Belajar Meruqyah Dari Jin

kematianSekitar tujuh tahun yang lalu, pada suatu hari saya diajak teman untuk meruqyah seseorang, saya bertanya dalam hati, “Apa itu ruqyah? ” “Dan bagaimana caranya? ” Ada sedikit rasa penasaran dalam hati, karena saya memang belum pernah meruqyah dan juga belum pernah melihat dengan mata kepala sendiri orang diruqyah.

Setelah melihat prakteknya, ternyata ruqyah itu mudah, tidak sesulit yang dibayangkan, intinya cuma membaca Al-Quran sampai jin yang ada di badan orang yang kesurupan bereaksi, entah berbicara atau mengamuk, kemudian setelah itu menyuruhnya keluar dari badan orang yang disurupinya. Sebagaimana Nabi kita sendiri shallallahu ‘alaihi wasallam ketika sahabatnya Utsman Bin Abil Ash merasa kesurupan beliau memukul dadanya kemudian berkata, “Keluarlah wahai musuh Allah, dari dada Utsman. “(HR.Ibnu Majah)

Pernah suatu hari ketika saya bersama teman-teman jalan-jalan di kota Bogor, ada kabar dari teman saya bahwa kakaknya kesurupan jin. Karena didorong rasa ukhuwwah (solidaritas), kamipun menghentikan rencana kami untuk jalan-jalan, kemudian kami membantu teman kami yang terkena musibah ini.

Dituntunlah kami oleh teman ini sampai suatu masjid yang saya tak tahu apa namanya, rupanya kakaknya akan diruqyah di situ dan saya baru tahu ternyata yang akan diruqyah adalah kakak perempuannya. ketika kami sampai di masjid, ternyata banyak orang yang sedang meruqyah. Terdengar suara aneh dan mengerikan, seperti suara harimau bercampur suara orang dari berbagai bahasa seperti bahasa Cina, Bali, bahasa Inggris, kadang terdengar suara laki-laki, kadang suara perempuan. Rupanya itu suara jin yang ada di dalam tubuh kakak teman kami itu, entah berapa puluh jin yang ada di dalam tubuhnya.

Mulailah kami membaca Al-Quran dari surat apa saja yang kami kehendaki, maka terdengarlah suara teriakan dari yang kesurupan itu tapi tentunya jin yang berteriak seperti itu. Kadang kami baca serentak, kadang bergiliran, dan teruslah jin itu berbicara dan berteriak dengan berbagai bahasa. Sedikit menakutkan memang, tapi tak terlalu membuat saya panik.

Yang membuat saya panik dan stress justru tatkala si jin itu menggoda dengan suara perempuan yang sangat lembut,”Hai, Cowok.. Hai, cowok..sini dong, duh suaranya lembut sekali itu..” Jantung saya berdegup cepat. Astaghfirullah, bahaya sekali nih, bisa-bisa saya terfitnah juga. Saya pikir, mungkin lebih baik orang yang meruqyah adalah orang yang sudah menikah, karena siapa tahu mereka lebih kuat menahan godaan seperti itu.

Setelah lebih dari satu jam, kami merasa lelah, kami pun memutuskan untuk beristirahat sebentar. Datanglah teman kami yang baru tiba, ia telat datang karena baru saja mendengar kabar tentang yang kesurupan itu belakangan. Kamipun mempersilahkannya untuk baca. Ia pun membaca surat Al-Baqarah, tatkala ia baru saja memulai bacaan sekitar beberapa ayat, terdengar suara tawa dari si jin, “Hahaha.. Tajwidnya nggak bener tuh, salah-salah! Hahaha…”

Subhanallah, apa jin itu pernah belajar tajwid juga? Kok bisa-bisanya ngajarin, ya? Karena memang bacaan teman kami ini berantakan bin semrawut, tak tahu kemana tajwidnya, bacaan yang harakatnya panjang dibaca pendek, yang pendek di baca panjang. Benar-benar tak sedap di dengar!

Teman kami ini yang tadinya pede (percaya diri) ketika memulai bacaan, setelah ditertawakan si jin, suaranya jadi gemetaran dan bacaannya makin tidak karuan dan semrawut. Pikir saya, kalau semua yang meruqyah seperti ini bagaimana reaksi jin itu nanti? Mungkin ia akan tertawa terpingkal-pingkal.

Setelah menghabiskan waktu sampai empat jam lebih dan kebetulan bertepatan dengan adzan zhuhur, kami hentikan ruqyah. Entah berapa jin yang sudah keluar dan berapa jin yang masih di dalam tubuh yang kesurupan itu, tapi sepertinya jin itu sudah sangat kelelahan dan kecapean, ia tidak lagi berteriak seperti awal kali ketika diruqyah, suaranya makin melemah dan tak bertenaga. Akhirnya ruqyah dilanjutkan keesokan harinya tapi tentunya bukan kami yang meruqyahnya tapi orang lain, karena kami harus pulang ke rumah masing-masing. Itu pengalaman (ikut) meruqyah yang berharga buat saya, mudah-mudahan bermanfaat bagi saya untuk ke depannya.

Ada lagi kejadian yang masih berhubungan dengan ruqyah, kejadian ini terjadi waktu saya masih kecil. Ketika itu saya mungkin masih di bangku kelas 1 SD. Pada suatu hari ada salah satu anggota keluarga saya yang kesurupan jin, ia belakangan sering melamun, emosinya sering susah dikontrol dan kemarahannya mudah meluap-luap tanpa sebab yang jelas. Keluarga sayapun berinisiatif mencari orang yang bisa meruqyahnya (atau lebih cocoknya untuk zaman itu/tahun 90-an, mengobatinya, karena waktu itu istilah ruqyah belum populer di indonesia).

Akhirnya ada juga yang akan mengobatinya, ia orang yang masih dianggap kerabat oleh keluarga saya, ia adalah anak angkat nenek saya, makanya saya menganggapnya sebagai paman saya. Dari pembicaraan yang saya dengar dari kakak saya, saya jadi mengetahui kalau si paman ini memiliki “ilmu putih”

Yang masih saya ingat ketika itu adalah setiap kali ia datang untuk mengobati, ia langsung “mengheningkan cipta” di kamar belakang rumah saya, kemudian setelah itu ia minta dibawakan makanan tertentu yang ia pesankan kepada keluarga saya sebelumnya. Saya menduga ia mungkin lapar dan ingin menyantapnya, tapi setelah ditengok, kok makanannya masih utuh? Lantas makanannya selama ini untuk siapa?

Setelah saya dewasa, sadarlah saya, ternyata makanan itu untuk jin! Astaghfirullah, maksudnya mengusir jin, eh malah nurutin kemauan jin dijerumuskan ke perbuatan dosa paling besar diantara dosa-dosa besar, yaitu syirik! Astaghfirullah, memang waktu itu keluarga saya kurang mengenal agama dengan benar, makanya tidak mengerti banyak perkara yang dilarang agama. Ya Allah, ampunilah mereka semua dan jangan Kau siksa mereka karena ketidaktahuan mereka…

Dari dua kasus di atas saya bisa mengambil beberapa pelajaran penting, di antaranya:
1. Hendaklah seorang yang ingin meruqyah bisa membaca Al-Quran dengan baik. Tidak mesti ia menjadi seperti qari atau seperti imam masjidil haram dahulu, akan tetapi yang penting bisa membaca Al-Quran dengan baik dan benar sesuai dengan makhraj (tempat keluar) hurufnya dan ilmu tajwid. Karena kalau tidak, ia akan jadi “korban” seperti teman saya tadi, yaitu ditertawakan dan dilecehkan jin karena bacaannya yang belepotan itu. Walaupun saya yakin jin itu tetap kepanasan mendengar bacaannya, akan tetapi tetap saja efeknya kurang terasa buat si jin.

2. Hendaknya yang meruqyah adalah orang yang memiliki iman yang kuat. Tidak mesti ia memiliki keimanan seperti Abu Bakr radhiyallahu’anhu atau seperti Umar Bin Khaththab radhiyallahu’anhu dahulu, karena tak mungkin keimanan kita akan menyamai keimanan mereka berdua, akan tetapi yang penting ia memiliki keimanan yang sanggup membentenginya dari godaan jin. Karena kalau tidak, bagaimana kalau jin itu menggodanya? Seperti jin yang merasuki kakak teman saya tadi ia memanggil dengan suara perempuan yang sangat lembut dan sangat menggoda, selain itu yang kesurupannya juga perempuan, maka apa mungkin orang yang lemah imannya bisa tahan dengan ini?

3.Hendaklah yang meruqyah itu orang yang memiliki ilmu agama yang kokoh. Tidak mesti ia menjadi ulama dahulu atau menjadi ustadz dahulu, yang penting ia mengerti mana perkara yang dibolehkan islam dan mana yang dilarang. Karena kalau tidak, ia akan tertipu oleh jin sehingga terjatuh kepada perkara yang diharamkan oleh islam, entah terjatuh kepada kesyirikan atau kepada bidah atau kemaksiatan.

Ibnu Hajar dalam Fathulbari menjelaskan bahwa para ulama telah bersepakat tentang bolehnya ruqyah ketika terpenuhi tiga syarat:

1.Meyakini bahwa ruqyah tidak berpengaruh dengan sendirinya, namun dengan sebab izin Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Artinya yang menentukan itu Allah sedangkan ruqyah itu semata-mata hanya sebab saja.

2.Menggunakan Kalamullah atau nama-nama dan sifat-Nya.
Artinya ruqyah itu tidak mengandung perkara yang bertentangan dengan syariat, seperti ada unsur doa kepada selain Allah atau istighotsah (meminta tolong) kepada jin dan yang semisalnya.

3.Menggunakan bahasa Arab atau yang selainnya, selama maknanya dipahami.
Artinya bukan seperti bahasa atau ucapan dukun yang kita tidak mengerti sama sekali, bahkan si dukunpun kadang tak mengerti apa yang ia ucapkan.

Mungkin kita akan menemui orang yang akan meruqyah kita dalam keadaan tidak memenuhi ketiga syarat itu, kalau memang begitu, jangan biarkan ia meruqyah kita, tapi justru kitalah yang meruqyahnya! Siapa tahu ada jin yang keluar darinya!

Jakarta, 17 Sya’ban 1431/29 Juli 2010
[email protected]