Menjaga Hati Nan Tetap Ikhlas

“lho… masak sih ngasihnya cuma segitu…? Apalagi dari luar negeri, masak infaknya kecil amat, sih…?” keluh seseorang yang kusegani itu. “gak pantes deh, memang sih udah gede bagi orang sini, tapi bagusnya double ngasih dananya…” lanjutnya lagi.

Sudah berulang kali topik seperti ini mampir di telingaku. Bahkan kualami sendiri di depan mata, skala prioritas yang biasanya kita tetapkan dalam menyalurkan zakat, infaq atau sedekah, seringkali “dikomplain” oleh pihak yang kita beri, herannya hal ini biasanya terjadi di tanah air.

Bahkan hal yang seperti itu bisa menjadi ajang gossip di mana-mana. Padahal jika berada di negara rantau, saling memberi bukan hanya tradisi muslim, tetanggaku banyak yang non-muslim. Sekeping coklat saja yang diberikan sulungku untuk teman bermainnya membuat mama anak itu berterima kasih berulang kali kepada kami. Juga saat sepotong roti yang ia berikan kepada pak tua pembersih taman, “ketulusan ucapan terima kasih” bersinar di mata bapak tersebut.

Dan yang paling menyedihkan dari isu di negeri kita akan hal ini, ada sikap yang berbeda dari sang penerima dana kepada donaturnya berdasarkan jumlah rupiah yang diberikan. Mungkin kalian pernah mengalami hal ini, dalam kehidupan bersanak-saudara, ataupun lingkungan pertemanan dan relasi. Dan kebanyakan “pembumbu cerita” telah lupa, bahwa Rasulullah SAW bersabda, “Siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhirat, maka hendaklah dia berkata dengan perkataan yang baik-baik atau dia berdiam saja.” (HR. Bukhari) dan pada riwayat lain, Rasulullah SAW bersabda, “Kebanyakan dosa anak Adam adalah karena lidahnya.” (HR. Tabrani dan Baihaqi)

Suatu hari ibu Sishy (bukan nama sebenarnya) bercerita kepadaku, “kalau infak buat ustadzahnya, satu orang lima ribu, neng… saya ngasihnya sepuluh ribu atau lima belas ribu, nah… kalau neng ini kan orang berduit, mestinya dua puluh lima ribu-lah pantasnya…” seraya mimik mukanya meyakinkan kalau “hal pantas” yang diungkapkannya adalah pengertian yang tepat.

Sejujurnya, malas meladeni perangai yang seperti ini. Pernah kuungkapkan perihal “pantasnya sedekah seberapa besar”, subjek aneh ini kepada sang kekasih. Suamiku mengutip nasehat, secuil tapi sangat bermakna, “mi… seorang petani yang penghasilannya cuma sejuta perbulan, lalu dia memberikan 500 ribu saat berinfaq tentulah lebih besar nilainya di mata Allah SWT jika dibandingkan seorang milyuner yang memberikan jumlah yang sama, 500 ribu rupiah. Mungkin bagi si milyuner jumlah itu cuma untuk beli kaos kaki, misalnya. Namun, semua orang tidak perlu menilai “pantas atau tidak pantas” jumlah uang itu, apalagi mereka-reka penghasilan seseorang dan membanding-bandingkan. Itu akan mengotori keikhlasan, dan bisa memancing seseorang untuk menyombongkan diri atau malah emosi… Bisa jadi milyuner itu punya pos donasi sendiri di ribuan yayasan atau rumah santunan lainnya, banyak para dermawan yang merahasiakan dana pemberiannya guna menjaga keikhlasan hati…” ujarnya lembut.

Saudara-saudariku, Allah SWT berfirman, “Dan belanjakanlah (harta bendamu) di jalan Allah, dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan, dan berbuat baiklah, karena sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang berbuat baik.” (QS. Al-Baqarah [2] : 195)

Jelas bagi kita bahwa hidup ini harus kita jalani semata-mata untuk mengabdi kepadaNYA, salah satunya terwujud dalam bentuk melakukan segala amalan kebaikan. Dan masing-masing orang harus berusaha melakukan kebaikan sebanyak mungkin sebagai bekal timbangan di yaumil hisab. Namun menjaga “rewards” dari Allah SWT ini ada dua syarat:

Kesatu, ikhlas dalam beramal, yakni melakukan suatu amal dengan niat semata-mata karena Allah SWT, atau tidak riya dalam arti mengharap pujian dari selain Allah SWT. Karena itu, dalam hadits arbain yang terkenal, Rasulullah SAW bersabda yang artinya, “Sesungguhnya amal itu sangat tergantung pada niatnya.”

Kedua, melakukan kebaikan itu secara benar, karena meskipun niat seseorang sudah baik, bila ia melakukan amal dengan cara yang tidak benar, maka hal itu tetap tidak bisa diterima oleh Allah SWT, misalnya mencampuradukkan harta halal dengan korupsi (yang haram). 

Tidak ada seorang pun yang berhak menilai “pantas atau tidak pantasnya” pemberian seseorang, malah prilaku ini dapat berbuah buruk sangka, dengki dan berdampak buruk lainnya, antara lain :

1. Dengki menggusur hati yang bersih, “Di dalam hati mereka ada penyakit maka Allah tambahkan kepada mereka penyakit (lainnya).” (QS. Al-Baqarah [2] : 10)

2. Buruk sangka menyebabkan renggangnya tali persaudaraan, salah satu sifat terbaik dalam ukhuwah islamiyah adalah husnuzhon (berbaik sangka). Berburuk sangka akan membuat kita menjadi rugi lahir bathin, perkara ini disabdakan oleh Rasulullah SAW, "Jauhilah prasangka itu, sebab prasangka itu pembicaraan yang paling dusta." (HR. Muttafaqun alaihi)

Bahkan Allah SWT berfirman, "Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan dari prasangka, sesungguhnya sebagian prasangka adalah dosa dan janganlah kamu mencari-cari kesalahan orang lain dan janganlah sebagian kamu menggunjing sebagian yang lain. Sukakah salah seorang di antara kamu memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka, tentulah kamu merasa jijik kepadanya." (QS. Al-Hujurat [49] : 12)

3. Memancing amarah dan menyebut-nyebut pemberian, misalkan terjadi pada salah seorang ibu yang juga disindir oleh ibu Sishy dalam wacana tsb. Sang ibu menjadi emosi dengan pembanding-bandingan donasi, “eh, bu Sishy… gue bukan cuma infak di RT ini, anak yatim asuhan gue banyak, ngurusin persatuan ibu-ibu RT sebelah juga, sedekah gue kemana-mana, sampe’ ikutan dana bantuan Palestine…” uppps…! Kita yang mendengarnya pasti miris.

Padahal Allah SWT berfirman, “Wahai orang yang beriman, janganlah kamu membatalkan (pahala) sedekahmu itu dengan mengungkit-ungkit dan menyakitkan hati (penerimanya).” (QS Al-Baqarah [2] : 264)

Serta peringatanNya dalam surah An-Najm agar tidak meremehkan orang lain, ayat 32 : “(Oleh karena itu), janganlah kamu memuji dirimu sendiri. Dia (Allah) Maha Mengetahui siapa yang sebenarnya takut.” (QS. An-Najm [53] : 32)

4. Membuat saudara bersedih hati atau malah menyakiti hatinya. Padahal saling memberi hadiah dan kegiatan tolong-menolong adalah suatu kebiasaan yang bertujuan untuk saling berbagi kebahagiaan,dll. Semoga kita makin pandai meresapi makna ayatNya, berlomba-lomba dalam kebaikan dengan tetap mengutamakan keikhlasan hati, senantiasa istighfar, Astaghfirullahal ‘adzim… kala “mulai men-judge” amalan orang lain

Cukup hanya Allah yang paling berhak menilai dan menghitung amal kita!

Allah SWT mengingatkan, "Kecuali orang-orang yang tobat dan mengadakan perbaikan dan berpegang teguh pada (agama) Allah dan tulus ikhlas (mengerjakan) agama mereka karena Allah. Maka mereka itu adalah bersama-sama orang yang beriman dan kelak Allah akan memberikan kepada orang-orang yang beriman pahala yang besar." (QS. An-Nisa [4] : 146)

Wallohu’alam bisshowab.
(Bidadari Azzam, krakow, 2010, edit 2011)