Bersabar dari yang Haram

Matahari tergelincir dari titik zenitnya, memberi rasa terik rumah-rumah di area pemukiman padat “Jalan Baru”, yang berdinding setengah bata-setengah papan, beratap seng, dan berdempetan satu sama lain. Di tengah-tengah pemukiman itulah kami tinggal. Kami baru saja sholat dhuhur berjamaah di masjid, lalu beristirahat. Makan siang sudah kami lakukan di kantor.

“Teng tong.. Assalamu’alaikum!?” Bel bersuara “salam” berbunyi. Bel itu, sengaja kami beli untuk mengetahui tamu-tamu yang datang. Kontrakan kami ada dua lantai. Lantai satu, kami biarkan kosong karena gelap. Di situ ada kamar mandi dan dapur. Lantai dua, kami fungsikan sebagai ruang tamu, ruang tidur, dan ruang pertemuan. Tidak ada perabot yang berarti, kecuali ruang kosong beralas karpet plastik tebal. Ada jendela besar, berlatar pemandangan Gunung Nona. Pemandangan itulah yang bisa mengurangi “kesumpekan” karena keterbatasan ruang.

Segera kubergegas turun menjemput siapa yang datang.
“Wa’alaikum salam!. Masuk Tri!”. Yang datang rupanya Tri Winoto. Dia berkantor di Gedung Keuangan Negara Ambon, yang berjarak sekitar 500 meter. Ada masjid kecil di sekitar kantor, namun dia lebih sering sholat dhuhur di Masjid Al-Fatah, masjid terbesar dan menjadi kebanggaan warga muslim kota Ambon. Biasanya habis sholat di sana, dia singgah ke tempat kami, yang hanya berjarak sekitar 20 meter di muka masjid tersebut.

Sebenarnya tidak hanya Tri yang sering berkunjung, teman-teman yang tersebar di kota ini suka sholat dhuhur di masjid besar itu, sekalian makan, kemudian mampir istirahat di tempat kami. Di seputaran masjid memang banyak ditemukan rumah makan. Kami bersyukur, rumah kami ramai, dan insya Allah membawa keberkahan tersendiri.

“Pak, saya numpang makan di sini ya!”. Kata Tri sambil mengeluarkan “Tupperware”nya. Itulah uniknya dia, sering dibawakan “bekal” makanan oleh isterinya. Ada beberapa alasan. Selain hiegienis, murah, dan terjamin kehalalannya. Satu lagi, dia selalu memuji kelezatan masakan isterinya. Di samping memang lezat juga karena berbumbu ”perhatian, cinta, kasih sayang, dan komitmen”. Dia selalu memprovokasi kami untuk mengikuti jejaknya segera menikah.

Tri mulai menikmati masakannya, sedangkan kami kadang menemani sambil membaca koran, tiduran, atau ikut makan bersama dengan beli di warung terdekat. Biasanya kami ngobrol-ngobrol ringan seputar kantor, kondisi teman-teman, program dakwah, atau tema-tema keluarga dan pernikahan. Maklum, kami bujangan. Dan perlu belajar dari yang berpengalaman.

“Teman-teman di kantor biasa makan di mana, Tri?”. Kami bertanya. Dia cerita bahwa sebenarnya, kantor menyediakan makan siang untuk pegawai. Awalnya menjadi keharusan. Tetapi karena bosan, akhirnya keinginan untuk mencari variasi dan makan di luar, tidak bisa di cegah. Bagi yang mau silahkan, yang tidak silahkan.
“Kami sejak awal memang menghindar. Itu kan diambil dari dana taktis”. Bukan cuma Tri yang memiliki pemahaman demikian dan menolak fasilitas itu. Masih ada teman yang lain. Sudah jamak diketahui, instansi “keuangan” itu berlimpah dengan uang. Pegawainya memiliki nilai lebih. Menjadi incaran orang tua yang memiliki anak gadis untuk dinikahkan dengannya. Yah, pokoknya hebat.

Memang ironis. Banyak persepsi salah tentang penghasilan pegawai negeri yang sebenarnya. Mereka tertipu oleh penampilan dan gaya hidup mayoritas pegawai. Padahal ada orang seperti Tri, yang hidup bersahaja, apa adanya, dan menjaga diri dari penghasilan yang “tidak jelas”.

Masalah Makanan siang di kantor bagi dia masalah kecil. Bisa ditolak dengan berbagai alasan. Yang sering menggelisahkan adalah kejadian-kejadian saat dia melakukan pemeriksaan lapangan.
Yaitu harus menerima uang atas nama terima kasih, jamuan pemeriksaan, dan uang-uang “siluman” lainnya.

Untuk menyelamatkan integritasnya, dia sudah mengajukan kepada kepala kantor agar di pindah ke bagian Tata Usaha. Tidak ada apa-apanya memang. Bahkan dia akan kehilangan honor lapangan. Tapi dia begitu menjaga dari sesuatu yang dia takutkan.

‘Mas, hati-hati ya. Insya Allah kami sabar dan bisa lapar dalam memperoleh yang halal. Tapi kami tidak sabar dengan panasnya api neraka. ’ Itulah perkataan isteri tercinta, bergema saat dia keluar dari rumah kontrakannya yang kecil, di bukit Tantui. Suatu nasehat dan penyemangat, agar istiqomah dalam menerima yang halal, dan mengabaikan yang haram.

Hatiku menghiris, pilu, tanpa sadar menitiskan air mata. Aku berenung, apakah aku akan bisa sesabar mereka, bergelut di tengah kedurjanaan. Hanya kepada Allah kami mohon bimbingan.

***
Hari berganti hari. Kami berpisah meniti jalan hidup masing-masing. Sepuluh tahun aku meninggalkan kenangan di kota Ambon.

Hari ini aku membaca berita, ada reformasi birokrasi di terapkan di Departemen Keuangan. Institusi ini dinilai paling rawan, namun pelayanannya sangat diperlukan masyarakat. Jika sistem penggajian antara pegawai negeri dan swasta masih terlalu njomplang, tidak seimbang, maka sulit untuk mendapatkan kualitas pelayanan yang memadai.

Sebelumnya juga aku mendengar telah ada reformasi di beberapa kantor di departemen itu, menjadi kantor-kantor pelayanan modern. Baru percontohan, dan akan diterapkan bertahap.

Tiba-tiba aku teringat Tri. Orang-orang seperti dia, memang pantas menerima kabar baik ini. Aku bersyukur. Semoga ini adalah buah dari ketaatan dari orang-orang seperti Tri. Yang selama ini terdholimi, karena tidak bisa menikmati kue, saat yang lain memperebutannya. Aku belajar ketaatan dari Tri, aku belajar tentang makna kesabaran. Allah maha adil. Pasti tidak akan mentelantarkan hamba-hamba Nya yang taat.
Waallahu’alam Bishshawab.