Menyapa dan Tersenyum

Tiba-tiba di lift itu kulihat sesosok muslimah, namun karena posisi lift sangat jauh dari tempatku berdiri, tak sempat lagi untuk mengejarnya, kulihat ia menoleh ke arahku, maka refleks kulambaikan tangan, dan ia pun membalas lambaian itu sambil mulutnya melongo, Saya tau, sudah beberapa muslimah melongo seperti itu kalau berjumpa denganku, sebab muslimah di Krakow hanya dalam jumlah hitungan jari tangan.

Mungkin saja ia terburu-buru, mengejar jam terbang pesawat untuk kembali ke kotanya, pikirku. Di lain waktu, awal pindah kami, saat mendaftar di dewan kota, seorang pemuda yang ternyata asal negeri jiran mendekatiku, “assalamu’alaykum…muslimah kan…?”, katanya. Kujawab salamnya, lalu kupanggil suamiku yang tengah antri di daftar registrasi, maka kami semua berkenalan dengan sohib tersebut.

Juga beberapa bulan lalu, tatkala seorang bapak tua, ternyata berasal dari jazirah arab, di tram ia mendekatiku, “excuse me… muslimah?”, saya jawab, iya, tentu saja. “Allahu Akbar! me too, Take care…”, katanya seraya melambai turun tangga karena tiba di stasiun tujuannya. Sapaan kecil seperti itu, secuil dan dalam waktu yang pendek, namun mampu menghibur hatiku. Betapa bahagianya mengetahui di kota kecil sudut eropa timur yang dulunya mayoritas komunis atheis dan katholik, ternyata sudah banyak penghuni muslim walaupun masih terpencar-pencar di berbagai tempat.

Jika teringat masa-masa di kampus, jadi malu hati ini, betapa lucunya kalau sholat di masjid kampus namun sering tidak berkenalan dengan teman di samping, padahal dalam satu shaf! Astaghfirrulloh…Mungkin karena di Indonesia sudah terlalu kondusif, suasana masyarakat muslim yang menang dalam kuantitas menjadikan nurani terbiasa ikut sibuk dengan aktivitas harian, mengenyampingkan tegur sapa dengan saudara seiman. Ditambah lagi banyaknya fitnah dan modus kejahatan termasuk modus hipnotis dengan menyapa atau menyentuh tangan atau bahu dalam tindak kejahatan, maka jika di negara kita, tegur sapa malah dianggap “PDKT” yang mencurigakan.

Ustadz kami pun pernah menggeleng-gelengkan kepala, “kalian tidak tau siapa teman yang ada di samping kalian pada saat sholat dzuhur berjamaah tadi? Yah kalau tidak kenal, kenalan donk… waduuh… jangan-jangan senyum pun enggan yah, bagaimana mau bersatu nih generasi kalau satu shaf saja tidak saling kenal…?”, alasan yang sering kita pakai adalah malu, sedang terburu-buru atau malas bahkan mungkin sedang bad-mood.

Padahal, kita sudah sering membaca ayatNYA, “Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal”, (QS. Al Hujurat : 13)

Kini saat benar-benar selalu merindukan nuansa islami, selalu kangen pada sahabat-sahabat untuk duduk dalam majelis ilmu, maka Saya jadi merasa lebih peka, mendahulukan “pencarian tentang siapa lagi yang belum kukenal” dibandingkan merasa bad-mood atau terburu-buru mengejar jadwal. Pernah suatu sabtu sore kami berjalan di taman, harus segera pulang karena sudah lelah, namun senyum langsung terukir di bibirku serta lidah ini mengalir mengucap salam, ada sesosok muslimah berjalan bersama suami dan anaknya, berlawanan arah dengan kami.

Sepertinya mereka pun tengah sibuk dan ingin segera pulang. Namun karena kami sama-sama sangat terharu dan bahagia akan perkenalan itu, maka kami sempatkan bertukar email, nomor telepon bahkan berphoto sebentar. Kemudian sepulangnya ke rumah, kami berbicara melalui telepon, suamiku dan suami sahabatku tersebut saling tukar info tentang ruang sholat jumat di tempat lain, yang mana disini terbiasa menyewa ruangan dewan kota untuk sholat jumat.

Hingga kini beliau masih mengingat, “indah sekali pertemuan kita. Allah SWT mempertemukan kita di taman menjelang maghrib, kamu dan saya tersenyum… lalu kita berkenalan, bagi orang lain mungkin biasa-biasa saja. Namun bagi sosok kita muslimah yang minoritas di negeri ini, istimewa, hal ini adalah hadiah yang sangat besar dari Nya, fantastis…”, celoteh sahabatku itu.

Di lain waktu pun, gara-gara tersenyum kecil seraya bermain dengan anak-anakku di tempat permainan anak dalam suatu toko, seorang wanita tua yang sering berjumpa denganku dengan wajah cemberutnya, tiba-tiba saat itu menyapa dan membalas senyumku, dia bertanya, “kamu kenapa pakai kain panjang di kepala gini? Tiap hari pula ? ini kan musim panas, panas kan yah…?,” ujarnya sambil memegang hijabku. Dengan bahasa lokal kujawab bahwa ini memang pakaianku sebagai muslimah. Lalu dia berkesimpulan bahwa pakaian ini merupakan ciri khas wanita beragama Islam.

Ternyata saling menyapa dan tersenyum bukan hanya mengurangi stress dan menyebabkan hati gembira, melainkan juga meruntuhkan cemberut orang lain dan melekatkan pertemanan. Secara alamiah, senyuman membuat otot wajah terlatih untuk tetap segar dan kencang, keramahan ternyata sebagai salah satu ciri sehat lahir bathin.

Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan At-Tirmidzi, Al-Husein Radliyallahu’anhu, cucu Rasulullah SAW menuturkan keluhuran budi pekerti beliau. Ia berkata, ”Aku bertanya kepada Ayahku tentang adab dan etika Rasulullah Shallahu ‘alaihi wa Sallam terhadap orang-orang yang bergaul dengan beliau. Ayahku menuturkan, ‘Beliau Shallahu ‘alaihi wa Sallam senantiasa tersenyum, berbudi pekerti lagi rendah hati, beliau bukanlah seorang yang kasar, tidak suka berteriak-teriak, bukan tukang cela, tidak suka mencela makanan yang tidak disukainya. Siapa saja mengharapkan pasti tidak akan kecewa dan siapa saja yang memenuhi undangannya pasti akan senantiasa puas…..” . Subhanalloh, semoga sebanyak apapun cobaan hari ini, kita tak lupa untuk tetap saling menyapa dan tersenyum.

(Salam ukhuwah dari Krakow, 12 syawal.1431H)