Bocah Pengamen Terminal Blok M

Sabtu pagi lusa kemarin, saya telah berjalan di koridor panjang terminal Blok M. Langit masih gelap, namun udara telah penuh dengan asap. Di lajur dua saya terus berjalan mengikut ayunan kaki. Pagi ini memang ada acara di Universitas Al-Azhar Kebayoran. Hanya saja, acara dimulai lebih kurang dua jam setengah lagi. Jadilah saya terus berjalan di Blok M ini, kembali kepada tradisi yang pernah saya lakoni setiap pagi sekitar duapuluh tahun lalu.

Saya turun masuk ke perut terminal yang dipenuhi lapak besar kecil yang masih dibungkus dengan terpal warna-warni. Dua satpam mengitar di lokasi. Beberapa gerobak berjejer tergembok menempel di dinding.

Limapuluh meter tibalah saya di tangga naik ke atas terminal. Langkah mendadak terhenti. Kedua mata saya terantuk pemandangan yang sungguh-sungguh mengganggu. Belasan pengamen belasan tahun masih tertidur di anak tangga. Saya terkesiap. Di antara mereka terdapat remaja puteri berjilbab yang juga terlelap di sana. Tangan kanannya masih memeluk gitar kecil. Sedang yang kiri terlipat di bawah kepala sebagai bantal.

Dengan berhati-hati saya melangkahkan kaki menaiki anak tangga. Menjejak di antara tubuh-tubuh anak-anak yatim sejarah yang dilupakan oleh para penguasa dan mereka yang kini tengah di mabuk kekuasaan.

Di anak tangga teratas, seonggok tubuh mungil bocah perempuan begitu lelap dalam tidurnya. Usianya mungkin baru tiga atau empat tahun. Kulitnya bersih. Wajahnya begitu damai. Kepalanya berbantalkan perut seorang laki-laki yang jika sekolah mungkin baru kelas enam sekolah dasar. Di dekat mereka tergeletak sebuah kecrekan, alat mereka mencari nafkah.

Ya Allah… kedua mata saya basah memendam perih. Jantung begitu pedih serasa disayat sembilu. Negeri yang Engkau anugerahi dengan banyak kekayaan alam, bagaikan surga dunia, kini dihuni oleh banyak paria. Di manakah para penguasa, pejabat, anggota DPR, para menteri, orang-orang kaya, dan para alim-ulama, sehingga kian hari kian banyak saja anak-anak negeri yang jatuh ke dalam kehidupan tanpa harapan selain menunggu saat kematian.

Ya Allah, sudah belasan tahun negeri ini katanya mengalami fenomena kebangkitan Islam. Namun mengapa segalanya tidak berubah. Kemaksiatan, korupsi, kezaliman, mark-up anggaran, rebutan proyek, sogok dan suap, semuanya malah kian ramai. Bahkan di banyak instansi pemerintah, uang haram hasil mark-up dikumpulkan untuk dijadikan Tunjangan Hari Raya bagi para pejabatnya. Naudzubillahi min dzalik!

Saya bersandar di terali terminal. Tiga meter dari tempat saya berdiri, bocah perempuan itu masih tertidur pulas. Wajahnya sangat damai…. Mungkin dia tengah bermimpi bermain di sebuah taman yang indah bersama ayah dan bundanya yang entah di mana berada.

Saya terus menangis dalam sepi. Entah mengapa, teringat satu kalimat bijak yang berbunyi: “Seburuk-buruknya ulama adalah yang mendekati penguasa, dan seburuk-buruknya penguasa adalah yang jauh dari ulama.”

Di kejauhan, bendera-bendera parpol melambai-lambai ditiup angin, bagai orang autis yang asyik sendiri dengan dunianya dan tidak pernah sadar dengan realitas di sekelilingnya.