Dilema, Kerja atau Keluarga

Kau, kawanku. Jarang sekali bertemu, walau untuk bersilaturahmi. Tapi sekali kita bertemu, selalu ada hikmah yang kau sampaikan padaku, walau pun engkau tidak menyadarinya. Kau sumber inspirasiku, membuatku menulis dengan latar belakang ceritamu.

Kawan, perjumpaan di awal tahun ini, pada sebuah rumah sakit. Kita sama-sama dalam kondisi yang tidak menggembirakan. Tapi pertemuan itu, pertemuan yang sangat berharga bagiku, maupun bagimu. Saat kita akan berpisah, karena saatnya untuk masuk ke ruang pemeriksaan, terasa sedikit ada keluhan. Karena diskusi kita, curhat kita belum tuntas.

Kau, kawanku, seorang yang lembut dan santun. Kau bekerja diluar rumah setiap harinya, dan punya beberapa pengajian yang harus engkau isi setiap minggunya. Aku iri padamu. Sesibuk apapun dirimu, engkau tetap menjalani semua harimu dengan istiqomah. Aku telah lama mengamatimu, mengagumimu.

Tapi setelah pertemuan itu, barulah aku tahu. Aku baru tahu semua keresahanmu, kebimbanganmu, tentang apa yang telah engkau jalani bertahun lamanya. Engkau, dengan sedikit waktu pertemuan kita menceritakan banyak hal, yang tak pernah aku bayangkan di pelupuk mataku. Ternyata engkau hampir putus asa.

Rutinitas kerja yang engkau jalani bertahun lamanya, ingin engkau sudahi. Karena kamu menyadari, anak-anakmu memerlukan kehadiranmu. Engkau pun sering gelisah karena diluar kerja kantoranmu, engkau pun masih mengisi beberapa pengajian, hingga bila pulang ke rumah, tak ada sisa tenaga untuk buah hatimu.

***

Ketika dia keluar dari ruangan periksa dokter, maka perbincangan pun berlanjut lagi.

“Kenapa nggak berhenti saja?” Aku menyarankannya. Aku memandang wajahnya yang pucat, dan telapak tangannya yang panas. Suhu badan yang cukup tinggi, walau di katakana normal, menunjukkan stamina yang menurun.

“Aku ingin berhenti kerja, tapi suamiku tidak mengijinkan!” Lembut dan terasa lemah irama yang keluar dari kedua bibirnya.

“Kenapa?” Rasa penasaran. Karena aku tahu pekerjaan suaminya cukup lumayan. Penghasilannya lebih dari cukup untuk membiayai keluarga kecil mereka.

“Suamiku membiayai keluarganya dan aku pun harus membantu keluargaku!” Dia memberikan alasan yang cukup masuk akal, penyebab suaminya tidak mengijinkannya untuk berhenti bekerja.

“Kalau begitu tidak ada alasan untuk merasa risau dengan kegiatan hari-harimu?”Aku berusaha meyakinkannya.

“Bila suami mengijinkan berarti tidak ada beban untukmu, melangkah keluar dari rumah setiap harinya. Iya kan?” Aku tersenyum dan memandang tepat dititik matanya, dengan harapan agar dia bisa tersenyum.

“Akhhh… bukan itu.” Dia mulai lagi hal yang lain. Aku pikir dia bingung sendiri dengan keadaannya.

“Jadi karena apa?” Penasaran juga. Dia bicara sepatah-patah, membuatku sedikit gemas.

“Aku selalu merasa bersalah karena menitipkan anak-anak pada orang lain. Banyak hal telah terjadi pada orang lain, yang suami istri bekerja. Anak-anak mereka terbengkalai, karena tidak adanya perhatian dan arahan dari orang terdekatnya.” Dia pun terlihat murung.

“Tapi kamu kan bilang, kamu menitipkan anak-anakmu pada tetanggamu? Katamu pula, tetanggamu itu orang-orang yang cukup shaleha untuk membimbing anakmu saat kamu tidak ada di rumah?” Aku berusaha mengusir rasa yang dipendamnya selama ini.

“Iya sih… mereka Islamnya baik. Tapi bila anakku di rumah sendiri, aku kan tidak tahu mereka akan menonton apa dan apa yang dibuatnya?” Dia punya dua anak, yang kecil berumur hampir empat tahun. Bila ibunya bekerja, maka tetangga akan membantu mengawasi anak-anak itu. Tapi kadang anak-anak itu ingin di rumah mereka sendiri. Dan tentu saja tetangga itu tidak mungkin mengawasi anaknya secara penuh karena mereka sendiri punya balita.

“Aku belum menemukan orang yang cocok untuk membantuku di rumah, khususnya menjaga anak-anakku.” Dia memberi alasan saat aku aku menanyakan kenapa dia tidak mengambil seseorang untuk meringankan pikirannya.

“Bagaimana bila beberapa pengajian yang kamu isi itu, untuk sementara off dulu. Agar kamu punya waktu cukup bila pulang bekerja. Jadi anak-anakmu tidak merasa terabaikan?”

“Tidak begitu yang aku inginkan!” Mulai lagi dia berputar-putar.

“Kamu tahu suamimu mengijinkan kerja dan da’wah. Suamimu tidak ingin kamu berhenti kerja, aku rasa tidak ada masalah?!” Aku mulai bisa menebak apa yang dirasakannya.

“Suamimu kerja shift, apakah kalian bisa masih sering menyatu?” Aku mengkhawatirkan hubungan dia dengan suaminya.

“Itu lah masalahnya. Kami jarang sekali bertemu. Karena dia kerja shift, maka kadang saya tidak ketemu seharian. Saat ketemu pun udah pada tidur, capek!” Mulai lagi dengan argument yang lainnya.

“Anak-anak sering protes, karena bila sampai dirumah aku hanya ingin berbaring. Mereka hanya mendapat sisa-sisa tenangaku.”

“Kalau begitu permasalahannya, maka buanglah rasa bersalahmu itu. Karena sumber ketidaknyamanan itu karena kamu selalu merasa bersalah. Padahal setiap apapun yang kita lakukan haruslah didasarkan pada rasa senang. Tak boleh ada kegelisahan…”

Aku tidak meneruskan percakapan karena pintu ruang praktek dokter telah terbuka, untuk aku masuki.

Kisah yang aku sajikan diatas merupakan sebuah gambaran. Bagaimana seorang wanita yang punya karier, tapi dia sendiri sebenarnya tidak ingin. Dia ingin berhenti, tapi terbentur pada pendanaan. Pihak keluarga suami dan keluarganya sama-sama keluarga kurang mampu. Hingga bisa dikatakan mereka bergotong-royong untuk dapat memenuhi semua beban yang ada dipundak mereka.

Bila dibilang dilema, mungkin saja. Antara keinginan pribadi dan beban yang dipikul sama-sama seimbang. Dia tidak ingin memberatkan salah satunya. Dia dan suaminya telah berkorban untuk keluarganya, dengan "mengorbankan" kebahagiaan keluarga mereka sendiri.

Aku katakan berkorban, karena temanku itu sudah merasa tidak mampu membagi waktunya, khususnya untuk anak-anak yang dicintainya. Dia harus tetap dapat menghasilkan uang tiap bulannya, padahal dihati kecilnya terasa jeritan yang sangat dalam.

Dia sangat menkhawatirkan anak-anaknya. Dan sekaligus mengkhawatirkan kwalitas hubungan intim dia dengan suaminya. Padahal dia tahu, hal itu merupakan hal sangat sensitive bagi sebuah hubungan suami istri.

Setelah keluar dari ruang periksa dokter, maka aku pun berjumpa kembali dengannya, dan memberikan sebuah support agar dia bisa menerima semuanya dengan ikhlas. Karena kelihatannya tidak ada sedikit pun jalan, selain dia harus mendamaikan sendiri hatinya terhadap apa yang harus dilakoninya saat ini.

Mungkin ini sudah jalanmu … Tapi yakin lah bila kamu membantu seseorang atau pun membantu agama Allah, insya Allah Dia pun akan memudahkan semua urusanmu.”

Hanya kata itu yang dapat aku berikan kepadanya. Karena sembilan tahun yang lalu, aku lebih memilih anak-anakku dari pada dunia kerja yang telah lama aku lakoni.

Sengata, 4 Maret 2010

Haliman Taslima

Forum Lingkar Pena ( FLP ) Cab. Sengata

[email protected]