Virus itu Bernama Labeling

Aku masih ingat, dulu, ketika aku masih duduk dibangku sekolah dasar kelas 4, pelajaran bahasa inggris adalah pelajaran yang baru masuk di tahun itu. Aku senang sekali. Ini dia pelajaran yang aku tunggu-tunggu! Mengingat ayah memang sudah sering mengajarkanku bahasa yang satu ini. Alhamdulillah, aku jadi merasa PD. Kepercayaan diri ini kemudian membuatku merasa mampu dan tidak sulit untuk mengahapal jauh lebih banyak vocabulary dari pada teman-teman sekelasku.

Guruku memuji, teman-teman pun banyak yang berguru padaku. dua hal itu memang yang kusadari menjadi hal signifikan memgapa prestasiku di bidang bahasa inggris menjadi semakin membaik. Dan aku menjadi semakin yakin, bahwa aku memang ahli dalam pelajaran ini.

Aku juga masih ingat, ketika aku harus pindah sekolah ke negeri seberang sati tahun kemudian dan dituntut untuk lebih dapat berbahasa inggris. Aku senang dengan tantangan ini. Namun, kata-kata “tuntut” membuatku merasa masuk dalam kekangan. Aku tak suka peraturan! Aku tak suka dikekang! Dan kata “tuntut” itu membuatku loyo menghadapi tantangan. Ada hal lain lagi. Seharusnya, sebagai seorang guru bahasa inggris, ia mampu memunculkan motivasi murid-muridnya dalam belajar dan memahami apa yang diajarkan. Tapi sungguh, caranya salah! Aku yang baru datang dari Indonesia, bagian kampung, ketika tidak bisa menjawab soal-soal bahasa inggris, maka berubahlah ekspresi mukanya. Bukan menjadi marah atau kecewa. Bukan! Tapi ekspresi muka yang merendahkanku yang membuat aku semakin malas menunjukkan bahwa aku mampu. Ekspresi wajahnya seakan berkata, “ya sudhalah, maklum saja”. Lalu aku berpikir bahwa mungkin saja aku berburuk sangka, namun ternyata tidak. Guruku benar-benar mengungkapkan bahwa memang teman-teman yang lain lebih pintar dari padaku. Sebuah statement labeling yang menyakitkan bagi seorang anak kelas 5 SD saat itu. Dalam hatiku, “ayah tidak pernah bilang seperti itu. Ibu selalu mendukungku. Mengapa Bu Guru mengatakan itu?”. Maka sampailah pada titik dimana aku ikut men-cap diriku tidak bisa bahasa inggris melebihi teman-temanku. Aku selalu memilih duduk di belakang. Atau ikut tertawa miris ketika aku tidak bisa menjawab pertanyaan dari Sang Guru: Ikut menjadi maklum atas ketidakmampuanku. Ya sudahlah, memang seperti ini. Apalah daya. Aku semakin memaklumi diri.

Disinilah aku sekarang, yang mencoba melupakan kisah diatas. Namun ternyata sulit. Ya, sulit. Ketika kau berhasil me-labeling dirimu sendiri atas suatu sifat, maka ternyata sulit terlupakan. Aku sudah berusaha untuk keluar dari label yang dulu tidak sengaja kutempelkan pada diriku. Namun tetap saja ada kalanya muncul perasaan takut ketika harus berhadapan dengan sesuatu yang berbau bahasa inggris.

Disinilah aku sekarang, menyadari bahwa apa yang dilakukan guruku itu tidak akan pernah aku terapkan pada anak-anakku, atau pada murid-muridku. Tidak akan pernah! Karena ia mematikan! Racun yang sulit dinetralkan! Kanker yang tak bisa begitu saja diangkat! Virus! Howard S Becker, seorang ahli sosiologi, sudah menjelaskan bahwa labeling, “labeling theory holds that deviance is not inherent to an act, but instead focuses on the linguistic tendency of majorities to negatively label minorities or those seen as deviant from norms. The theory is concerned with how the self-identity and behavior of individuals may be determined or influenced by the terms used to describe or classify them, and is associated with the concept of a self-fulfilling prophecy and stereotyping” (Teori pelabelan bukan mengarah pada penyimpangan yang tidak melekat pada suatu perbuatan, melainkan berfokus pada kecenderungan linguistik mayoritas untuk label negatif terhadap yang minoritas atau mereka yang dianggap sebagai menyimpang dari norma-norma. Teori ini berkaitan dengan bagaimana identitas diri dan perilaku individu dapat ditentukan atau dipengaruhi oleh istilah yang digunakan untuk menjelaskan atau mengklasifikasikan mereka, dan berhubungan dengan konsep stereotip). Maka tak heran jika pada akhirnya aku –saat itu- ikut menganggap diriku tidak mampu berbahasa ingris lebih baik dari pada teman-temanku. Inilah stereotype yang kemudian membentuk identitas diriku saat itu.

Kisah ini tentu tidak bisa digeneralisasikan. Aku sadar, masih banyak guru yang hebat: Berhasil melakukan transfer of knowledge dan transfer or value. Aku punya bukti! Merekalah guru-guruku selain guru yang kuceritakan di kisah ini. Terimakasih, Pak, Bu. Kaulah pelita ilmu.

Aku tidak perlu berpanjang lebar menjelaskan hikmah apa yang bisa kita dapat dari kisah ini. Intinya hanya satu: bahwa satu kata dapat merubah dunia. Untuk kita, para calon orang tua (termasuk diriku), pahamilah bahwa apa yang kita katakan kepada anak-anak adalah apa yang akan mereka serap. Mereka cenderung mengikuti apa yang kita pikirkan. Untuk kita, para calon orang tua, kitalah pranata pendidikan pertama anak-anak nanti, kitalah pranata keadilan pertama anak-anak kita. Berikanlah yang terbaik untuk anak-anak kita, termasuk memberikan tempat belajar dan guru yang baik. Tentu kita tidak ingin, kepercayaan yang kita berikan kepada anak-anak kita, harus terkikis oleh cara ajar guru yang salah.

Wahai para guru yang kucintai, engkau contoh bagi kami, berikanlah kami kepercayaan bahwa kami mampu mengubah dunia ini menjadi lebih baik.

Allahu’alam bish-shawab.

Dalam suatu majelis Rasulullah saw mengingatkan para sahabat-sahabatnya, “Hormatilah anak-anakmu dan didiklah mereka. Allah SWT memberi rahmat kepada seseorang yang membantu anaknya sehingga sang anak dapat berbakti kepadanya.” Salah seorang sahabat bertanya, “Ya Rasulullah, bagaimana cara membantu anakku sehingga ia dapat berbakti kepadaku?” Nabi Menjawab, “Menerima usahanya walaupun kecil, memaafkan kekeliruannya, tidak membebaninya dengan beban yang berat, dan tidak pula memakinya dengan makian yang melukai hatinya.” (HR Ahmad)

Keanggian.wordpress.com