Dalam Genggaman Allah

Menjelang waktu Ashar, bis yang kami tumpangi singgah di Terminal Bis Tegal, Jawa Tengah untuk beristirahat. Kami pun bergegas turun menuju ke sebuah toilet kumuh di belakang terminal untuk berkemih. Setelah itu, kami menuju sebuah warung terdekat untuk mengganjal perut yang lapar selama menempuh perjalanan hampir tujuh jam dari Terminal Bis Solo.

Perjalanan kami akan berakhir di Terminal Bis Cirebon dan kemudian dilanjutkan dengan ganti bis lain yang menuju Jakarta. Menurut perhitunganku, insya Allah menjelang maghrib kami akan tiba di Cirebon dan sekitar tengah malam mungkin kami sudah tiba di Jakarta. Aku bertekad untuk bisa tiba di Jakarta sebelum tengah malam agar dapat ikut ujian seleksi masuk sebuah institut kedinasan negara pada sabtu paginya.

Perjalanan dari Solo ke Jakarta ini terpaksa kami lakukan dengan cara sambung-menyambung karena tidak tersedianya bis langsung Solo – Jakarta pada pagi hari. Jadilah kami estafet dari Terminal Bis Solo menyambung ke Cirebon kemudian dilanjutkan ke Jakarta. Perjalanan ini aku tempuh bersama Si Udin, tetangga dekat rumahku yang kebelet sekali kepengen kuliah di sebuah universitas swasta Islam di Solo.

Udin adalah lulusan Sekolah Teknik Menengah Negeri (STM) di Jakarta, otaknya lumayan encer meskipun dulu senang tawuran. Hobi anehnya ini cukup sukses membuat jantung emaknya deg-degan karena takut anaknya jadi korban kebrutalan para pelajar nakal saat itu. Karena sungkan dengan emaknya yang juga guru ngajiku ketika kecil dulu, aku pun manut saja ketika diminta menjadi penunjuk jalannya. Ditambah lagi adanya iming-iming semua tiket pulang-pergi akan ditanggung oleh emaknya.

Setelah kenyang melahap nasi rames dan menghabiskan secangkir kopi susu di warung pojok Terminal Tegal, kami pun berniat segera kembali naik kedalam bis untuk melanjutkan perjalanan. Namun, ketika Udin mencoba mengeluarkan dompetnya untuk membayar semua makanan dan minuman yang telah kami lahap, wajahnya tiba-tiba pucat pasi mirip caleg yang gagal terpilih. Dengan raut muka panik, tangannya sibuk menggerayangi semua kantong celananya demi menemukan sebuah dompet kulit butut miliknya yang berisi uang yang jumlahnya cukup untuk bisa mentraktir jajan satu kelas siswa taman kanak-kanak.

"Dompetku hilang… gak ada dicelana!," teriak Udin kepadaku sambil diikuti tatapan curiga dari si pemilik warung.

Akupun ikut-ikutan panik. Kopi susu, nasi rames dan gorengan yang baru saja kami telan serasa mau keluar semua. Semua yang kami ganyang harus ada yang membayar dan tidak mungkin Si Udin yang sedang mirip orang kesambet setan linglung yang membayarnya. Uang yang tersisa dikantongnya hanya mampu untuk membayar dua cangkir kopi susu, padahal dialah yang paling banyak makannya. Akhirnya dengan sangat terpaksa aku lunasi semua makanan yang telah kami makan. Itupun dengan memakai uang dua puluh ribuan sangu dari Budeku ketika kami pamitan pulang tadi pagi.

Dengan perasaan galau, bingung, putus asa bercampur aduk jadi satu, kami segera kembali ke bis dengan harapan dapat menemukan dompet Si Udin yang mungkin saja terjatuh di sana. Apa daya, kami tidak menemukan apa yang kami cari di dalam bis. Juga ketika kami mencoba bertanya kesana-kemari kepada para penumpang dan kru bis. Semakin terbayang sudah apa yang akan terjadi kelak dengan nasib kami nanti. Tiba-tiba Udin tersadar dari linglungnya, ia teringat ketika tadi sedang berjalan menuju toilet terminal, ada seseorang yang menabraknya dari belakang. Ia tidak menaruh curiga apa pun sampai ia tersadar bahwa dompetnya telah ghoib saat kami makan di warung tadi.

Saudaraku, nasib malang yang menimpa "duo musyafir apes" ini ternyata tidak sampai di situ. Tak disangka-sangka, sang kondektur bis memberikan sebuah pengumuman yang mengagetkan. Pengumuman yang membuat hati kami semakin ciut dan membuat dada kami sesak serasa digencet pintu bis. Bis yang kami tumpangi ternyata tidak bisa meneruskan perjalanan hingga ke Terminal Bis Cirebon dikarenakan ada hal-hal khusus yang tidak bisa ungkapkan ke publik. Semua penumpang akan diberikan uang kompensasi sebesar lima ribu rupiah untuk meneruskan perjalanan sendiri ke Terminal Bis Cirebon dengan angkutan umum yang lain.

Otakku bertambah pusing dan hatiku semakin kalut, tak tahu apa yang harus kami lakukan dan bagaimana caranya bisa meneruskan perjalanan nanti dengan uang dikantongku yang hanya tinggal sekitar tujuh ribu lima ratus rupiah. Udin tidak kalah gelisahnya, seumur-umur baru pertama kali ini ia keluar kampungnya dan harus dihadapkan dengan kenyataan pahit bahwa malam ini ia akan terdampar di kampung orang entah sampai berapa lama. Malangnya lagi, uang kompensasi yang diberikan sang kondektur bis tadi ternyata tidak cukup untuk ongkos lanjutan ke Cirebon, sehingga dikeluarkanlah sisa uang recehan terakhir Si Udin untuk menggenapi ongkos kami.

Pikiranku mulai menerawang, menggerataki hari dimana kami memulai perjalanan bersama Si Udin mulai dari Terminal Bis Solo hingga Terminal Bis Tegal. Tiba-tiba aku tersadar bahwa ini mungkin "jeweran" dari Allah atas kedurhakaan kami selama ini. Sepanjang perjalanan, tanpa sadar kami telah melalaikan kewajiban shalat Jumat dan shalat Ashar. Rencana untuk menggabungkan shalat ketika bisnya beristirahat di sebuah terminal nanti telah terlupakan gara-gara disibukkan mencari dompet yang hilang.

Ditambah lagi, Si Udin yang sepanjang perjalanan menceritakan nostalgia kelakuan keblingernya ketika masih di STM dahulu yang pernah membajak sebuah bis kota bersama gerombolan kawan-kawan berandalnya. Drama pembajakan itu diakhiri dengan acara melucuti semua harta milik para penumpang bis tersebut. Akhirnya aku menemukan jawaban dari “rahasia ”musibah yang menimpa kami ini.

Setelah sampai di Terminal Cirebon aku meminta Udin untuk sama-sama mencari masjid guna menunaikan shalat Maghrib sekaligus Shalat Isya yang waktunya memang sudah injury time. Di sebuah musholah kecil di lantai atas terminal tersebut kami pun shalat dan bersama-sama berdoa meminta ampun, taubatan nasuha atas segala kedurhakaan dan kezaliman yang telah dilakukan selama perjalanan hidup kami. Juga atas dosa-dosa kami yang telah melalaikan shalat selama perjalanan. Setelah shalat, dengan sedikit rasa sayang aku cemplungkan juga beberapa lembar uang ribuan kumal ke dalam sebuah kotak amal di pojokan musholah.

Dengan langkah gontai tak tentu arah mirip tentara yang kalah perang kami keluar menyusuri jalan menjauh dari Terminal Cirebon. Kami benar-benar berada dipuncak rasa putus asa dan dipenghujung harapan untuk mendapatkan pertolongan dari siapapun. Mungkin ini adalah hukuman Allah atas dosa-dosa kami. Tiba-tiba terlintas pikiran untuk menumpang truk-truk pengangkut sembako yang biasa melintasi jalur pantura atau menumpang kereta api barang yang menuju Jakarta. Asalkan kami bisa sampai Jakarta malam itu juga dengan selamat, segala ikhtiar akan kami tempuh. Kalau perlu kami akan menjadi pengamen atau pengemis untuk bisa kembali ke rumah.

Kami pun kemudian berhenti di sebuah perempatan lampu merah di depan Terminal Cirebon. Dari jauh aku melihat dua petugas polisi yang sedang duduk mengawasi lalu lintas dari dalam sebuah pos jaga kecil di sudut perempatan jalan. Kami menghampiri para opsir jaga tersebut sambil menceritakan tujuan dan nasib kami yang terdampar gara-gara Si Udin yang terlalu murah hati "menyedekahkan" dompetnya buat pencopet. Tak lupa aku ceritakan juga bahwa aku harus sampai Jakarta malam ini juga karena esok pagi aku ada ujian masuk sebuah institut kedinasan milik pemerintah. Kalau sampai gagal, alamat bakal suram lagi masa depanku.

Para opsir yang mengenakan jaket kulit tersebut berkata bahwa para sopir truk angkutan sembako tidak mungkin mau mengangkut kami dengan alasan keamanan barang bawaan mereka dan solusi naik kereta barang pun bukan jalan keluar yang tepat karena berbahaya. Mereka kemudian berunding untuk mencari jalan keluar bagi kami. Salah seorang opsir tersebut kemudian menghampiri kami.

"Sampeyan masih punya duit berapa mas?," tanyanya sambil memasukkan tangannya ke saku celananya.

"Tinggal lima ribu rupiah Pak, sedangkan kawan saya tidak punya uang sama sekali," jawabku sambil sedikit curiga jangan-jangan sang opsir akan minta sedekah seperti dahulu ketika aku kena tilang di Jakarta.

"Oke! Kalau begitu saya ada dua ribu rupiah nih, saya tambahkan ya. Dan kalian akan saya naikkan bis menuju Jakarta dari Terminal Cirebon. Tenang aja, pokoknya saya yang tanggung jawab dan sampeyan bisa sampai Jakarta malam ini juga. Sampeyan kudu ikut ujian kedinasan itu supaya bisa lulus dan punya masa depan yang baik!," kata si opsir sambil tersenyum memperhatikan wajah kami yang masih terbengong-bengong tidak percaya.

Dengan dibonceng dua unit sepeda motor oleh dua orang petugas baik hati yang tidak aku ketahui nama dan pangkatnya tersebut, aku dan Udin pun kembali menuju Terminal Bis Cirebon. Setelah bernegosiasi sebentar dengan kru sebuah bis yang akan segera berangkat ke Jakarta, para penegak hukum teladan itu menyerahkan uang sejumlah tujuh ribu rupiah kepada mereka. Tampaknya para kru bis tersebut percaya kepada kondisi kami yang baru saja ditimpa musibah karena pak polisi sendiri yang mengantarkannya. Mereka bahkan menerima saja ongkos ala kadarnya yang diberikan kepada mereka meskipun tarif Bis Patas AC tersebut adalah dua belas ribu ripuah per orangnya. Alhamdulillah..!

"Awas ya, jangan sampai kalian turunkan ditengah jalan anak-anak ini. Saya cari kamu nanti kalau sampai mereka diturunkan!," pesan sang opsir kepada si kondektur bis sebelum pamit untuk kembali ke pos jaganya.

"Beres Pak, jangan khawatir! Saya akan antar anak-anak ini sampai ke tujuannya.," balas sang kondektur.

Setelah terguncang-guncang dalam bis selama hampir lima jam, sang kondekturpun membangunkan kami karena bisnya telah tiba di Terminal Bis Pulogadung, Jakarta tepat pukul satu malam. Dengan berat hati Udin kemudian menawarkan baju kemeja kesayangannya yang masih baru kepada seorang penjual obat di pinggir jalan untuk ongkos perjalanan kami sampai ke rumah. Setelah tawar-menawar, ditambah dengan wajah memelas dari kami, sang penjual pun setuju untuk membayar baju tersebut seharga dua belas ribu rupiah. Alhamdulillah..! Dengan uang tersebut akhirnya kami pun bisa melanjutkan perjalanan ke arah Barat Jakarta.

Ketika azan subuh berkumandang, kami pun tiba di ujung jalan menuju rumah kami. Kami masih tidak percaya. Di saat hampir habis harapan kami, ternyata Allah mengabulkan doa kami dan mengirim kami pulang ke rumah dengan cara yang luar biasa. Tanpa dikomando, secara bersamaan kami pun sujud syukur di atas jalan aspal yang dingin dan sepi. Sampai-sampai kami saling menampar muka masing-masing untuk membuktikan bahwa ini bukanlah mimpi. Kesempatan untuk dapat mengikuti ujian masuk institut kedinasan pun kembali terbuka lebar di depan mataku. Sungguh ajaib!

Saudaraku, hari itu aku mendapatkan sebuah pengalaman spiritual yang mungkin bagi sebagian orang merupakan hal yang biasa saja, tapi sangat dalam maknanya bagi kami berdua. Allah menolong kami dengan cara yang sangat tidak terduga dan mustahil bagi kami. Kami menjadi semakin yakin bahwa Allah itu Sang Maha Pengasih dan Penyayang. Semua makhluk yang ada di langit dan di bumi berada di dalam genggaman kuasaNya. Tak ada satu kekuatanpun yang mampu menghalangi kehendakNya. Tinggal bagaimana kita apakah kita mau mengingat Allah di kala kita senang agar Allah mau mengingat kita di kala kita susah? Semuanya tergantung kepada diri kita sendiri yang memutuskan.

Wallahu’alam…

***

"Apakah kamu mengira bahwa kamu akan masuk surga, padahal belum datang padamu (cobaan) sebagaimana halnya orang-orang terdahulu sebelum kamu? Mereka ditimpa malapetaka dan kesengsaraan, serta diguncangkan (dengan bermacam-macam cobaan) sehingga berkatalah Rasul dan orang-orang yang beriman bersamanya, ‘Kapankah datangnya pertolongan Allah?‘ Ingatlah, sesungguhnya pertolongan Allah itu amat dekat." (QS. Al-Baqarah: 214)

(*o*) Sebuah pengalaman spiritual “menemukan“ Allah di Cirebon, Juli 1995.

[email protected]
www.eljowo.multiply.com