Hubungan Jarak Jauh

Bukannya mengompori untuk bertambah khawatir, namun tulisan ini bermaksud mengingatkan pada diri sendiri untuk senantiasa menjaga tim yang kompak, yaitu keluarga kita nan sakinah. Mencegah adalah selalu lebih baik dari pada mengobati, menjaga izzah keluarga selalu lebih baik dari pada memperbaiki segaris noktah.

Cerita tentang Pak Hasan, ikhwan yang sholeh, berkarir bagus namun tetap sederhana dan bersahaja, tapi harus nge-kos sendirian di Jakarta si kota macet. Istrinya punya karir lain di kota tetangga, sekitar 3 atau 4 jam dari Jakarta, sang istri bersama dua anak mereka selalu menjaga keceriaan keluarga, meskipun Pak Hasan hanya bisa berkumpul seminggu sekali atau kadang-kadang hanya tiga kali dalam sebulan.

Yang namanya hubungan jarak jauh, komunikasi yang terjalin pasti tak selengket saat berdekatan. Apalagi kalau masing-masing pihak teramat sibuk, yang kemudian frekuensi jadwal saling telpon atau ‘video-call-an’ juga berkurang. Itulah yang terjadi pada Pak Hasan dan sang istri. Yang selanjutnya dikarenakan meremehkan suasana mesra itulah, maka perlahan tapi berterusan, datanglah godaan demi godaan sebagai pengganggu keutuhan keluarga.

Godaan awal adalah dari anak kos si induk semang Pak Hasan, gadis yang rajin membantu membersihkan kamarnya itu sesekali melirik dan tersenyum kecil yang selanjutnya bersikap ‘menggoda iman’. Namun Pak Hasan berusaha terus menguatkan hatinya, ia pun makin berupaya memerangi godaan, setiap ada waktu cuti dan weekend, kalau dia tak bisa pulang ke kota keluarganya, maka sang istri dan anak-anak yang berlibur ke Jakarta.

Tapi namanya juga godaan, makin tinggi ranting berbunga, makin kencang angin menghembuskan sepoinya. Anak-anak kian berkembang, anak Pak Hasan makin sibuk, ada banyak kegiatan di akhir minggu. Juga istrinya, makin harus bijak mengatur pengeluaran rumah tangga, tidak bisa jor-joran mengeluarkan dana ke Jakarta melulu. Pak Hasan pun tak punya celah untuk pindah ke bagian lain di kantornya, misalnya jika pindah ke divisi lain, maka pindah ke kota keluarga. Begitu pun sang istri, dia merasa harus bertahan dengan kondisi sedemikian, istrinya tak dapat pindah kerja pula ke Jakarta, pun tak mau mengalah untuk resign sehingga berkumpul dengan suami.

Yah, setiap rumah tangga punya rahasia perusahaan masing-masing, punya prioritas tujuan masing-masing, maka punya jalan bahtera masing-masing, yang orang lain hanya dapat menjadi pengamat amatiran saja, melihat dari kejauhan tanpa perlu mencari detail urusan rahasia keluarga tersebut.

Suatu kali, Pak Hasan pindah kos-an, kemungkinan beliau menghindari godaan yang lebih dahsyat dari anak si empunya rumah tersebut.

Namun di lain waktu, tiba-tiba terdengar berita bahwa Pak Hasan dan istrinya akan bercerai. Waduh, what’s wrong? Berita seperti itu pasti menyedihkan. Semua orang dekat mereka sangat iba, dan merasa tak rela jika keluarga mereka tak utuh lagi. Sedikit demi sedikit terkuaklah cerita pengakuan Pak Hasan yang dulu sempat dimuat di surat kabar kota tersebut, bahwa akhirnya ada godaan lain yang menjerumuskannya pada perzinahan. Naudzubillahi minzaliik.

Dalam cerita beliau, suatu hari sepulang kerja, ia dan rekan-rekan kantornya yang semuanya pria, pulang bersama dalam satu mobil milik seorang teman. Mereka berenam, rencananya akan mencari warung makan, barulah pulang ke rumah masing-masing. Tapi, saat kemacetan parah sekali, mobil susah jalan, seusai hujan deras, banjir dimana-mana. Mereka sudah kelaparan, makanya segera mencari warung makan terdekat, dan warung makan tersebut ternyata jaraknya sangat dekat dengan ‘panti pijat langganan’ teman-temannya.

Seumur hidupnya, baru kali itu Pak Hasan memasuki panti pijat, mereka berenam menikmati teh hangat disana usai makan malam. Entahlah ada unsur kesengajaan atau tidak, yang jelas satu-satunya pria yang belum pernah kesana di antara enam orang tersebut, hanyalah Pak Hasan. Dan dengan kenyamanan suasana yang diciptakan di ruangan tersebut, satu-persatu temannya berpisah-pisah ruangan, diurusi oleh perempuan-perempuan ‘tukang pijat’, Pak Hasan ikut disiapkan dan ditraktir ‘pijatan’ oleh salah satu teman. Tak usahlah terlalu jauh membayangkannya, malam itu, benteng pertahanan diri Pak Hasan hancur lebur, ia ikut terseret ‘kenikmatan pijat plus-plus’ sebagaimana teman-temannya.

Dan peristiwa seperti itu pun akhirnya “jadi langganan”, yang tadinya seorang Hasan adalah sosok suami yang menjaga pandangan, menjaga mata, lisan, dan indera lainnya, ternyata dapat berbalik menjadi pelanggan setia di panti pijat tersebut.

Diriwayatkan dari Abu Hurairah r.a, ia berkata, Rasulullah SAW bersabda, “Tiga jenis orang yang Allah tidak mengajak berbicara pada hari kiamat, tidak mensucikan mereka, tidak melihat kepada mereka, dan bagi mereka adzab yang pedih: Orang yang berzina, penguasa yang pendusta, dan orang miskin yang sombong,” (HR.Muslim).

Salah satu dosa besar yang mengerikan, Pak Hasan sudah memahami hal itu, maka ia pun terbuka diri mengakui perbuatannya tatkala memiliki waktu yang tepat untuk bercerita dengan sang istri. Hingga gelegar pengakuan itu membuat sang istri menginginkan perceraian, perih.

Kita tak perlu membahas rumah tangga mereka lebih jauh, tapi hikmah yang bisa kita petik adalah kekompakan suami istri memang harus selalu ada dalam mengarungi bahtera rumah tangga. Kekompakan itu tak hanya seminggu sekali, tak cuma menikmati weekend, tak hanya belanja bareng, namun harus ada di setiap suasana, terutama suasana menge-charge ruhiyah.

Adalah sosok Mas Angga, yang pernah beberapa kali harus dinas berbeda kota atau beda negara dengan kota tempat tinggal keluarga, sedari awal menikahi istrinya, ia ajak untuk ‘kompak bersama’, “Saya gak mau kita pisah-pisah, dinda… terpisah dua dapur, dua tempat, apalagi pisah dengan anak-anak…”, ujarnya, maka sang istri harus berpindah kuliah beberapa kali, Mas Angga lebih rela menghabiskan uang untuk ongkos pesawat ketika istrinya harus sibuk ujian atau menyelesaikan urusan kuliah. Mas Angga juga pernah harus berada tiga setengah bulan di Afrika, sementara sang anak dan istri di Bangkok, dan Mas Angga menelepon setiap hari, bahkan tiga kali sehari, bagaikan jadwal minum obat. Ada saja hal yang diobrolkan, serasa sulit menutup gagang telepon saking beratnya berjauhan dari keluarga.

Ketika ada perusahaan yang ‘memaksanya’ meninggalkan keluarga lebih lama hingga dua tahun dengan ‘hanya’ dijadwalkan pulang per-tiga bulan, maka Mas Angga rela resign dari perusahaan tersebut, meskipun diiming-imingi bonus nominal yang banyak. Rezeki Allah SWT Maha Luas, masih banyak perusahaan yang memiliki peraturan lebih manusiawi, masih ada pengusaha yang professional bekerja sama dengan karyawan-karyawan meskipun berbeda bangsa. Bahkan pernah suatu kali saat berjauhan, Mas Angga ngotot menelepon sang istri sampai ‘missed-call’ 79 kali, ia sangat khawatir kenapa hp itu tak diangkat. Padahal ternyata hp tersebut di-silent tak sengaja oleh sang balita. Perhatian yang kecil seperti itu sangatlah bermakna, setiap rumah tangga suatu waktu mengalami ujian hubungan jarak jauh ini. Dan lagi-lagi, tak masalah berapa kali kita diuji akan frekuensi waktu tak bersua, namun yang bermasalah adalah jika kekompakan berkomunikasi itu mulai luntur.

Tatkala lunturnya kekompakan berkomunikasi, pasti godaan-godaan datang, dan inilah pintu setan yang hadir dalam suatu rumah tangga. Kalaupun suami dan istri terbiasa meluruskan niat dan menata hati setiap saat, terbiasa sholat berjama’ah dan saling melayani di berbagai momen, namun ketika berjauhan dengan tahap datangnya godaan itu, ada pihak-pihak lain yang memanfaatkan situasi, yang pada saat itu justru sinyal-sinyal cinta pasutri malah bisa makin memudar. Bagaikan perceraian yang telah terjadi pada Bik Inem yang TKW di negeri jiran, ex-suaminya bertani di kampung halaman, di tanah sunda. Tak menyangka alasannya sama dengan banyak kisah TKW lain, sang suami berselingkuh dengan tetangga sendiri tatkala sering bersama-sama di sawah, bahkan uang tabungan Bik Inem yang menurut laporan telah dibelikan bahan bangunan buat renovasi rumah mereka, ternyata raib dipergunakan untuk hal lain.

Acungan jempol buat ummahat senior-senior saya, ada yang rela menunda kuliah lanjutan bea-siswanya, ada yang resign dari perusahaan tempatnya meniti karir, demi prioritas keluarga, mendukung penuh sang suami ketika harus mengais nafkah di negeri lain, dalam tugas berat memimpin rumah tangga.

Satu nasehat penting yang selalu disematkan pada ceramah di acara resepsi pernikahan kita, Bahwa Allah ta’ala mengingatkan, “Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, yang keras, yang tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.”(QS. At-Tahrim [66]:6).

Suami adalah pakaian bagi sang istri, begitu pun sebaliknya, istri merupakan pakaian bagi suaminya. Penutup aurat, perhiasan diri serta sumber ketentraman dan kesenangan berumah tangga adalah makna fungsi pakaian tersebut. Maka, jagalah pakaianmu, teman…

Wallohu ‘alam bisshowab.

(bidadari_Azzam, @Krakow, 8 april 2011)