tak disangka, karena sebelumnya bi Tati adalah wanita sehat yang ceria dan aktif.

Seperti siang berganti malam, vonis dokter sangat mempengaruhi psikisnya. Bi Tati yang dulu begitu cantik dan berdandan rapih, kemudian menjadi nampak pucat, lemas, tak bergairah. Hari-hari sibuk dengan jadwal kegiatan pengajian, belanja, silaturahmi, kursus, dan lain-lain, telah berganti menjadi hari sunyi dan sepi. Jika sebelumnya biasa pergi kemana saja, kini langkahnya terasa pendek, seolah kaki tak kokoh lagi berpijak. Tinggallah kini Al Qur’an dan buku agama yang setia setiap saat menghiburnya.

Suatu hari, Ime pernah menemani bi Tati yang saat itu sedang di rawat di rumah sakit. Kondisinya kembali memburuk. Mukanya pucat, tubuhnya demam dan sedikit bergemetar. Melihatnya Ime pun serasa jatuh sakit.

Tak banyak kata keluar dari mulut bi Tati, hanya suara hembusan nafas yang diiring keluhan sakit.
“Ime….” suara serak bi Tati memecah kesunyian yang beku. “Ime, mungkin sudah saatnya… doain ya…, biar ridho….” suaranya lemah terputus-putus. “Laa… hawlaa… wala wuwwata, illa biLlahi…” tangisnya tersedu.

“Bi, sabar…. Bi, tahan dulu, ya” Ime gelagapan. Ia bingung harus ngomong apa dan berbuat apa. Panik, karena tak ada selain dirinya yang menemani Bi Tati. Segera ia pencet tombol memanggil suster.

Badan Bi Tati semakin panas saja ia rasakan, padahal tangan Ime-lah yang semakin dingin. Tubuh Bi Tati yang terkulai lemah, hampir tak bergerak. Ime pun mengirim sms SOS ke ibunya, kakak bi Tati, minta segera datang ke RS.

Tak lama suster pun datang, memeriksa perlengkapan infus lalu menyapa bi Tati.

“Ibu Tati, bagaimana? Apa yang ibu rasakan?” Suster mengguncangkan-guncangkan badan bi Tati. Tak ada respon yan jelas, lalu mulailah mereka melakukan tindakan medis. Sementara Ime masih terpaku di tempatnya, serasa ia juga mau ikut pingsan.

Kabar terakhir dari Jakarta, Bi Tati saat ini baik-baik saja. .Walaupun harus kontrol ke RS secara rutin, namun sudah terasa lebih sehat. Hari-hari pun kini dilaluinya dengan rasa optimis, terlebih lagi dengan kehadiran cucu-cucu baru yang mungil dan cantik. “Syukurlah, semoga Allah sehatkan jasmani dan ruhaninya,” harap Ime dalam hati.

Ada banyak orang sehat telah ‘pergi’ mendahului yang sakit. Ada banyak orang yang merasa sehat, sesungguhnya dia sedang sakit. Dan sakit belum tentu ajal, sebagaimana ajal bukan harus selalu karena sakit. Adalah ruang yang terpisah antara sakit dan ajal.

Sepatutnya yang menjadi kerisauan adalah terlupanya kita akan intaian ajal,  meskipun kita dalam kondisi sehat wal afiat. Kondisi demikian biasanya membuat manusia menjadi terlena dan tidak mempersiapkan ‘bekal’ yang cukup untuk menghadapi yaumil hisab. Ah, sungguh teramat celaka, bila itu terjadi pada diri kita….

Ime kemudian memandangi langit yang mendung. Hujan belumlah turun, tapi wajah Ime telah basah kuyup. Hatinya campur aduk antara cemas dan harap. Masih banyak hal yang belum ia lakukan dengan baik. Banyak orang yang belum ia perlakukan dengan baik, dan banyak mimpi yang ingin ia raih. Namun di sisi lain, ada harap untuk bertemu Sang Cinta di tempat yang terbaik. “Bilakah waktunya giliran hamba, ya Robbiy…,” tanya Ime. Wajahnya terus mendongak ke atas, seolah-olah menunggu jawaban dari langit seiring dengan rintiknya hujan gerimis.

“Dan setiap umat mempunyai ajal (batas waktu). Apabila ajalnya tiba, mereka tidak dapat meminta penundaan atau percepatan sesaat pun” (QS Al -A’raf: 34 – terjemahan Depag RI)

ditulis di Okayama-Jepang

Ps: Utk sahabatku yang terbaring di rs,…syafakiLlah, ganbatte ne…, utk adek Mawa yang menjalani operasi, cepat sembuh dan ceria lagi, ya… utk bi Icih tersayang…, smg Allah melipatgandakan pahala atas kesabaran bi Icih.