Bercermin Pada Saudara Negeri Jiran

Ahad sore itu, kami hendak melakukan kunjungan silaturahim ke sebuah keluarga di Jakarta Selatan. Di tengah naungan awan kumulus pertanda hujan, kami bertolak ke tempat saudara itu dengan menggunakan sepeda motor. Alhamdulillah, di sepanjang perjalanan, hujan tidak menuruni kami sehingga kami bisa melaju dengan lancar dan sampai di tempat tujuan sesuai waktu yang diperkirakan. Awan kumulus pertanda hujan itu pergi ditiup angin entah ke mana, membasahi daerah lain dengan air hujan yang dikandungnya. Boleh jadi, ia membasahi daerah yang kami tinggalkan, mengingat pada saat keberangkatan angin melaju ke arah kami.

Kumandang suara azan maghrib yang merasuk menentramkan kalbu, terdengar jelas saat kami tiba di gerbang komplek perumahan saudara yang kami kunjungi. Kami disambut oleh seorang security yang ramah dan sudah mengenal kami. Ini adalah kunjungan kami keempat ke rumah keluarga Pak Saiful dan Bu Noorlida, saudara muslim berkebangsaan Malaysia yang tinggal di sebuah perumahan di Jalan Mampang Prapatan, Jakarta Selatan itu.

Saya segera memarkir sepeda motor ke dalam, kemudian langsung menuju masjid terdekat untuk menunaikan sholat maghrib, setelah memberitahu isteri dan Bapak security itu. Ketika saya beranjak menuju masjid, Bu Noorlida keluar dari rumahnya dan mempersilahkan isteri saya masuk. Saya berpikir, biarlah isteri yang mengatakan bahwa saya keluar ke masjid menunaikan sholat maghrib berjamaah di masjid.

Biasanya, ketika kami datang berkunjung beberapa jam sebelum maghrib tiba, saya dipersilahkan masuk ke dalam oleh Bu Noorlida. Jika Pak Saiful tidak keluar kota, maka beliau ikut mendampingi dan terlibat dalam pembicaraan. Ketika waktu maghrib tiba, kami diajak shalat berjamaah di rumah bersama-sama. Baru setelah itu kami pamitan untuk pulang. Kali itu, saya membiarkan isteri berurusan dengan Bu Noorlida agak leluasa. Sambil menunggu urusan selesai, saya berniat menunggunya di masjid terdekat hingga dilaksanakannya sholat Isya berjamaah.

***

Pikiran saya terbawa pada kesan-kesan kunjungan sebelumnya. Ada nuansa akrab setiap kali kami berkunjung ke sana. Bu Noorlida yang sedang mengambil pendidikan S3 di Kuala Lumpur itu, hanya beberapa hari dalam sebulan berkunjung ke Jakarta menengok kondisi suaminya. Di usianya yang berkepala empat itu, beliau tetap energik dalam menuntut ilmu.

Anaknya dua, laki-laki dan perempuan, yang semuanya tinggal di Kuala Lumpur. Mereka sedang merencanakan mendapatkan bea siswa agar putra dan putri mereka bisa studi di Barat, entah Amerika, Australia, atau salah satu negara di Eropa. Bukan tujuan gengsi yang ingin dikejar, tetapi semata-mata ingin mempelajari ilmu yang dimiliki oleh orang-orang barat agar dapat diaplikasikan untuk kemajuan negerinya.

Kabarnya, mencari sponsor bea siswa di Malaysia cukup mudah. Pak Saiful dan Bu Noorlida sendiri, keduanya pernah studi di Amerika karena berkat bea siswa belajar dari pemerintah. Di sanalah mereka bertemu dan berkenalan, kemudian bersepakat membentuk rumah tangga setiba di Malaysia. Dan kini, Bu Noorlida belajar S3 pun karena beasiswa dari sekolah tempat tugasnya di kuala Lumpur. Beliau adalah guru SMA. Bisa dibayangkan bagaimana perhatian negeri tetangga kita dalam hal kualitas SDM dan pendidikan. Guru SMA-nya saja disekolahkan hingga Doktor.

Pak Saiful, suami yang sering dikunjungi isterinya itu, adalah komisaris dan direktur utama asuransi syariah terkemuka di Indonesia. Setiap kali saya menemuinya, beliau selalu menampilkan sosok yang ramah, akrab, dan menghormati siapa saja termasuk diri saya, yang hanya orang awam biasa.

Dari beberapa kali silaturahim dan pembicaraan, saya menjadi tahu bahwa mereka adalah orang-orang yang teguh memelihara keimanan dan memiliki kepedulian yang cukup tinggi terhadap persoalan umat Islam. Tidak cuma itu, Pak Saiful adalah orang yang memelihara profesionalisme sebagai pimpinan di perusahaan asuransi syariah itu.

***

Selepas beri’tikaf sehabis sholat maghrib kemudian melaksanakan sholat Isya berjamaah, saya berjalan menuju ke rumah Pak Saiful dan Bu Noorlida. Pikiran saya, isteri pasti telah menyelesaikan urusan dengan Bu Noorlida. Sebelum sampai, saya sudah ditelpon dahulu oleh isteri, katanya saya ditunggu oleh mereka. Ketika saya sampai di pintu rumahnya, rupanya mereka bertiga tengah asyik mengobrol. Saya dipersilahkan masuk. Kemudian dipersilahkan menikmati hidangan berupa ‘air sejuk’ dan makanan ringan selepas dinner (makan malam) berupa roti berselai ikan tuna.

Keramahan mereka tidak habis-habis. Di tengah keletihan Pak Saiful yang baru sajamengikuti RUPS, dia masih menghendaki kami untuk berbincang.

Banyak topik pembicaraan hangat yang muncul dipermukaan. Utamanya seputar permasalahan umat Islam sekarang ini. Pak Saiful menyinggung masalah boikot produk belanda yang lagi marak. Beliau mengatakan bahwa kita harus bersikap demikian terhadap produk-produk yang mendzalimi ummat Islam, termasuk produk-produk Israel dan produk-produk perusahaan yang secara rutin mengalirkan sebagian dananya ke sana.

Khusus masalah aliran dana suatu perusahaan terhadap Israel, dia menyaksikan sendiri ketika setahun tinggal di Amerika, bagaimana dalam setiap slip gaji dari karyawan perusahaan yang mendudukung israel itu ada potongan langsung sekian persen untuk mendukung program Yahudi. Jadi negara Israel memang mendapatkan limpahan dana dari semua komunitasnya di seluruh dunia, dan semua itu terorganisasi dengan baik.

Ini menjadi cerminan bahwa “ukhuwah” —yang merupakan konsep Islam— benar-benar diterapkan oleh mereka dan menjadikan mereka kuat dan sebagai pengendali utama aktivitas politik dan ekonomi di dunia. Gerakan boikot harusnya disadari dan didasari sebagai gerakan keimanan, bukan semata gerakan politik dan ekonomi, sehingga akan bisa berlangsung lama dan memberi efek menjerakan bagi pemilik produk yang mendzalimi umat Islam itu. Pak Saiful menegaskan manakala orang tidak tergerak melakukan boikot itu, tidak usah kecewa dan berputus asa, yang penting dari kita sendiri yang memulai dan melakukan. Kemudian kita coba tularkan kepada kerabat dan sahabat kita. Insya Allah sedikit demi sedikit pemahaman seperti itu akan menyebar dan berkembang.

Sangat nyata bahwa beliau tidak melihat dari segi efektif atau tidaknya sebuah gerakan boikot, beliau melihatnya sebagai tanggung jawab keimanan, yang mana jika banyak orang menyadari hal demikian, niscaya gerakan itu akan menemukan efektifitasnya. Selama ini gerakan boikot tidak efektif di negara kita, karena sebenarnya ada penyebab yang crusial (utama dan mendasar), yaitu masalah keimanan masih mengubangi mayoritas umat Islam di negara kita.

Dalam kesempatan itu, Bu Noorlida juga sempat memberikan kesannya terhadap orang Indonesia. Ketika kami menanyakan bagaimana kesannya terhadap orang Indoensia, dia menjawab dua hal. Pertama, orang indonesia itu suka membesar-besarkan masalah yang sebenarnya remeh atau kecil. Padahal ada banyak masalah besar lainnya yang lebih penting untuk dipikirkan demi kemaslahatan umat. Kedua, dari orang indonesia itu tingkat pendidikannya rendah-rendah.

Kami tidak tersinggung terhadap perkataan beliau yang jujur mengatakan apa adanya itu. Karena memang faktanya memang demikian adanya. Kami justru berkaca kepada mereka, kepada saudara negeri jiran tersebut, bahwa mereka begitu peduli terhadap masalah kualitas SDM dan pendidikan. Kualitas SDM dan pendidikan yang dimaksud tertentu berbasis keimanan, sehingga pribadi yang dihasilkannya pun tidak sekedar berilmu tetapi juga berakhlak. Pak Saiful dan Bu Noorlida, barangkali bisa menjadi contohnya. Pendidikan yang diperoleh dari Barat (USA) tidak menjadikannya larut dengan budaya asing dan menjadikannya ter-shibghoh (tercelup) oleh nilai-nilai Barat. Justru karena dasar keimanan yang dimiliki, menjadikannya mampu menyerap apa-apa yang manfaat dari Barat dan apa-apa yang tidak manfaat. Mereka belajar bukan demi prestige tetapi karena semangat menuntut ilmu yang membakar di dalam jiwa yang pada akhirnya didedikasikan untuk kemaslahatan umat.

Cobalah kita bandingkan dengan negara kita. Jenjang pendidikan tinggi terkadang bukan menjadikan orang menjadi lebih beriman dan memiliki nilai tambah bagi umat, tetapi justru menjadikannya menyimpang dan menyimpangkan umat dari jalan yang benar. Energi pemerintah dan umat terforsir untuk mengurusi perdebatan soal perbedaan yang boleh jadi diskenariokan oleh Barat. Dan masalah-masalah besar yang justru butuh penyelesaian segera, menjadi terbengkalai dan tidak pernah menemukan solusinya.

***
Setelah lama berbincang kami pun berpamitan untuk pulang. Meski kami sebenarnya ingin bertahan lebih lama, kami menyadari bahwa mereka pun memiliki banyak kesibukan. Banyak pelajaran berharga dari setiap kunjungan yang kami lakukan ke sana. Dan kunjungan seperti itu menyisakan kerinduan untuk berkunjung kembali di kesempatan berikutnya. Mudah-mudahan persaudaraan kami akan tetap terjalin. Tentu bukan karena kebesaran kedudukan mereka, melainkan karena kemuliaan ilmu dan keluhuran akhlak mereka.

Waallahu’alam bishshawaab
([email protected]. )