How Busy You Are, Give Their Rights

Kemarin pagi, jam 5.30, saya sudah berada di kantor. Satu jam sebelum jam kerja mulai. Jujur, saya banyak melakukan pekerjaan yang bersifat pribadi pada jam-jam begitu. Baca email-email dan membalasnya, koran Tanah Air, bikin rencana pengajaran dan tentu saja, menulis artikel kesukaan saya. Namun yang saya maksudkan di sini adalah kemarin pagi itu, saya mendapatkan sms dari seorang rekan yang isinya berita duka. Salah seorang istri kenalan saya, sekitar sepuluh tahun silam di Dubai, berpulang ke Rahmatullah. Innalillahi wa inna ilaihi raji’un. Segala sesuatu berasal dariNya dan bakal kembali kepadaNya.

Di tengah kesibukan, saya putuskan akan menghubungi beliau nanti sore saja sesudah jam kerja.Tapi, sungguh di luar dugaan. Saya benar-benar lupa. Malam ini, sesudah Salat Isya’, sehari sesudah kejadian, sekali lagi karena kesibukan, saya baru ingat. Saya tulis nama beliau di atas sehelai kertas di meja baca. Saya pastikan besok pagi sebelum berangkat kerja, insyaallah agenda pertama yang harus saya kerjakan sebelum melangkahkan kaki ini ke tempat kerja, menghubungi beliau, menyampaikan rasa bela sungkawa.

******

Zaman sekarang ini, siapa yang tidak sibuk? Petani di desa saja tidak dapat menemui undangan kita setiap saat tanpa ‘appointment’. Kakak perempuan saya ketika berangkat ke sebuah desa terpencil di Kecamatan Nongkojajar, Kabupaten Pasuruan, ingin menemui seorang perempuan yang rencananya akan bekerja di rumahnya, nyatanya orang yang dimaksud tidak ada di rumah. Hari ini, berapa orang sudah yang sudah saya hubungi agar bisa menghadiri acara pertemuan Sabtu nanti, nyatanya juga sulit sekali mendapatkan kesepakatan. Tanggal 27 Maret mendatang yang rencananya akan kami gelar Workshop Technical Writing Skills bukan main alotnya menyesuaikan dengan jadwal kerja rekan-rekan. Besok Jumat ada pertemuan organisasi, belum dapat kepastian juga berapa yang bisa dan berapa yang tidak akan datang.

Itu kita, yang tergolong sebagai masyarakat kelas rendah hingga menengah. Belum lagi mereka yang berada pada papan atas. Pulang dari London kemarin, Manager kami dihadapkan kepada tidak kurang dari 500 buah email yang harus dijawab sesudah dua pekan meninggalkan kantor karena konverensi dan short course di sana.

Pendeknya, semua orang sibuk. Ada acara pribadi, janjian dengan teman, urusan keluarga, anjang sana, arisan, olah raga, training, wisata dan segudang kesibukan lain yang kalau dirinci kita tidak dapat mengelak, bahwa seandainya harapan untuk jumpa, apakah itu kepentingan pribadi, social ataupun organisasi, tidak terlaksana, adalah ‘biasa’. Kita pasrah saja!

Sebenarnya, ada sejumlah faktor yang melatar-belakangi semua ini. Pertama, tidak jarang kita kurang pandai mengenali kebutuhan diri sendiri. Kedua kita kurang bisa mengidentifikasi hak-hak orang lain atas diri kita. Ketiga, ketidak-mampuan kita memrioritaskan masalah. Dan yang keempat, kita kurang fokus atau spesifik. Akibatnya bisa parah. Kalau boleh saya sebutkan, banyak program, apakah itu pribadi atau kolektif jadi terlantar, tujuan atau cita-cita tidak tercapai, bahkan hubungan personal atau profesional jadi renggang, gara-gara kita menganggap diri kita sebagai Very Busy Person (VBP).

Ingatkah kita akan kisah Umar bin Khattab R.A, Khalifa Kedua, yang di tengah-tengah kesibukan sebagai seorang Kepala Negara, masih juga sempat memikul seonggok gandum, menemui seorang wanita tua, warga negaranya yang sedang kelaparan? Kalau seorang kepala negara sekelas beliau bisa melakukan hal-hal seperti ini, padahal setumpuk tanggungjawab di pundaknya, pantaskah mengatakan bahwa kita ini sibuk?

Kenali Kebutuhan Diri Sendiri

Kisah Umar bn Khattab di atas menunjukkan kebesaran seorang pemimpin yang mengetahui kebutuhan diri sendiri. Beliau merasa sudah ‘lebih dari cukup’ meski baju yang beliau kenakan kusam. Tidak berlebihan.

Kita seringkali merencanakan belanja ke supermarket padahal persediaan makanan masih banyak di kulkas. Kita membeli bahan-bahan makanan yang pada akhirnya tidak perlu. Kita juga sering keluar bersama keluarga dengan tujuan ‘tidak menentu’. Agenda-agenda keluar inilah yang membuat undangan jadi batal, rapat organisasi jadi terabaikan atau pertemuan penting lainnya amburadul, hanya karena alasan ‘Family First’!

Kemarin siang saya diajak oleh seorang rekan untuk makan sore di sebuah restoran Indonesia. Saya bilang masih kenyang. Kalau makan malam bolehlah, tapi waktunya. Penolakan semacam ini adalah positif karena kita tahu kebutuhan diri sendiri. Kalau masih kenyang, mengapa harus menerima undangan makan, meski itu barangkali baik? Yang baik belum tentu benar.

Ketika saya sodorkan sebuah compassionate leave certificate seorang karyawan kepada Manager kami, beliau menanyakan alasannya. Saya katakan: mengantarkan anaknya ke rumah sakit. Jawab beliau: “Is his wife with him? Why not her going to hospital? Why should the organization suffer? Where is his responsibility towards management?” Mengetahui kebutuhan diri sendiri akan membantu mengklasifikasi kesibukan kita.

Mengetahui Hak Orang Lain

Hak orang lain itu bisa berarti keluarga, saudara, teman, rekan kerja, hingga organisasi. Semuanya berhak mendapatkan tempat di ‘hati’ kita. Dua hari lalu saya dapat email dari rekan lama di India. Dia bilang: “You will only email me when you are in the mood? Please correct me if I am wrong!” Katanya. Saya merasakan ditodong. Apa jawab saya? “What I am afraid from you is, you will get bored of reading my emails once I continue writing!”

Itu masih terbatas email. Belum lagi rapat-rapat. Begitu rapat organisasi tiba, kita biasanya cepat mengkalkulasi atau menimbang-nimbang, penting atau tidak. Sehingga, mengunjungi saudara akhirnya lebih penting (meskipun yang ini bisa di re-skedul), atau ke Dentist (padahal yang ini, juga bisa dijadwal ulang) jadi terabaikan. Senjata yang paling ampuh untuk ‘menghindar’ dari tanggungjawab hadir dalam rapat ini biasanya: dinas! Titik. Orang tidak bakal bertanya-tanya kenapa tidak dapat hadir.

Kita sering kurang menyadari hak organisasi terhadap diri kita. Program-program dalam organisasi jadi terbengkalai lantaran kita jarang menempatkan organisasi sebagai ‘orang’ yang punya hak-hak terhadap diri kita. Rapat organisasi yang menyangkut kepentingan orang banyak dan tidak bisa diubah jadwalnya, menjadi korban hanya karena kita tidak bersedia menjadwal ulang appointment dengan supermarket, dentist atau undangan makan keluarga. Padahal di tempat kerja, kantor, klinik, Puskesmas atau rumah sakit, kita selalu mendakwah bahwa kita adalah Reflective Practitioner. Menyadari hak-hak orang lain atas diri ini melatih kita berempati, bahwa kita adalah bagian dari mereka.

Kesibukan bisa didesain sedemikian rupa tanpa meninggalkan hak-hak orang lain atau organisasi. Berkorban sedikit saja demi orang lain atau organisasi, bisa merubah banyak hal. Reputasi anda naik, tujuan organisasi tercapai, hubungan baik terbina.

Prioritaskan Masalah
Saya membiasakan diri untuk menata dokumen-dokumen kerja berurutan di atas meja kantor. Satu per satu diselesaikan. Letakkan di atas yang urgent. Kalau perlu telepon. Kirim email juga akan banyak membantu. Jawab email-email segera. Ucapan ‘Thanks’ sangat besar artinya bagi orang yang berada di seberang sana. Memprioritaskan masalah berarti mendudukkan persoalan sesuai dengan proporsi dan kepetingannya.

Kemarin ada sms masuk ke HP saya. Dari seorang dosen, meminta kesediaan saya untuk menyumbangkan tulisan akademik pada buku yang sedang beliau susun. Kalau saya bilang ‘Tidak’, tentu saja ini kurang etis. Tapi kalau saya jawab ‘Ya!’ maka harus saya tanggung konsekuensinya. Yang saya lakukan kemudian adalah minta batas waktu. Padahal, pada waktu yang bersamaan, saya juga diminta seseorang untuk mengoreksi assignmentnya. Masih ada lagi dua bentuk kerja lainnya yang butuh feedback dari orang lain.

Pekerjaan dan kesibukan tidak ada selesainya. Butuh ketrampilan memrioritaskan. Jangan tolak kecuali anda tidak mampu. Karena ini bisa mengecewakan orang lain. Sekali kecewa, nama baik kita tercoreng. Sebaliknya, pikirkan dua-tiga kali sebelum anda berkata: beri saya waktu.

Tidak jarang, dalam keseharian saya di kantor, yang saya kerjakan adalah: tangan kanan di atas keyboard computer, tangan kiri memegang gelas minuman Teh, sementara telepon saya himpit antara bahu dengan dagu. Padahal, di saat yang sama ada klien di depan meja yang saya mohon kesediaannya untuk menunggu sebentar.

Semakin sering anda mengatasi beberapa masalah pada waktu yang bersamaan, semakin terlatih ketajaman anda menyelesaikan persoalan secara proporsional. Tidak ada istilah VBP. Tidak ada pula yang dirugikan. Persoalannya tinggal waktu saja yang barangkali tertunda.

Fokus dan Spesifik

Ketika saya balas email dari dosen di atas. Saya mohon penjelasan yang lebih spesifik: berapa lembar kira-kira yang dibutuhkan, tulisannya dikemas dalam bentuk artikel popular atau akademik serta kapan dibutuhkan selesainya. Demikian pula ketika menerima undangan rapat. Saya katakan, tolong agendanya diperjelas, sehingga orang akan tahu serta mempersiapkan segala sesuatunya.

Adalah kesalahan, jika di era sibuk seperti ini kita mengundang orang tanpa tujuan yang jelas. Kadang orang lalai, kalau hanya kumpul-kumpul dan makan, tidak semuanya tertarik. Karena itu, fokus terhadap acara amat membantu ‘mengurangi’ beban kesibukan seseorang.

Sama halnya seperti pergi ke supermarket tanpa membawa daftar. Kalau harus keliling kemudian mencari apa yang kira-kira perlu kita beli, wah…ini yang bikin sibuk tambah sibuk! Catat bahan-bahan makanan yang perlu dibeli, sesuaikan dengan kebutuhan serta lihat kemampuan. Fokus dan spesifik. Bila perlu, catat, agar tidak lupa seperti kejadian saya menelepon teman yang tengah berduka di atas. Be specific akan membantu anda mengatasi kesibukan dengan bijak.

*****

Kesimpulannya, semua orang tahu anda sibuk. Semua orang sadar bahwa anda adalah seorang karyawan yang berkeluarga dan berada di tengah-tengah masyarakat dengan segudang kepentingan, kebutuhan dan acara. Namun jangan lupa, bahwa orang-orang di sekeliling anda juga punya hak terhadap diri anda selaras dengan kewajiban terhadap keluarga, lingkungan dan juga organisasi.

Mengetahui kebutuhan diri sendiri, mengetahui hak orang lain, pandai-pandailah memrioritaskan masalah serta be specific diharapkan dapat membantu mengurangi predikat anda sebagai VBP. Tentu saja, itu tidak berarti bahwa anda harus ngusung karung seperti Umar bin Khattab, yang di zaman seperti ini langka.

Doha 19 Maret 2009

[email protected]