Berakar Pada Masalah Iman

Di lantai 22 sebuah gedung plaza perkantoran di kawasan bundaran HI ini, untuk sementara saya bekerja sebagai tenaga freelance berbasis project (kegiatan). Karena tidak ada ruang lain yang bisa dipakai, saya bekerja dengan menggunakan ruangan rapat yang ukurannya relatif kecil tidak sebanding dengan jumlah ventilasi udara AC-nya yang lebih banyak. Akibatnya, ruangan ini menjadi ruangan paling dingin di kantor. Masing-masing penghuni kantor tidak ada yang memiliki kendali atas volume AC karena semua AC di gedung plaza ini dikendalikan secara sentral. Karena dinginnya ruangan itu, jika saya berlama-lama di sana, begitu keluar ruangan, sekujur telapak tangan saya menjadi dingin. Itulah kesan kebanyakan rekan kerja ketika menjabat tangan saya ketika berada ruangan atau selepas keluar darinya.

Siang itu, bunyi adzan dhuhur dari sebuah laptop pun berbunyi. Saya segera bergegas menuju musholla gedung yang berada di lantai 2. Untuk menuju ke sana saya harus turun lift –yang diperuntukkan untuk lantai 9-31– ke lantai 1 dulu, baru naik lift lagi –yang diperuntukkan untuk lantai 2-6– ke lantai 2. Total lift yang ada digedung ini cukup memadai yaitu ada 11 lift, sehingga lalu lintas naik turun lantai pun berjalan cukup lancar. Di samping lift ada juga tangga darurat yang menghubungkan setiap lantainya. Mereka yang tidak sabar menunggu lift datang, atau karena akan bergerak hanya satu lantai saja, atau karena ingin sambil berolah raga, bisa saja menggunakan tangga-tangga darurat itu.

Namanya musholla, ruangan yang terbentang pun tidak cukup luas. Sungguh disayangkan, gedung yang megah ini tidak memiliki masjid. Padahal saya yakin, jumlah kaum muslimnya adalah mayoritas mutlak. Hal ini terlihat pada setiap diselenggarakannya sholat Jum’at di kantor, di mana pengelola merubah aula gedung yang berada di lantai 1 menjadi sebuah masjid, jamaah yang datang pun cukup banyak memenuhi seisi ruangan yang luas hingga ke lobby gedung, sangat kontras dengan jamaah yang hadir di musholla.

Sedikitnya jamaah yang datang di musholla bisa disebabkan oleh banyak faktor. Karena kapasitasnya yang kecil atau lokasinya yang harus ditempuh dengan dua kali naik lift sehingga terasa merepotkan. Akan terasa berbeda andaikan musholla itu berada di lantai 1, maka pastilah mereka lebih menyukai berkunjung ke musholla sebelum berburu santap siang di luar gedung. Namun agaknya, rumah Allah di banyak gedung perkantoran atau mall, sering ditepatkan pada posisi yang kurang strategis sehingga jumlah pengunjung pun terbatas. Lebih-lebih jika mengingat kesadaran umat akan arti sholat jamaah yang masih kurang, wajarlah jika mereka lebih menyukai sholat di masing-masing ruangan kantornya.

Sehabis sholat di musholla lantai 2 itu, saya keluar gedung mencari santapan siang. Banyak pedagang kaki lima yang menjajakan makanan di luar gedung. Saya memesan nasi gado-gado untuk saya bawa ke ruangan kerja di lantai 22.

Usai makanan disiapkan, saya pun membayarnya kemudian bersegera menuju lift di lobby. Begitu kaki menginjakkan halaman lobby gedung, saya dikagetkan oleh suatu pemandangan yang tidak lazim. Banyak sekali orang bergerombol, duduk-duduk bersila, dan berbincang keras-keras di lantai beranda lobby gedung yang tidak ber-AC itu. Mereka membentuk kelompok-kelompok yang terpisah satu sama lain namun saling berdekatan. Semula saya berfikir ada demonstrasi buruh karena saking riuh rendahnya suasana yang ada. Herannya, saya tidak melhat adanya juru bicara yang berteriak-teriak memberi komando di depan mereka.

Belakangan saya menyadari, mereka hanya berkumpul-kumpul kongkow di beranda lobby gedung itu hanya untuk melampiaskan keinginan —setelah sekian jam menahannya— untuk merokok. Padahal di sisi barat, ada ruangan yang diperuntukkan khusus buat yang ingin merokok. Rupanya ruangan itu dianggapnya terlalu sempit dan pengap, mereka lebih leluasa dan nikmat merokok di pelataran gedung di mana banyak karyawan yang keluar masuk melalui mereka.

***

Di beberapa masjid yang saya kunjungi, di setiap habis pelaksanaan sholat jamaahnya (terutama sholat maghrib, isya atau subuh) mereka selalu mengumandangkan dzikir keras-keras melalui mikropon. Saya selalu merasa tidak bisa melakukan dzikir pribadi kecuali harus melebur mengikuti bacaan dzikir mereka. Karena terkadang bacaan dzikirnya tidak standar, seringkali akhirnya saya harus cepat-cepat pergi atau pulang kemudian melakukan dzikir pribadi di sepanjang jalan atau di rumah.

Yang cukup menyedihkan adalah manakala kami harus membentuk jamaah baru karena terlambat mengikuti sholat jamaah di masjid itu. Jika saya harus menjadi iman, maka saya harus bersuara keras-keras agar jamaah mendengar bacaan saya. Itu pun saya tidak yakin apakah jamaah mendengar bacaan saya atau tidak. Jika saya menjadi makmum, seringnya saya tidak bisa mendengar bacaan sang imam, baik bacaan surat atau takbir-takbirnya, karena tertutupi oleh suara bacaan dzikir sang imam sholat yang lebih keras membahana.

Namun di beberapa masjid lain, ketika tidak saya temukan suara dzikir yang keras membahana itu, suasana ibadah terasa lebih nikmat dan khusyuk. Umumnya di masjid itu, sang imam atau pengurus masjidnya adalah orang yang cukup intelektual dan kritis (sadar) terhadap fleksibilitas hukum agama (fiqh). Sebagai misal, Sang Imam tetap mengumandangkan dzikir ba’da sholat dengan tujuan membimbing jamaah yang masih awam, namun ia tidak menggunakan mikropon atau ia bisa menyesuaikan diri sehingga tidak menganggu jamaah yang sedang menunaikan sholat atau melakukan dzikir pribadi.

***

Dua fenomena kecil yang cukup berbeda di atas memberikan hikmah berharga tentang perilaku jahiliyah (kebodohan) yang kental meliputi umat. Baik kebodohan dalam berbuat aniaya maupun kebodohan dalam berbuat ketaatan.

Berbuat aniaya adalah aib yang harus disembunyikan. Jika pun terpaksa berbuat aniaya, seharusnyalah tindakan itu dilokalisir sehingga tidak membawa mudharat bagi orang banyak. Merokok adalah sebentuk perbuatan aniaya. Semua dokter dan para ahli kesehatan sepakat bahwa merokok itu berbahaya bagi kesehatan dan memiliki mudharat jauh lebih banyak. Sesuatu yang kadang tidak saya mengerti, kenapa mereka justru bangga mempertontonkan aib khalayak. Dan lagi, kenapa mereka tidak membatasi diri di ruangan khusus merokok sehingga bahayanya tidak menyebar?

Ada esensi dasar yang pada akhirnya kita memaklumi. Mereka masih jahil (bodoh) sehingga mengunggulkan egoisme di atas empati terhadap banyak orang. Paradigma berpikir mereka sudah salah kaprah. Merokok dianggap sebagai hak azasi. Padahal hak azasi itu adalah untuk mempertahankan kebenaran bukan mempertahankan kerusakan khususnya bagi orang banyak.

Dalam kasus berzikir keras-keras, mereka juga memiliki paradigma yang salah kaprah. Mereka mengira bahwa dengan tindakannya itu, mereka berbuat kemuliaan yang menjadikan ibadahnya sempurna. Kenyataannya, dzikir mereka cukup menganggu ketenangan dan kekhusyukan jamaah lain yang sedang sholat. Sangat disayangkan, andaikan aktivitas yang mereka niatkan untuk ibadah itu ternyata tidak bernilai ibadah karena mendzalimi orang lain. Seperti halnya orang memberi sedekah, namun dengan mengeluarkan kata-kata yang merendahkan.

Sesungguhnya esensi yang menjadi motifnya pun sama. Mereka belum memahami Islam yang sebenarnya. Mereka belum memahami benar apa arti dan makna ibadah itu. Tiadalah mungkin sempurna nilai sebuah ibadah manakala ada unsur kedzoliman didalamnya. Dan tiadalah mungkin sempurna nilai sebuah ibadah manakala ada unsur keegoan dan kebodohan didalamnya, jauh dari tuntunan Allah dan Rasul-Nya.

***

Melihat fenomena kebodohan, ketidakfahaman, dan aneka persangkaan yang tidak benar itu, menjadikan hati ini menjadi miris dan makin memahami realita bahwa jalan dakwah yang harus dilakukan dalam rangka mengentaskan mereka dari kegelapan itu masih demikian panjang, tidak seorangpun bisa memprediksikan kapan berakhirnya.

Tentu saya tidak bermaksud takabur atau merasa diri telah jauh dari kebodohan itu. Saya bermaksud menegaskan bahwa boleh jadi segala bencana yang kita alami ini adalah realitas atau akibat dari kejahiliyahan kolektif yang kita hadapi.

Sebagai contoh adalah bencana pemimpin yang tidak amanah. Umat mengkritik seorang pemimpin yang ternyata tidak memenuhi harapan mereka karena ternyata ia lebih mementingkan kepentingkan golongan dan sesaat dibanding kepentingan rakyat banyak dan berjangka panjang.

Tanpa bermaksud membela sang pemimin itu, kadang timbul pertanyaan yang tidak habis mengerti, kenapa mereka dulu memilihnya? Kenapa mereka dulu mau diiming-imingi uang yang tidak seberapa jumlahnya agar memilih mereka? Bukankah bencana ini karena sikap masa bodoh mereka terhadapterpilihnya seorang pemimpin?

Lagi-lagi, iman yang lemahlah yang menjadikan semua bencana ini. Andai mereka memahami bahwa memilih pemimpin adalah bagian dari keimanan, memperbaiki pemerintahan adalah bagian dari keimanan, mengajak umat agar sadar politik adalah bagian dari keimanan, menduduki jabatan dengan amanah adalah bagian dari keimanan, mengusahakan pemilihan secara jujur dan adil adalah bagian dari keimanan, dan setiap upaya kebaikan lainnya adalah bagian dari keimanan, maka boleh jadi aneka bencana tidak beruntun menimpa umat ini.

Jika para pemimpin di negeri ini adalah orang-orang yang beriman, tentulah mereka menghindari hidup bermewah-mewah di tengah jeritan rakyat yang makin terhimpit dan kelaparan. Padahal dikatakan dalam sebuah hadits bahwa tidak beriman seseorang di antara kamu jika kamu makan kenyang sementara tetangganya hidup kelaparan.

Tetangga kita bukanlah orang yang tinggalnya di samping rumah kita atau yang tinggalnya berjarak 50 rumah dari kita. Di era informasi yang bebas dari sekat-sekat geograpis ini, umat Islam di negara ini atau di belahan negara lain (pada hakikatnya) adalah tetangga kita juga. Bahkan yang lebih kuat riwayatnya, mereka memang bukan tetangga, tetapi adalah bagian tubuh atau jiwa kita. Pantaskah kita tidak menaruh peduli kepada mereka?

Waallahu’alam bishshawaab.
([email protected])