Kejujuran Itu Langgeng

Hari ini (26 April 2010), hasil ujian nasional (unas) siswa SMA/SMK/MA diumumkan. Saya tidak hendak menyoroti banyaknya siswa yang tak lulus unas. Sebab, dalam ujian, pasti ada yang lulus dan tidak lulus. Dengan standar nilai kelulusan yang cukup ”mencekik” plus ketatnya pengawasan, tingginya angka ketidaklulusan merupakan keniscayaan.

Ada hal yang lebih menarik untuk dicermati, disikapi, dan diatasi. Yakni, krisis kejujuran. Tak bisa dimungkiri, salah satu penyakit kronis yang melanda dunia pendidikan kita saat ini adalah kejujuran. Orang mengira bahwa uang bisa membeli kejujuran. Tahun lalu saja, dunia pendidikan kita tercoreng dengan kasus 100 persen siswa di SMAN 2 Ngawi tidak lulus. Penyebabnya, mereka mendapatkan kunci jawaban soal yang salah! Memalukan.

Bahkan, demi lulus 100 persen, ada kepala sekolah yang nekat mencuri lembar soal dan jawaban unas. Ada pula yang sekolah yang meminta murid-muridnya datang lebih pagi untuk memberikan jawaban soal unas. Busyet!

Ada yang bilang bahwa kejujuran itu cuma retorika. Di negeri ini, orang-orang jujur dianggap sebagai kaum pinggiran. Mereka justru dimusuhi dan dianggap munafik. Celaka.

***

Pada 9 Desember 2009, bertepatan dengan peringatan hari antikorupsi sedunia, ada pahlawan kejujuran dari Bandung. Dia adalah Oo Kosasih. Dia menerima uang kadeudeuh (penghargaan) Rp 1 juta dari Wakil Wali Kota Bandung Ayi Vivananda. (Detiknews.com, 10/12/2009).

Uang kadeudeuh tersebut diberikan karena atas kejujuran Oo. Dia mengembalikan tas milik Rian yang ditemukan di pinggir Jalan Wastukencana pada November 2009. Meski sederhana, tindakan Oo patut mendapatkan apresiasi.

Tentunya, di luar sana, masih banyak Oo Kosasih yang lain. Nah, orang-orang seperti mereka, pahlawan kejujuran, pantas mendapatkan kadeudeuh, bukan malah dimusuhi dan dianggap munafik.

Dalam kejadian lain, saya mendapati seorang tetangga yang rela kembali ke pasar, padahal jarak dari rumahnya cukup jauh. Gara-garanya, dia menerima uang kembalian lebih Rp 5 ribu. Merasa si pedagang keliru karena memberikan uang kembalian lebih, tetangga saya tersebut buru-buru mengambil sepeda onthel dan bablas ke pasar untuk menyerahkan uang Rp 5 ribu tersebut.

Mungkin, Oo dan tetangga saya tadi bisa dengan mudah menelip tas dan uang kembalian itu. Tapi, mereka tidak melakukannya. Mereka lebih memilih mengembalikannya. Mungkin saja, kondisi ekonomi mereka pas, tidak kurang dan tidak lebih. Tapi, mereka masih menjunjung tinggi kejujuran, satu-satunya yang bisa mereka banggakan di hadapan keluarga. Setidaknya, mereka tidak menanamkan benih tumbuhan neraka di dalam tubuh anak istri masing-masing dengan uang hasil korupsi.

Ya, kejujuran merupakan investasi jangka panjang yang menguntungkan. Baik bagi perseorangan maupun suatu bangsa. Betapa membanggakan jika suatu bangsa memiliki banyak warga negara yang jujur.

Sebuah pepatah Belanda menyebutkan, eerlijk duurt het langst (kejujuran itu langgeng). Saya tidak meragukan kalimat tersebut. Dengan berbuat jujur, kita bisa tidur nyenyak tanpa harus takut dikejar-kejar rasa bersalah dan berdosa. Dengan bersikap jujur, kita tak perlu khawatir kehilangan wibawa, pangkat, dan jabatan.

Seperti halnya biduk rumah tangga. Manakala ditimpa prahara karena api ketidakjujuran seperti berbuat serong, jangan harap rumah tangga itu bakal langgeng. Negeri ini pernah diterpa badai ketidakjujuran selama 32 tahun lebih. Ibarat api dalam sekam, rezim tersebut tidak langgeng dan justru tumbang.

Maka, masihkah kita meragukan bahwa eerlijk duurt het langst?

”Kecelakaan besarlah bagi orang-orang yang curang, (yaitu) orang-orang yang apabila menerima takaran dari orang lain mereka minta dipenuhi, dan apabila mereka menakar atau menimbang untuk orang lain, mereka mengurangi”. [QS. Al-Muthafifin (83) ayat 1–3]

Graha Pena, 26 April 2010
www.samuderaislam.blogspot.com
[email protected]