Harta yang Buruk

Pengaruh harta bagi pemiliknya bergantung dari cara dia memperoleh harta itu. Jika cara memperolehnya benar maka harta itu memberi pengaruh baik bagi pemiliknya. Sebaliknya jika cara memperolehnya buruk maka harta itu pun memberi pengaruh buruk bagi pemiliknya. Itulah pelajaran yang saya dapatkan dari kisah seorang anak pejabat yang bertandang ke rumah, yang mencurahkan perasaan atas peristiwa pahit yang dialami dirinya kepada isteri saya.

***
Sejak ayahnya diangkat menjadi pejabat, Dwi boleh dibilang hidupnya serba berkecukupan tanpa kekurangan suatu apa. Ketika dihadapkan pada kenyataan bahwa mencari kerja itu sulit pun, ia tidak cukup merasakannya. Pertama, ia seorang wanita yang pada akhirnya akan menikah dengan seorang suami yang akan mencukupi kebutuhan hidupnya. Kedua, ia memiliki seorang ayah yang kapan saja bisa diminta uang bilamana ia memerlukan. Namun selaku tamatan fakultas hukum, ia harus mencari tempat kerja sebagai sarana mengabdikan keilmuannya itu. Sambil menunggu diperolehnya tempat kerja yang cocok, ia memutuskan untuk “belajar dagang” terlebih dahulu. Posisi ayahnya membuka peluang untuk itu.

Pada awalnya ia menjadi “rekanan” ayahnya yang memerlukan perlengkapan muslim yang sering digunakan sebagai hadiah untuk para anak buahnya, relasi dan sejawatnya, anak yatim dan janda dalam acara santunan, orang-orang miskin dalam jamuan open house, dan banyak kalangan lainnya. Barang-barang yang sering dibutuhkan meliputi antara lain sarung, peci, koko, sajadah, jilbab, busana muslimah, dan perlengkapan muslim lainnya. Karena jumlah barang yang diorder cukup banyak, maka keuntungan yang diperoleh pun cukup lumayan. Terlebih jika ayahnya membayar dari dana negara yang plafonnya cukup tinggi dan tidak melewati perantara selain anaknya itu, maka jelas keuntungan yang diperolehnya pun makin besar.

Dalam mensupplai barang kepada ayahnya, pada awalnya Dwi minta bantuan kepada isteri untuk menyediakan barang-barang yang diminta. Namun karena ia ingin “belajar berdagang”, maka ia tidak puas sampai di situ. Ia terjun langsung ke pasar Tanah Abang atau mencari pemasok langsung demi mendapatkan diskon harga yang lebih besar. Melihat gelagat anaknya yang kelihatan sungguh-sungguh berdagang, maka sang ayah tanpa ragu memberikan hadiah sebuah kios dari sebuah pusat grosir yang merupakan hadiah dari rekanan. Kemudahan itu begitu mudah diperoleh karena sang ayah adalah pemegang otoritas suatu wilayah dan izin pendirian pusat grosir itu berada di tangannya..

Untuk menunjang mobilitasnya, ia dibekali mobil Kijang Innova pemberian sang ayah. Bukan hanya dia yang menerima hadiah mobil. Saudara yang lain juga menerima. Seperti adiknya yang menerima hadiah mobil BMW, kakaknya yang menerima hadiah mobil Kijang kapsul, dan ibu mereka yang menerima hadiah mobil Nissan X-Trail. Masing-masing disediakan drivernya. Dan untuk menunjang kenyaman dalam beristirahat, masing-masing anak juga diberikan hunian ekslusif di sebuah komplek yang cukup asri plus biaya perawatannya setiap bulan.

Hidup Dwi, sang anak kedua itu, sangatlah “nyaman”. Andai tidak memiliki uang pun, pasti sang ayah akan memberikan uang demi kebahagiaan dia. Namun ada satu yang belum dipenuhinya, yaitu menikah. Guna melengkapi “kebahagiannya” itu, setelah apa yang diinginkannya terpenuhi, ia menguatkan tekad untuk menikah dengan sang pacar yang sudah lama menjalin hubungan dengannya. Maka setelah lama bertunangan, pernikahan mewah dengan pujaan hati pun digelar dengan meriah.

Sungguh “beruntung” suami Dwi itu. Ia menikah setelah ditunggu masa kuliahnya selesai oleh sang isteri. Sebuah penantian yang cukup romantis dan menunjukkan kesetiaan yang tidak diragukan dari sang isteri. Ia menikah dengan wanita yang cantik, berbusana muslimah, yang sudah memiliki rumah asri, memiliki sebuah kios di sebuah pusat grosir sebagai “laboratorium” mencari nafkah dan memiliki segala fasilitas berjibun dari ayahnya.

Namun siapa yang menyangka bahwa awal keretakan rumah tangga bisa berawal dari kemudahan-kemudahan yang dikucurkan oleh sang ayah/mertua. Secara logika, kemudahan-kemudahan itu bisa melenakan dan menjadikan mereka malas untuk berfikir mencurahkan ide-ide kreatif dan berjuang keras sebagaimana layaknya orang tidak berpunya dan terdesak kebutuhan yang ingin bertahan hidup. Tiadanya masalah justru menjadikan mereka mandul dan tidak terasah jiwa kemandiriannya karena terbiasa bergantung pada pemberian orang lain.

Karena setelah menikah sang suami belum memiliki kerja yang bagus, sang mertua memberi peluang usaha baginya dengan menyediakan kucuran dana untuk memulai bisnis jual beli mobil seken yang saat itu cukup prospektif. Sejak showrom mobil seken itu dibuka, kesibukan sang suami bertambah. Beberapa hari dalam sepekan ia mampir ke showroom memantau bisnisnya itu.

Suatu hari ketika sang suami sedang di showroom mobil sekennya, Dwi menelepon. Yang menjawab telepon bukanlah suaminya melainkan seorang wanita. Wanita itu mengatakan bahwa sang suami sedang ke kamar mandi. Ia meminta Dwi menunggu sementara handphone itu tidak dimatikannya. Saat itulah Dwi mendengar ungkapan-ungkapan mesra yang ditujukan sang suami kepada wanita itu dan wanita itu menjawab dengan ungkapan yang serupa.

Dwi, sang isteri, tersentak mendengarnya. Segera ia mencoba mengendalikan diri. Di rumah ia mencoba mengklarifikasi siapa wanita itu. Meski ia tidak percaya dengan jawaban dan alasan sang suami, ia berusaha menampakkan rasa penerimaannya demi melanggengkan bahtera pernikahan. Pernikahan yang pada awalnya dipenuhi dengan gelora cinta, kini menyimpan bibit kecurigaan. Suasana menjadi hambar. Masing-masing sibuk dengan urusannya masing-masing meski tetap masih memiliki keterkaitan, yaitu memutar dana orang tua. Dwi sibuk dengan kiosnya, sang suami sibuk dengan kerja di luar kota dan bisnis mobil sekennya.

Hingga pada suatu hari sang isteri mendengar kabar yang cukup mengejutkan tentang bisnis yang dijalankan oleh sang suami. Ia terkena tipu muslihat dalam proses tender sehingga ia rugi sekitar 600 juta rupiah. Mendengar hal itu sang isteri menjadi marah. Ia malu kepada sang ayah dan keluarganya karena sang suami tidak mampu menjaga amanah uang yang dipercaya ayahnya. Meskipun ayahnya bilang tidaklah mengapa dan tidak usah memikirkan uang yang sudah raib itu, tetap saja sang isteri merasa jengkel kepada sang suami. Ia menghubung-hubungkan dengan kejadian-kejadian sebelumnya di mana ia mudah terpikat oleh rayuan seorang wanita. Jangan-jangan karena terlena oleh rayuan wanitalah ia menjadi tidak konsen dengan bisnis yang dijalaninya.

Jadilah rumah tangga yang semula tenang nyaman menjadi sebuah prahara. Pertengkaran sering terjadi dan tidak terelakkan. Sang suami yang memang pada dasarnya “tidak memiliki apa-apa” itu tidak berkutik menghadapi kemarahan sang isteri yang mengolok-olokkannya. Sang suami berwajah ganteng dan berbadan atletis itu pun kini mulai dihinggapi rasa rendah diri dihadapan isteri dan keluarganya. Tidak ada wibawa kepemimpinan yang terpancar dari dirinya. Hidupnya menjadi terasa lesu dan menjadi serba suram.

Saat Dwi datang mengadu kepada isteri saya di malam itu. Ia merasa bahwa keretakan-keretakan yang dia alami cukup menimbulkan trauma dan kegamangan tentang bangunan rumah tangga yang ia impikan. Namun ia tidak ingin rumah tangganya menjadi makin berkeping-keping. Ada kesadaran darinya untuk berusaha untuk merekonstruksi kembali bangunan pernikahan itu meski teramat berat, laksana menghilangkan garis retak dari gelas yang hampir pecah. Ia kini menyadari bahwa ternyata menjaga barang agar tidak pecah itu bukanlah hal yang mudah. Barang yang sudah pecah, meski sudah direkatkan kembali adalah tidak sama dengan barang yang masih utuh mulus. Ia menyadari bahwa semua itu terjadi dari awal yang tidak baik dan langkah awal berpijak yang salah.

Meski butuh waktu panjang untuk menyamarkan keretakan-keretakan itu, mau tidak mau, Dwi kini harus berjuang dari nol guna memoles keretakan itu dengan taubat, perolehan harta yang bersih, ibadah yang sungguh-sungguh, dan mengikatkan diri pada barisan orang-orang saleh yang akan selalu memberikan nasehat dan kontrol kepada mereka.
Apalah arti kecantikan dan ketampanan, kelengkapan hidup dengan mobil, rumah asri, dan hiasan dunia lainnya, jika untuk mempertahankan keutuhan bahtera rumah tangga saja tidak bisa.

Sayangnya, kesadaran itu sering datang terlambat, yaitu ketika sudah ada retak, ada luka, dan ada sayatan, yang mana untuk menghilangkannya sangat teramat sulit untuk dilakukan kecuali bagi orang yang benar-benar mendapatkan hidayah.

Namun kesadaran yang terjadi pada Dwi, adalah lebih baik daripada tidak ada kesadaran sama sekali. Dengan kejadian itu, sebenarnya Allah masih mencintai Dwi, memberi kesempatan bagi Dwi untuk bertaubat dan memperbaiki diri. Dan bukan tidak mungkin, kesadaran itu akan ditularkan kepada ayah dan keluarganya juga.

***

Kisah di atas mengingatkan pada kita semua, khususnya pada diri pribadi, bahwa harta bukanlah segala-galanya. Bukan tidak mungkin, kenyataan pahit yang dialami Dwi adalah buah dari perolehan harta yang buruk dari ayahnya yang seorang pejabat. Harta yang buruk tidak mendorong kepada apapun kecuali kepada keburukan. Harta akan memiliki makna jika diperoleh dari upaya-upaya yang benar, sesuai dengan ketentuan Allah SWT. Makna itu akan terwujud pada daya manfaat yang timbul dan keberkahan yang senantiasa mengalir dari harta yang diusahakannya itu.

Waallahua’lam bishshawaab ([email protected])