Dunia Yang Berbeda

Percakapan terjadi antara Hasanah dan Angelika, “Kenapa kamu selalu berpakaian tertutup, Hasanah? Bukankah cuaca panas sekali, summer, pasti nanti kamu tambah berkeringat di siang hari…”, ungkap Angelika. Dua orang wanita yang masih berusia dua puluh tahun-an itu berteman di bangku kuliah, sebangsa senegara, namun bedanya Hasanah telah memeluk islam beberapa tahun lalu. Hasanah cuma sedikit tersenyum, tampak mulai terbiasa dengan pertanyaan senada, dan selalu ia jawab dengan secuil kalimat, “Ini pakaian bagi muslimah, alias wanita muslim, Angelika. Dulu pertanyaan itu juga sering menggelayuti pikiran saya ketika melihat muslimah lain. Pakaian yang menutup aurat ini berlaku sepanjang musim, dan saya memakainya sebagai tanda cinta dan taat kepada Sang Pencipta…”

Jawaban yang demikian memiliki reaksi berbeda-beda. Ada teman Hasanah yang cuek, ada yang tetap ramah di depannya, ada yang bersikap antipati dengan segudang persepsi keliru mengenai hijab, ada pula yang bersikap sinis. Begitu pun Angelika, wanita muda yang cantik, populer di kalangan teman-temannya. Angelika memilih menjauhi Hasanah, “takut tertular gila” tampaknya. Malah pandangan matanya seperti merasa jijik, mengira-ngira bahwa Hasanah berpenyakit kulit, dan sebagainya. Jika Angelika doyan hanging-out bareng teman-teman dan menikmati minuman keras di bar atau café, Hasanah malah lebih banyak menghabiskan waktu di perpustakaan, atau jika berkumpul dengan teman, hanyalah untuk urusan tugas kuliah. Hasanah itu ‘paling aneh’ di kampus, selalu pakai penutup kepala yang rambutnya tak pernah kelihatan, tak mau minum minuman beralkohol, dan tak mau dicium (oleh non-mahram, maksudnya), sedangkan “salam pertemuan dan perpisahan” di negeri ini adalah cipika-cipiki pakai bibir dengan siapapun, termasuk antar-tetangga, teman kantor, teman-teman kuliah lelaki maupun perempuan…(hiii, naudzubillahi minzaliik…)

Ada kalanya Hasanah risih dan merasa terpojok juga, apalagi ada muslimah lain yang tidak berhijab seperti dirinya. Maka tak sedikit orang beranggapan bahwa hijabnya adalah bentuk sikap ekslusif dan ‘extrim’. Manakala ia bertanya kepada saudari muslimah lainnya tatkala mereka berkumpul di sebuah Islamic Centre kota lain, ada berbagai komentar sisters yang melegakan hati dan menempa semangatnya kembali. Antara lain, “Hasanah, hampir semua muslimah di dunia, di tempat dengan jumlah muslim minoritas, merasakan hal yang sama. Satu saja beda antara kamu dan orang-orang sekitarmu, yaitu pengetahuan telah dilimpahkan oleh Allah ta’ala kepadamu, dan mereka belum mengetahui, namun banyak pula yang merasa lebih tahu padahal tidak tahu…bersabarlah, sister Hasanah, Allah telah mengirimkan tanda cinta khusus buatmu…” Ada pula yang turut mengenang kisah Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam serta para sahabat yang tak luput dari ludah, cacian serta fitnah dari kaum kafir di masa dahulu.

Ada pula sister lain berpesan, “Bumi yang kita tempati sama. Tapi dunia kita yang berbeda. Semua manusia dilahirkan dalam keadaan suci dari rahim seorang ibu. Semua singgah ke ‘suatu dunia’, tapi memahami makna dunia itu dengan beragam perbedaan. Sosok yang berprilaku seperti Angelika dan cs-cs-nya mungkin menganggap dunia adalah tempat kepuasan dan kesenangan yang abadi, tujuan hidup menggapai mimpi-mimpi semu, memuaskan syahwat, memamerkan fisik dan harta kekayaan serta merasa harus selalu menggapai kepuasan diri secara lahiriah… Sedangkan sosok muslimah seperti dirimu, seperti kita semua terutama yang memasuki ‘dunia baru bernama Al-Islam’, memandang dunia sebagai tempat mampir saja. Kita diberitakan tentang hari akhir, tentang yaumil hisab, dan hakikat dunia bagi kita adalah perjalanan sesaat guna mencari bekal untuk keabadian di akhirat…”, penjelasan yang panjang, penuh semangat dan sangat mendalam maknanya.

Bagaimanakah dunia kita? Apakah tujuan hidup kita adalah ‘membesarkan anak-anak’ supaya lebih sukses daripada kita, ataukah mengumpulkan tabungan nominal, beli tanah sebanyak-banyaknya dan kalau perlu jangan habis-habis tujuh turunan, ataukah berupaya meningkatkan karir menuju ‘puncak kekuasaan’ agar populer di mata semua manusia? Oh, Tidak!

Banyak bayi, anak-anak sekolah, teman-teman yang masih kuliah, yang belum punya tabungan, yang belum punya rumah, dll, sudah meninggalkan dunia, mendahului kita. Ayat-Nya, "Setiap yang bernyawa akan merasakan mati…” (QS. Ali-‘Imraan [3] : 185). Dan setelah ‘beristirahat di alam kubur’, kelak ada hari kebangkitan, perhitungan amalan di dunia serta ketetapan-Nya akan ‘posisi akhir’ kita. Dan Allah subhanahu wa ta’ala juga berfirman, yang artinya, "Pada hari itu manusia keluar dari kuburnya dalam keadaan bermacam-macam (berkelompok-kelompok), supaya diperlihatkan kepada mereka (balasan) semua perbuatannya." (QS. Az-Zalzalah [99] : 6)

Lagi-lagi, bekal perjalanan yang kita cari, itulah dunia kita. Dan masa-masa mengumpulkan bekal, tidaklah berlebih-lebihan, kita ingin ‘bekal’ itu cukup, kita ingin keberkahan dan rahmat-NYA mengiringi langkah perjalanan ini. Harta benda, anak-anak dan keluarga merupakan sarana meraih kecukupan bekal tersebut. Rasululloh shallallaahu ‘alaihi wa sallam memaparkan tentang dunia dan diri beliau, "Apalah aku dan dunia ini ! Sesungguhnya permisalan aku dengan dunia adalah seperti seorang pengendara yang tidur di bayangan sebuah pohon. Kemudian pergi dan meninggalkan pohon tersebut." (HR. Ahmad, At-Tirmidzy dan Ibnu Majah). Subhanalloh!

Umar bin Abdul-‘Aziz pernah berkata, "Dunia itu sesungguhnya bukan tempat yang kekal untuk kita. Allah sendiri telah menakdirkannya fana, dan kepada para penghuninya telah digariskannya hanya melewatinya saja."

Kita adalah pengembara, perjalanan ini ketika bertambah hari—bertambah dekat pula “pos” kita menuju alam kubur. Yang bisa kita lakukan adalah “sami’na wa atho’na”, kita bekali diri dengan ketaatan dan taqwa, Allah ta’ala melimpahkan penjagaan-Nya sepanjang waktu sehingga ketika diri dilanda gundah dan rasa minder pada manusia lain (yang notabene ‘status’nya sama sebagai pengembara juga), maka tak lain obatnya adalah senantiasa bertaubat, menambah rasa syukur dan kekuatan hati untuk bersabar.

Hasanah tetap tersenyum meniti ‘perjalanan’ hijrahnya, satu lagi hal lain nasehat saudarinya, “Duhai sister Hasanah, kepercayaan diri akan berbanding lurus dengan tingkat keimanan… Rasakanlah dalam nuranimu, ketika engkau makin dekat dengan Sang Ilahi, makin teguh memegang syariat, makin cinta pada-Nya, engkau tak lagi peduli akan ‘omongan atau sikap sesama makhluknya itu’, karena di kala itu yang engkau rasakan adalah hidayah Allah selalu di dekapanmu…engkau pasti sangat percaya diri karena senantiasa ada ‘pelindungmu’ alias sang maha pemilik super-power, adalah Allah ta’ala! Insya Allah…”

Semoga Allah ta’ala meneguhkan kemantapan jiwa kita dalam melewati perjalanan ini, bi khusnil khatimah…aamiin.

(bidadari_Azzam, Salam ukhuwah @Krakow, jelang subuh, 22 mei 2011)