Keluarga Qur'ani

Sekitar tiga tahun yang lalu, saya seringkali melihat seorang bapak yang menaiki motornya. Dalam satu harinya bisa empat lima kali melintasi jalanan di depan rumahku. Orangnya ramah, kadang walau masih memakai helm, tapi dia tetap memperlambat laju kendaraan roda duanya, untuk memberikan anggukan kepala sekedar menyapa dengan bahasa tubuh. Tentu saya sedikit bertanya, “siapa sih dia?”

Tapi karena kesibukan, seringkali keinginan untuk mengenalnya belum tercapai. Tapi bila saya bertemu kembali dengannya, barulah terpikirkan , “siapa dia?”.

Ternyata dia seorang ustadz yang khusus mengajarkan mengaji. Beliau seringkali lalu lalang di depan rumah, karena rumahnya memang di ujung gang. Bolak-baliknya karena ternyata beliau mengajar dibeberapa tempat. Selain itu, istrinya juga menekuni bidang yang sama. Hingga kendaraannya selalu terlihat, bila saya di depan ruma . Subhanallah.

Keluarga itu adalah keluarga yang bergelut dengan Al-Qur’an. Istri, suami, saudara-saudaranya mengajarkan Al-Qur’an. Beliau ternyata lulusan sebuah pesantren di Jawa yang khusus mengajarkan tentang Al-Qur’an.

Kemanapun beliau pergi merantau, maka adik-adiknya selalu mengikutinya. “Jadi kalau ustadz pindah ke Makkah, apakah kamu juga akan mengikutinya?” suatu saat saya bertanya kepada adik perempuannya. “Iya. Kemanapun kakakku pergi, saya akan mengikuti langkahnya.” Dengan mantap sang adik menjawab. Padahal adik-adik sang ustadz semuanya telah berkeluarga dan memiliki anak.

Beliau seorang yang sangat sederhana. Tapi saya melihat sinar kelembutan sekaligus ketegasan di wajahnya. Ada saat dia mampu membuat kami merasa malu sendiri, karena beliau mampu mengingatkan kealpaan kami, walau dengan bahasa yang sangat santun.

Bila bicara tentang kesejahteraan hidup, mungkin beliau termasuk yang berkekurangan. Tak punya penghasilan tetap. Rumah pun hanya sepetak bangunan yang dinding-dindingnya hanya berupa lembaran plywood. Tanpa ada plafond, jendela maupun pintu yang permanen. Semuanya serba minim.

Mengajarkan Al-Qur’an karena memang dirasakannya sebagai sebuah kebutuhan, untuk membagi ilmu yang dimilikinya. Yang beliau yakini akan dimintai pertanggungjawabannya oleh Allah Ta’ala di yaumil akhir. Beliau tak memasang tarip untuk setiap tetes keringatnya, karena saya melihat beliau adalah seorang yang sangat pemalu untuk meminta, walau pun beliau butuh. Hanya orang-orang yang mengerti keadaan beliau yang memberikan infak sesuai dengan keihlasan mereka.Jadi tak ada pendapatan tetap untuk setiap bulannya.

Ditengah keadaan yang bisa dikatakan serba kekurangan, malah beliau mampu merealisasikan mimpinya untuk membangun sebuah pesantren Al-Qur’an. Saat ini yang ada dipikirannya, “bagaimana caranya pesantren yang sedang dibangunnya ini dapat segera selesai dan menampung anak-anak, baik yang berada di lingkungan rumahnya maupun dari luar kota Sengata.”

Jika saya melihat keadaannya, maka saya dapat menilai bahwa betapa mulia hatinya. Tempat tinggalnya saja masih jauh dari yang diharapkan, tapi beliau malah memikirkan bagaimana Al-Qur’an dapat membumi di bumi Sengata, dengan cara memberikan seluruh waktunya untuk mengajarkan tartil Al-Qur’an dan membangun sebuah pesantren Al-Qur’an. Padahal biasanya yang terjadi pada diri kita adalah bagaimana kebutuhan kita dulu yang kita penuhi, barulah memikirkan oranglain.

“Saya lebih memilih mengajarkan Al-Qur’an karena untuk urusan ceramah, saya melihat sudah banyak ustadz yang melakukannya. Tapi untuk mengajarkan Al-Qur’an di Sengata, masih sangat sedikit.” Begitu jawaban beliau saat saya menanyakan kepadanya kenapa tidak mau ceramah saat beliau diundang untuk mengisi ta’lim yang dihadirinya.

Beliau mengatakan saat menghadiri sebuah ta’lim, yang hadir mengisi dengan membaca Al-Qur’an secara bergantian. Saat beliau mendengarkan, betapa yang hadir saat itu rata-rata bacaannya tidak sesuai dengan ilmu tajwid, maka beliau memberikan ceramah dengan titik berat bagaimana kita umat Islam harus memperbaiki bacaan Al-Qur’an.

Al-Qur’an yang merupakan pedoman hidup ternyata tidak benar-benar dipelajari dengan ilmu tajwid. Padahal bila bacaan salah, maka maknanya akan salah atau bahkan jauh atau bahkan akan terbalik dari makna yang sesungguhnya. Disinilah pentingnya diperlukan sebuah kesungguhan untuk meluangkan waktu, agar setiap hurup di dalam Al-Qur’an yang dibaca, sesuai dengan makna yang sesungguhnya. Bukan asal baca. Begitu lah kira-kira yang beliau sampaikan disetiap pertemuan yang beliau hadiri.

Kembali kepada kehidupan sang ustadz yang hidupnya hanya untuk mengajarkan Al-Qur’an. Bahkan rumahnya disinggahi hanya untuk makan dan beristirahat. Jika ada waktu luang di rumahpun diisi untuk mengajarkan Al-Qur’an. Dari pagi hingga malam, tiada kata untuk berleha-leha. Karena beliau begitu mencintai Al-Qur’an dan ingin pula orang yang telah diajarkannya untuk mengikuti jejak langkahnya.

Hidup yang penuh barakah telah ditunjukkan sang ustadz beserta keluarga dan saudaranya. Setiap waktu dan keringatnya hanya untuk Al-Qur’an. Betapa beliau merupakan sebuah “cahaya” yang menerangi kegelapan makna hidup, ditengah-tengah umat manusia yang saat ini banyak yang hanya untuk mengejar materi. Yang tak pernah puas dengan apapun yang telah digenggamnya, bahkan selalu merasa berkekurangan hingga tiba saatnya dia harus melambaikan tangan dari dunia fana ini.

Sengata, 11 Juli 2010

Halimah Taslima

Forum Lingkar Pena ( FLP ) Cab.Sengata

[email protected]