Belajar dari Seorang Ibu Tua

Sabtu lalu saya sekeluarga bergegas berangkat ke masjid Al-Falah, sebuah masjid yang didirikan oleh orang-orang Indonesia di Berlin. Khawatir acara pengajian yang biasa diadakan tiap penghujung bulan itu sudah di mulai, kami berlari-lari kecil sambil diiringi tawa riang anak-anak mengejar bis yang hampir saja meninggalkan kami.

Yah apa boleh buat, sekalipun bis bisa terkejar, kami tetap terlambat 10 menit dari acara yang ditetapkan. Eh begitu masuk masjid, ternyata suasana masih lengang, saya hanya melihat beberapa ibu dan panitia yang sedang mengecek sound system, dan lain-lain. Saya segera menyalami beberapa ibu yang sudah hadir tadi kemudian mencari posisi duduk di pojokan dekat heizung.

Tak lama seorang ibu lebih dari separuh baya (mungkin sekitar 70 tahunan) menghampiri saya. Saat melangkah, beliau berjalan tertatih-tatih, raut mukanya sedikit mengernyit, seperti menahan sakit. Saya bantu beliau duduk menyender di heizung, lalu mulailah kami saling menanyakan kabar.

Saya mengenal sosok ibu tersebut belum lama ini. Namun nama beliau sudah lebih duluan akrab di telinga saya karena seorang sahabat menceritakan tentang beliau yang rutin mengaji privat pada sahabat saya itu. Akhir-akhir ini beliau sering saya lihat mendatangi masjid saat ta’lim ibu-ibu tiap hari Selasa. Saya mendengar pula dari sahabat yang lain, beliau juga selalu datang di hari jumat.

Entah mengapa, setiap pandangan kami berpapasan, hati saya berdesir aneh…mungkin saya jadi teringat ibu saya di kampung halaman. Termasuk sore itu, saat beliau duduk begitu dekat dengan saya. Rambutnya sudah hampir semuanya memutih, namun sorot matanya masih memancarkan semangat. Ini dia, hati saya mulai dijalari rasa ingin tahu lebih banyak untuk mengenalnya.

Aha, ternyata tak lama kemudian beliau bertutur, tinggal lumayan jauh di pinggiran Berlin, bersuamikan orang Jerman dan belum dikaruniai cahaya mata. Sejenak beliau terdiam, pandangannya menerawang, lalu tak lama kemudian meraih putri saya, Nazhifa, memeluknya dengan penuh sayang. Saya merasakan ada semacam kerinduan yang sangat akan kehadiran anak dari sikapnya saat itu.

"Tahukah nak, apa yang membuat saya selalu datang kemari?"tanya beliau. Saya tersenyum, namun belum sempat menjawab, beliau segera menjawab sendiri pertanyaan yang dilontarkannya. "Saya ingin Allah meridhai upaya saya saat ini, saya akan terus belajar hingga saya bisa lancar membaca al-qur’an." "Saya tak memiliki anak yang akan mendoakan saya bila kelak saya meninggal, saya ingin langkah kaki ini yang mesti harus selalu diseret, menjadi peringan siksa di kubur…"

Beliau kemudian menatap saya lama, ada bulir-bulir air mata di sana, saya tertunduk merasa tak kuasa membalas tatapan sedih itu. "Nak, jangan kaya’ ibu ya nak? Baru belajar al-Qur’an di usia senja gini. Bener-bener ibu menyesal, jangankan untuk menghapal surat, menghapal huruf-huruf saja, ibu sudah kepayahan…" lanjut beliau. Oya, baik-baik juga mendidik anak-anakmu ya nak, biar doa mereka menjadi cahayamu di alam kubur nanti…"

"Insya Allah ibu…terimakasih nasehatnya." jawabku. Alhamdulillah ya Allah, Engkau mengingatkanku lewat ibu itu. Kini saya tahu, kenapa hati saya selalu berdesir tiap kali menatap beliau. Usia dan kelemahan fisiknya, tak menghalangi beliau untuk berangkat mengaji. Yah, saya merasa semangatnya yang menyala-nyala itulah yang menghentak hati saya untuk bisa sesemangat beliau (bahkan harus lebih!) dalam mempersiapkan bekal kepulangan saya dan juga keluarga ke negeri abadi.

********************

* heizung = pemanas ruangan