Iedul Fitri Tetaplah Berempati

Tersenyum geli sekaligus tetap mendo’akan keberkahan mereka, kubaca status pesan instant internet dari akun teman-temanku. Sudah banyak kepedulian terhadap saudara-saudari kita yang tengah ditimpa berbagai bencana. Juga banyak kalimat syukur padaNYA atas kesuksesan target ramadhan kali ini. Namun tetap masih saja ada yang hoby menyatakan kebahagiaan secara berlebihan, “asyiik…bajuku sudah selesai, segera ke butik hari ini!”, atau kalimat, “Alhamdulillah komplet, rendang, opor, sambal goreng ati, ketupat, lontong, sate, bakso, lebarannya jadi!”, atau kalimat lainnya, “harus beli nih, minuman itu harus punya di hari iedul fitri…”, “senengnya si adek dah beli baju baru…”, “horeee lebaran! Gak kelaparan lagi kalau siang!”, dsb… Mungkin untuk menyatakan rasa gembira di hari raya, dan secara tidak sadar telah menyiratkan “rasa bebas” setelah bulan ramadhan.

Padahal Ramadhan adalah bulan terindah, yang selalu dirindukan kedatangannya, ditangisi saat telah berakhir dan semua orang mukmin bermohon kepada Allah SWT agar dapat dipertemukan lagi di ramadhan selanjutnya. Semoga kita tak pernah lupa untuk tetap merangkai do’a saat ramadhan telah dilalui, “Doa seorang muslim kepada saudaranya secara rahasia dan tidak hadir di hadapannya adalah sangat dikabulkan. Di sisinya ada seorang malaikat yang ditunjuk oleh Allah. Setiap kali ia berdoa untuk saudaranya dengan kebaikan, malaikat tersebut berkata (kepadanya): “Ya Allah, kabulkanlah, dan (semoga) bagimu juga (mendapatkan balasan) yang sedemikian.” (HR. Muslim)

Saudara-saudariku, bagi yang belum pernah bertemu dengan saudara kita dari negeri lain atau cuma sempat membaca berita-berita dari jauh selintas saja, mungkin memang belum mengetahui betapa sakit dan hancurnya hati sahabat-sahabat kita di tempat lain. Peristiwa Gaza masih berdarah entah sampai kapan, di Pattani, Mindanao, Pakistan, Afghan, dan sebagainya, termasuk meningkatnya kemiskinan akibat krisis di Yunani, dan yang paling dekat dengan kita, saudara-saudari korban lumpur lapindo masih senantiasa sabar menanti keadilan dan ketenangan hidup. Salah satu saudara yang kuhubungi via email menceritakan betapa bersyukurnya beliau, keluarga kakaknya yang saat ini masih menumpang di rumah keluarga lainnya dalam keadaan sehat dan dapat melaksanakan ibadah puasa dengan lancar. Subhanalloh, sehat adalah nikmatNYA yang besar. Sementara masih banyak keluarga korban lapindo lainnya yang mengalami goncangan jiwa, stress, pikiran berkecamuk campur aduk tentang rumah dan sawah yang lenyap, sekolah anak yang terputus, pakaian yang itu-itu saja, dan uluran tangan pemerintah yang dirasa setengah-setengah hati alias tidak serius dalam penyelesaian problema tersebut. Bahkan berbagai isu di negeri kita benar-benar menutupi problema urgen bagi rakyat.
Dalam hal ini, Rasulullah saw.telah memberi motivasi, “Sesungguhnya kedudukan seorang mukmin di kalangan orang-orang beriman adalah seperti kepala dari tubuhnya. Ia akan merasa sakit jika badannya sakit.” (HR Imam Ahmad). Nash hadits yang mirip dengan ini adalah sabda beliau SAW, yang artinya, “Perumpamaan orang-orang beriman dalam kecintaan, kelembutan dan kasih sayang di antara mereka ibarat satu tubuh. Jika salah satu anggota sakit, maka seluruh anggota turut merasakannya dengan tetap berjaga dan demam.” (HR Muslim & Ahmad).

Sebab itulah, mari kita renungkan bahwa berhari raya iedul fitri ini diterjemahkan dengan makna kembali kepada fitrah atau kesucian, karena telah ditempa dengan ibadah sebulan penuh di bulan ramadhan. Dan karenanya kita berharap mendapatkan ampunan dan maghfirah dari Allah SWT. Iedul Fitri diartikan pula secara harfiah sebagai hari raya berbuka, dimana setelah sebulan penuh menjalankan ibadah puasa karena Allah SWT, pada hari raya Iedul Fitri itu kita dapat berbuka dan tidak berpuasa sebagai ungkapan syukur kepada Allah SWT. Tak ada penjelasan makna tentang wajibnya ketupat, rendang, opor, baju baru, sepatu baru, bahkan cat rumah dan sofa baru dan sejenis itu. Bila daerah kita melakukan tradisi sedemikian, janganlah dijadikan “keharusan” atau diumbar atau dipamerkan sedemikian yang malah menyakiti hati saudara-saudari kita lainnya, termasuk penulisan status di berbagai pesan instant internet.

Contoh kecil pula bagiku tentang dua sahabat kita yang berdekatan denganku, iedul fitri kami sekeluarga rayakan di warung es krim favorit kami, seraya makan masakan ikan, daging halal tak ada disini. Sedangkan seorang saudara kita tsb yang telah kucoba telepon berulang kali, ternyata ia mengungsi ke sudut kota di Egypt, bersama sahabat lain, dia adalah muallaf, keluarganya di Poland tetap nonmuslim, sehingga berat baginya saat ramadhan dan iedul fitri. Saudara kita satu lagi, seorang dokter muslim, berlainan kota denganku, dia dan keluarganya berhari raya dengan tetap sederhana. Usai berbenah pagi hari, lalu sholat ied sekeluarga, mereka menyantap salad dan roti gandum dengan bahagia. “Biasa seperti ini… tidak ada menu khusus di hari raya”, ceritanya padaku. Saya pun sangat bersyukur, walaupun tahun ini tidak ikutan mudik sehingga menyimpan kerinduan berhari raya bersama orang tua, namun ramadhan dan iedul fitri kali ini kami telah menambah wawasan dan pengalaman di tempat yang baru. Sejak memasuki episode baru dalam hidup 8 tahun lalu, Alhamdulillah kami sekeluarga tak lagi bersikap seperti status-status pesan yang contohnya ditulis teman-teman di atas. Masakan apapun, dapat kita masak kapan saja. Beli baju atau keperluan lain dapat dilakukan kapanpun di waktu yang tepat saat memang dibutuhkan.

Seusai ramadhan terbaik kali ini, mari kita perkuat pondasi dalam nurani, bahwa segala amalan yang dilakukan hanya karena Allah SWT, serta yakin bahwa kita dapat bersatu, minimal saat ini bisa berempati dan tetap mendo’akan saudara-saudari kita diberbagai belahan bumi lainnya. Do’a sebagai pelekat hati, amalan yang merupakan bukti dan petunjuk yang kuat dan jelas akan kejujuran dan kesempurnaan keimanan seseorang. Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa Sallam bersabda, “Tidak sempurna keimanan salah seorang diantara kalian sampai ia mencintai untuk saudaranya apa-apa yang ia cintai bagi dirinya sendiri (dari segala hal yang baik).” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)

Wallahu’alam bisshowab. (bidadari_Azzam, Krakow, malam 8 syawal 1431 H)