Pilihan Hati

Tiba-tiba keluarga itu tercengang dengan keputusan Shasa, terbilang masih sepupu suamiku. Shasa, gadis ayu yang penurut, sungguh mengagetkan saat bersedia dengan tegar mengikuti tantangan sang Ayah, “Kalau engkau menikah dengan pria itu, maka engkau bukan lagi anakku!”, tegas Ayahnya.

Pria yang dimaksud adalah pacar Shasa, selama ia menjalani hari-hari sebagai pramugari cantik di sebuah maskapai penerbangan nusantara. Pria itu nonmuslim. Shasa sepertinya tak punya pandangan mata yang normal lagi, apalagi mata hati yang jernih, dengan membiarkan orang tua sakit hati, bahkan Ayahnya meninggal dunia tahun lalu saat semakin sakit-sakitan.

Padahal, sebelum diukur dengan “kadar imam dambaan wanita”, (maaf) secara fisik pun biasa saja, pria itu terhitung tidak ganteng malah, yang akhirnya sanak-keluarga mengisukan “ilmu hitam” yang dipakai si pria untuk menarik Shasa menjadi istrinya. (Naudzubillahi minzaliik)

Sekarang Shasa sudah tak lagi ramping, tubuhnya sama gendut dengan anaknya. Padahal baru beberapa tahun menikah, guratan penuaan dini sudah menjalar di wajahnya, kemungkinan besar adalah bersumber dari kegundahan nurani, karena dalam hukum Islam, murtad adalah termasuk dosa besar. Sehebat-hebatnya ia bersandiwara dengan senyum mesra seolah bahagia dengan agama barunya, pastilah hatinya menangisi pilihan fatal dalam hidupnya itu. Firman Allah SWT, “ Dan barang siapa mencari agama selain Islam, maka dia tidak akan diterima (agama itu) dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang rugi.” (QS. Ali ‘imraan:85).

Sabda Rasulullah SAW yang diriwayatkan Tabrani: "Barang siapa telah menikah, ia telah memelihara setengah bagian dari imannya, karena itu, hendaklah ia takwa (takut) kepada Allah dalam bagian yang lain." Lantas bagaimana mungkin seorang wanita muslimah malah rela mengubah agamanya demi menikah dengan pria nonmuslim itu? Pikiran orang-orang normal biasanya, “apakah tidak menemukan lelaki muslim yang pantas ?”, dan Shasa punya pertimbangan lain, “kata cinta”, kemewahan atau alasan lainnya.

Berbeda dengan Kak Risa, yang pernah dilamar seorang teman kantornya, nonmuslim. Teman pria ini mengaku amat sangat mencintainya, dan bersedia menikah “beda agama”, di Singapura atau Belanda, sehingga baginya tak masalah jika Kak Risa tetap muslimah sedangkan ia tetap menganut agama yang dipeluknya. Alhamdulillah, Kak Risa teguh pendirian, orang tuanya telah menjelaskan bahwa pernikahan yang seperti itu adalah tidak sah di mata Allah SWT, tetap zina seumur hidup.

Sungguh Saya bangga pada Kak Risa, beberapa tahun lalu, pilihan hatinya yang tepat telah menuntunnya pada kehidupan rumah tangga yang indah bersama Mas Tono. Kak Risa telah menggunakan busana muslimah, menutup aurat dengan baik, serta pasca menikah, ia menaati suaminya untuk segera resign dari kantor tempatnya bekerja agar lebih bisa menjaga kondisi tubuh sebagai persiapan kehamilan. Sekarang mereka sering bermain di taman bersama bidadari mungil yang lucu, indahnya rumah tangga tersebut.

Pilihan Hati, artinya nurani yang bicara, sepanjang hidup ini kita selalu dihadapkan atas jutaan pilihan. Kita harus memilih dengan tepat, walaupun sulit saat pilihan itu bertaburan ibarat debu, namun kita harus lakukan. Pilihan Hati saat berjumpa sosok “pendamping hidup”, yang menemani hari-hari hingga akhir hayat (insya Allah) biasanya adalah episode terhebat bagi sebagian besar orang.

Pilihan Hatiku saat baru masuk kuliah semester satu, kuyakini bahwa pendampingku—seorang muslim yang selalu optimis pada Allah SWT, walaupun manusia lainnya menghina, “ya ampuuun, masih kuliah, gajiannya guru privat doang?”, atau “kamu bodoh banget yah, dilamar si anu yang udah jadi orang hebat kagak mau, eeeh… pas dilamar mahasiswa kurus, kucel dan gak punya apa-apa, koq mau aja?”, atau cemoohan kalimat seperti, “liat aja loe…ntar baru berapa taon nikah, udah nangis-nangis minta Ce**i, kan anak muda sekarang banyakan gitu niru artis?” (halah, yang ini termasuk tidak pantas, mendo’akan keburukan untuk orang lain).

Ternyata benar, penilaian sekilas dari manusia tak ada artinya di mata Allah. Begitupun sosok calon suamiku ini, dulunya benar-benar bertekad kuat untuk menikah di usia muda, namun sudah beberapa kali ditolak akhwat, rata-rata tak percaya akan kesungguhannya, dengan alasan, “maisyahnya kurang, sebaiknya nunggu lulus kuliah dulu dan kerja mapan, jadi bisa menanti beberapa tahun lagi…”. Bagi sosok disisiku ini, tak ada istilah penantian apalagi pertunangan, teman-temannya dahulu menjulukinya “si keras kepala”. Namun ternyata, kata yang lebih tepat penilaianku padanya adalah, “berani &optimis memegang prinsip”.

Dengan kekuasaan Allah SWT jualah, kami hanya bertemu di forum diskusi tentang Palestina, tadinya tak ada niatan untuk mencari jodoh di forum itu, namun melalui perantaraan temannya yang ternyata kakak kelasku waktu di sekolah, maka ia menanyakan info tentangku lebih jauh. Kami berbeda pulau, berbeda suku, kondisi keluarga pun berbeda, tak pernah bertukar photo, tak pernah bertemu muka hingga saat khitbah.

Namun yang pasti, dulu, setiap akan membalas emailnya, Saya selalu istikharah, cuma Allah SWT tempat meminta petunjuk yang tepat. Saya yakin, alur perjalanan itu adalah semata-mata skenario Allah SWT, hingga kini Dia telah mendidik kami menjadi makin dewasa. Sederet gelar akademik, pengalaman, maupun jumlah nominal uang yang didapat bukanlah alat ukur kesuksesan seseorang. Namun dengan izin Allah yang mudah “Kun Fayakun”, apabila Allah SWT sudah berkehendak mengirim segala kurniaNya itu buat kita, semua itu amat mudah untuk diraih.

Azzam alias Tekad yang kuat saat menetapkan pilihan harus selalu tertanam di hati. Tak pernah putus rezekiNya, tak pernah ada istilah pengangguran sebagai pemuda-pemudi kreatif, dan tak pernah jauh dari rasa optimis pada Allah SWT. Hanya dalam hitungan dua tahun, kala suamiku sudah lulus kuliah dan harus training ke Jerman, cemoohan orang makin memudar. Toh akhirnya tahun berikutnya saat kami sudah mampu membeli rumah sendiri di sudut Jakarta, makin gigit jarilah para penghina itu.

Saya telah sering mengukir hikmah, sharing atas berbagai peristiwa tentang Rumah Tangga kami di catatan cinta oase iman ini. Alhamdulillah semakin naik tangga, Saya pun lulus kuliah dengan lancar, cita-cita kami untuk melanglang buana ke berbagai negara (dengan catatan : bukan menggunakan uang rakyat donk!) tercapai, benua-benua lain telah dijelajahi. Dan Alhamdulillah makin banyak pengetahuan baru di berbagai negeri, tak membuat pilihan hati ini berubah.

Di Krakow dan kebanyakan kota-kota Eropa lainnya, kesadaran masyarakat akan pola hidup sederhana sudah sangat tinggi, tak ada pengaruh peningkatan nominal kekayaan dengan gaya hidup (lifestyle). Membeli barang apapun, biasanya sesuai kebutuhan saja, hidup bersahaja. Misalnya hal kecil disini masih banyak pengguna ponsel zaman “ulekan cabe”, merk lama dan ponsel ukuran gede, tapi masih berfungsi dengan baik, walaupun pemiliknya mampu membeli smartphone model tercanggih. Allah SWT Maha Kaya, jangan takut memilih jika hati telah khusyu’ bertanya padaNYA.

Ombak-ombak selalu ada dalam setiap perjalanan hidup, Saya pun pernah memperoleh sms dan telepon dari ex-orang dekat suami, dia minta dijadikan “teman” (alias poligami, oh Allah… semudah itukah?), dan suamiku tidak menginginkan itu. Godaan di dalam negeri terkait kolusi, saat tetangga meminta “pertolongan” dengan pemberian nominal yang besar agar lancar tes (masuk kerja) di perusahaan tempat suamiku bekerja, tentu saja kami menolaknya tegas namun secara halus. Serta berbagai macam peristiwa hidup yang merupakan pengalaman berharga, menjadikan suami-istri makin banyak menggali hikmahNYA, makin erat kemesraan ini.

Ayat cinta-NYA menghibur saat menghadapi berbagai kejadian, “Dia-lah yang telah menurunkan ketenangan ke dalam hati orang-orang mukmin supaya keimanan mereka bertambah di samping keimanan mereka (yang telah ada). Dan kepunyaan Allah-lah bala tentara langit dan bumi dan adalah Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.” (QS. Al-Fath : 4).

Bukan saja cemoohan masyarakat atas pernikahan muda beberapa tahun lalu, namun ada “kepercayaan adat” bahwa tak boleh mendahului kakak-kakak kandung dalam pernikahan. (Lalu seolah ada ancaman bahwa kakak yang “dilangkahi” tidak akan dapat jodoh lagi) Mitos ini langsung terpatahkan, satu persatu kakak-kakakku menikah dengan lancar, Alhamdulillah dukungan dan do’a orang tua merupakan kekuatan cinta pula bagi kami semua.

Sesungguhnya setiap amalan harus disertai dengan niat. Setiap orang hanya akan mendapatkan balasan tergantung pada niatnya. Maka, luruskan hati dengan niat yang tulus, pilihlah sesuatu dengan kemantapan nurani, mohon bimbinganNYA selalu, insya Allah segalanya dimudahkan.

Sedangkan di kota B, nenek tetangga tempat kami kos dahulu masih bersedih hati, anak-anaknya yang kami panggil bibi, tiga orang masih tetap single. Mereka empat bersaudara perempuan, yang sulung baru menikah di usia kepala empat. Dulu, adiknya yang ketiga tidak diizinkan menikah “hanya gara-gara adat tersebut”, tak boleh melangkahi sang kakak-kakak.

Harus berurutan menikahnya, padahal toh kita meninggal dunia nanti belum tentu berurutan antara kakak-adik. Maka hingga kini, tiga bibi yang makin dewasa, tak terasa sudah beruban, namun tetap hidup sendiri-sendiri. Salah seorang dari mereka berusia tak jauh dari usia ibuku. Pilihan hidup mereka untuk terus memegang adat walaupun “takdir ikhtiari” sesungguhnya ada jalan lain yang lebih baik.

Janganlah ragu, teman. Hendaknya kita memilih sesuatu berdasarkan perintahNYA dan hadits rasulNYA, condongkan hati pada rasa optimis akan bantuan dan bimbinganNYA, bukan berdasarkan ego diri, mitos-mitos atau adat yang jauh dari nilai syari’at. Wallahu ‘alam bisshowab.

(bidadari_Azzam, salam ukhuwah dari Krakow, 29 jan.2011)