Ketika Itulah Hakikat Wajahmu Tersingkap

Langkahnya begitu cepat. Nafasnya memburu. Tak ada pilihan, selain segera menyelamatkan diri, atau musuh menangkapnya. Semak belukar, duri-duri pohon sagu dan berbagai rintangan tak lagi ia hiraukan. Yang ada di pikirannya hanya satu kata. Pulang. Ya, ia harus pulang. Harus segera pulang, atau musuh akan menangkapnya.

Di tengah suasana hati yang gundah, cemas bercampur takut, tiba-tiba… “Akhi, jangan tinggalkan ana…” suara seseorang menghentikan langkahnya. Suara siapakah ini? Ia tengok ke arah sumber suara. Ia dapati seorang pria tergeletak di dekat pohon sagu mengerang meminta pertolongan.

Ia dekati pria itu, ternyata ia temannya sepasukan. Mukanya tampak pucat, bajunya bersimbah darah, ia merintih kesakitan. Terjangan peluru sepertinya telah mengoyak badannya. Ia tak menyangka, setelah pasukan musuh menggunting dan mengepung pasukannya, ternyata ada juga anggota pasukan yang masih selamat selain dirinya.

Kini temannya terluka parah. Tak mampu lagi ia berdiri apalagi berjalan. Ia hanya bisa berbaring.

Melihat kondisinya yang begitu berat, ia pun jadi iba. Maka tak berpikir panjang, ia pun gendong temannya itu. Detik demi detik berlalu begitu cepat, namun mereka belum juga sampai ke tujuan. Setelah menempuh perjalanan beberapa lama, jauhnya jarak yang harus ditempuh dan beratnya bobot tubuh temannya benar-benar membuat tenaganya terkuras habis. Ia pun ambruk. Tak kuat lagi ia untuk menggendong temannya. Nafasnya terengah-engah, keringat membanjiri badannya dan membasahi pakaiannya.

Tak mungkin melanjutkan perjalanan pulang kalau kondisinya seperti itu. Lantas apa yang harus dilakukan? Mesti segera ambil keputusan. Karena kalau tidak, musuh akan menyusul dan menangkap mereka hidup-hidup. Ia pun berpikir dan berpikir. Setelah memeras otaknya dengan begitu keras, akhirnya…

Ia akan tinggalkan temannya untuk sementara, lalu segera menuju kampung muslim yang terdekat. Sesampainya disana, ia akan kembali bersama beberapa orang penduduk untuk mengangkutnya.

Ia pun utarakan idenya itu kepada temannya. Tertegunlah temannya. Sorot matanya tampak memelas. Ia pun jadi iba sekaligus ragu, apakah ia harus meninggalkan temannya itu? Ia paham temannya tak ingin ditinggalkan. Berat hatinya melepasnya pergi. Rasa khawatir dan takut jika musuh menangkapnya tentu memenuhi pikirannya. Namun tak mungkin lagi baginya untuk menggendongnya. Sebab tak ada lagi tenaga untuk itu. Maka, mau tak mau ia harus pergi dulu.

Ia kembali menjelaskan kondisi yang sebenarnya dan meyakinkan temannya bahwa ia akan menjemputnya bersama penduduk setelah sampai di kampung terdekat. Setelah mendengar penjelasannya beberapa lama, dengan berat hati temannya pun merelakan kepergiannya.

Pergilah ia dengan langkah yang dipercepat. Berjalan terus dan terus hingga sampailah di satu kampung muslim terdekat. Ia pun segera meminta bantuan penduduk untuk mengambil temannya yang terluka di hutan. Maka lekas-lekaslah ia bersama beberapa orang penduduk dengan membawa beberapa senjata rakitan menerobos kembali belantara hutan yang cukup lebat demi menjemput temannya itu.

Sampailah mereka ke tempat yang dituju. Namun, di manakah temannya? Mengapa ia tidak ada di situ. Mereka pun terus mencari dan mencari, tapi tak kunjung menemukannya. Hari pun telah senja, matahari hampir saja tenggelam ke peraduannya, maka makin menipislah harapan mereka. Setelah melakukan pencarian yang melelahkan dan melihat kondisi yang tak memungkinkan lagi untuk melanjutkan pencarian, mereka pun memutuskan bahwa temannya raib, tak ditemukan. Entah ia lupa dimana meninggalkan temannya itu sehingga ia mati kehabisan darah, atau musuh telah menangkapnya hidup-hidup lalu mencincang-cincangnya! Maka menangislah ia sejadi-jadinya.

Ia benar-benar menangisi temannya. Sosoknya, wajahnya, matanya dan suaranya yang merintih benar-benar terbayang-bayang di pikirannya. Ia menyesal telah meninggalkannya sendirian di hutan. Ia pun hanya bisa menangis dan menangis.

Demikianlah kesedihan seorang muslim terhadap saudaranya seiman dan seperjuangan. Mereka sama-sama berjuang, sama-sama terjun di medan yang mempertaruhkan nyawa, namun temannya ternyata sudah lebih dulu mendahuluinya.

Perjuangan mereka memang belum terlalu lama berlalu. Cuma itu pun cukup untuk membuat orang lupa akan nilai darah dan air mata yang pernah terkorbankan demi perjuangan itu. Ya, perjuangan membela saudara-saudara mereka yang tertindas di suatu tempat di belahan bumi nusantara ini. Di tempat yang menjadi saksi bisu kekejaman musuh Islam. Tempat dimana air mata dan darah kaum muslimin pernah tumpah dan membanjiri bumi itu. Peristiwa yang sekali lagi, tak terlalu lama sebenarnya, namun terlupakan atau dilupakan. Ya, itu sepuluh tahun lalu. Sepuluh tahun lalu. Apakah itu waktu yang lama?

Peristiwa di atas tentu bukan untuk hiburan atau diratapi, melainkan hendaknya untuk dipetik darinya hikmah dan pelajaran yang bermanfaat bagi kehidupan kita. Tapi apa hikmah dan pelajaran itu? Wallahu a’lam, dari peristiwa di atas kita jadi tahu, bahwa keimanan dan ketakwaan seorang hamba itu benar-benar diuji ketika menghadapi rintangan dan cobaan.

Betapa mudah orang menyatakan bertakwa di saat lapang, tapi ketika kondisi kritis dan sempit, mampukah ia mempertahankan ketakwaannya? Betapa mudah orang menyebut itsar (mendahulukan orang lain atas diri sendiri) di saat aman dan tenteram, tapi saat keadaan yang menentukan hidup atau mati, sanggupkah itsar ketika itu? Di saat diri terancam, akankah memikirkan pula keselamatan saudara yang lain?

Karena itu, tidaklah salah bila ulama menyatakan bahwa jika kita ingin tahu hakikat seseorang, bisa dilihat ketika dalam safar (bepergian jauh). Mengapa demikian? Rasulullah SAW bersabda, “Safar adalah setengah dari azab.” Di dalam safar ada hambatan dan rintangan yang menekan jiwa dan fisik, karena itu lunturlah penampilan lahiriah seseorang dan terselaklah jati dirinya ketika itu. Terlihatlah kejujuran dan kedustaan. Ego dan emosi.Dan memang, safar pun secara bahasa artinya menyingkap. Ya, yaitu menyingkap wajah, watak dan karakter asli seseorang.

Seseorang dosen pernah menyebutkan suatu atsar dari Umar bin Khaththab (yang saya belum tanyakan sanadnya). Suatu hari ada seseorang memuji seorang pria di dekat Umar bin Khaththab. “Dia seorang pria yang saleh,” Demikian pujinya. Maka Umar pun bertanya, “Apakah kamu pernah bertetangga dengannya? Orang itu menjawab, “Tidak.” Umar bertanya lagi, “Apakah kamu pernah melakukan safar bersamanya?” Ia menjawab lagi, “Tidak.” Lantas Umar pun berkata, “Kalau begitu, dari mana kamu tahu kalau ia itu orang yang saleh?!”

Dan yang lebih kita takutkan adalah ketika kita memasuki “safar abadi”. Yaitu tatkala sakaratulmaut menjemput. Ketika itulah kemaksiatan, borok-borok dan dosa-dosa tak bisa disembunyikan lagi. Siapa yang sehari-harinya memang menyembunyikan nifak, riya, maksiat akan Allah bongkar. Aibnya akan terlihat. Adakalanya seseorang terlihat saleh, rajin ibadah menurut pandangan manusia, tapi ia ternyata menyembunyikan kemaksiatan selama hidupnya, beribadah karena mengharapkan pujian manusia, maka Allah pun akan bongkar hakikat sebenarnya di akhir hayatnya…wallahulmusta’an.

“Sesungguhnya segala perbuatan ditentukan pada akhir hayatnya.” (HR. Bukhari)

Jakarta, 17 Sya’ban 1432/18 Juli 2011

Anungumar.wordpress.com