Bukan Kepalanya, Tetapi yang Ada di Dalamnya

Ada satu lagi penggalan kisah lucu di masa sekolah dulu yang hingga saat ini tidak pernah –dan saya yakin tidak akan pernah- bisa terlupakan. Kali ini soal rambut, ya rambut di kepala saya yang susah diatur.

Sejak lahir saya dianugerahi dua ‘user-user’ –atau apalah namanya- oleh Allah SWT, sementara anak lainnya rata-rata hanya punya satu di kepalanya. Orang tua dulu bilang, kalau anak memiliki dua user-user berarti anak itu nakal, susah diatur dan bakalan jadi anak yang keras kepala. Saya sendiri tidak pernah ambil pusing dengan anggapan tersebut, karena memang seratus persen tidak percaya!

Soal susah diatur dan kaitannya dengan dua user-user itu, justru bukan diri ini yang susah diatur, melainkan rambut di kepala saya. Ya, tidak hanya saya yang dibuat sibuk dengan rambut ini, bahkan ibu saya pun harus ikut mengurusi rambut ini setiap pagi sebelum berangkat ke sekolah.

Babak ini dimulai seiring dengan pertumbuhan seorang anak lelaki menjadi remaja yang baru tumbuh. Saat duduk di kelas 6 Sekolah Dasar (SD), remaja baru ini mulai mengenal lawan jenis dan menaruh ketertarikannya kepada salah seorang temannya di kelas. Terang saja, ia merasa harus tampil rapih dan menarik agar sang tautan hati melihatnya sebagai lelaki yang sedap dipandang mata. Masalahnya, lantaran dua user-user itulah ada bagian dari rambut yang berdiri terus, orang betawi nyebutnya “njegrik”, dan saya, si remaja baru itu, selalu merasa tidak nyaman dengan rambut njegrik itu karena merusak penampilan.

Setiap pagi –selalu- remaja baru ini dibuat senewen, menggerutu dan dibuat ngambek akibat rambut njegrik. Disisir ke depan salah, ke kanan salah, ke kiri apalagi, ke belakang? Oh no… semakin tidak beraturan. “Sini ibu sisirin…” tangan lembut ibu mengambil alih. Namun tetap saja si njegrik itu tidak mau tiarap. Akhirnya ibu punya akal, diambilnya cream rambut dan mengoleskan khusus di bagian yang berdiri saja. Hasilnya, surprise! Mereka tiarap… saya pun melenggang ringan ke sekolah.

Namun sebelum tiba di sekolah, adik saya tertawa melihat rambut saya. “Njegrik lagi tuuhh…” tertawanya makin geli, membuat saya merasa tidak berharga. Akhirnya hari itu ke sekolah dengan perasaan yang tidak nyaman, bahkan saya merasa malu bertemu dengan teman-teman, tidak mau mendekat dan bicara, terlebih kepada si inceran mata.

Esok paginya, saya bilang ke ibu kalau idenya mengoleskan cream rambut tidak menyelesaikan masalah. Ibu pun menawarkan saya untuk mengenakan topi, tapi saya tolak mentah-mentah, karena bagi saya rambut merupakan daya tarik yang justru tidak boleh ditutupi. Entah berapa lama sudah saya merasakan ketidaknyamanan itu, entah sudah berapa cara dilakukan untuk membuat rambut-rambut njegrik itu tertidur. Sampai pernah satu kali saya memutuskan untuk memotong habis bagian yang njegrik itu, hasilnya malah lebih parah! Teman-teman meledek saya pitakan…

Hingga suatu hari, dalam keputusasaan di satu pagi. Tangan lembut ibu membelai rambut saya, “Bukan soal rambut di kepala ini nak, yang penting yang ada di dalam kepalanya”. Aah, sungguh kalimat yang menyejukkan. Saya pun berangkat ke sekolah dengan langkah seringan awan. Bahkan jika rambut ini berdiri semuanya pun saya tak lagi peduli. Terima kasih ibu, ibu tahu betul yang saya butuhkan sesungguhnya. Isi di dalam kepala ini, jauh lebih penting untuk saya urusi.

***

Don’t judge the book from the cover. Kalimat yang cukup pas untuk menggambarkan kisah di atas. Betapa sering kita mengurusi tampilan luar, namun kerap terlupa memperbaiki pikiran dan hati ini. Kadang tak pernah absen kita membetulkan semua yang berantakan di luar, tetapi lupa menata yang di dalam. Kita sering mementingkan kemasan, tapi mengabaikan isinya.

Sementara di satu sisi, dalam menilai orang lain pun, kerap mata ini hanya mampu melihat tampilan luar, tanpa mampu menembus hingga ke kedalaman isinya. (Gaw)