In Memoriam: My Beloved Mother

Perasaan kehilangan itu baru bisa kita rasakan jika kita tidak lagi bersama. Keberadaan seseorang akan terasa wujudnya jika ia tidak lagi berada di dekat kita. Lewat kenangan-kenangan yang tercipta, baik suka maupun duka, kita akan dapat menilai betapa berharganya seseorang dalam kehidupan kita, terlebih jika seseorang itu adalah orang yang sangat dekat, seseorang yang sangat mulia, seseorang yang berarti, seseorang yang bernama ibu……

Tanggal 15 Agustus 2009, tepat dua tahun ibu meninggalkan kami keluarganya. Bapak, kami kelima anak-anaknya, suami dan ipar-ipar saya, cucu-cucunya, serta para keluarga dan para sahabatnya pasti akan mengakui bahwa sosok ibu adalah sosok yang tak terlupakan, sosok yang selalu membawa keceriaan pada orang di sekelilingnya, sosok yang ‘menyeramkan’ namun baik hati, sosok yang jauh di mata namun dekat di hati, sosok yang…. Ah, mungkin akan banyak kata untuk melukiskan sosok ibu. Yang jelas, ibu adalah seorang ibu rumah tangga yang banyak memiliki kebaikan tapi tetap memiliki kekurangan, dan yang terpenting adalah ibu adalah orang yang melahirkan saya, dua orang kakak saya, dan dua orang adik saya.

Kehadiran ibu memang kuat di hati saya. Keberadaan ibu selama 33 tahun bersama saya sedikit banyak berpengaruh pada pribadi saya. Terlepas dari kekurangan ibu sebagai manusia, ibu tetaplah ibu, ibu yang melahirkan saya, yang mengandung saya selama 9 bulan, yang melahirkan saya dengan susah payah, meskipun ibu tidak sepenuhnya merawat anak-anaknya (hal ini yang sering ‘diprotes’ oleh adik saya). Tapi saya harus mengakui, dari ibulah saya bisa belajar mandiri, berani, pantang menyerah, menjadi pribadi yang tidak cengeng, tidak mudah mengeluh dan tegar.

Sejak terkena serangan stroke yang kedua, kehadiran ibu di rumah mulai terasa berkurang karena memang tiga bulan terakhir bersama ibu lebih sering dilewatkan di rumah sakit. Karena itulah, sampai sekarang kalau saya ke rumah besar, saya sering merasa ibu sedang di rumah sakit. Tapi, perasaan itu hanya sesaat karena selanjutnya saya sadar kalau ibu sudah tidak ada di tengah-tengah kami.

Sosok ibu memang ‘fenomenal’, tidak ada duanya, tidak ada yang bisa menggantikannya. Saya tahu betul bagaimana kehidupan ibu sejak kecil, beliau sering menceritakan hal itu berulang-ulang kepada anak-anaknya. Jika sedang bercerita tentang masa kecilnya, ibu terlihat sangat gembira, sinar matanya memancarkan kebahagiaan diiringi oleh tawa lepas khasnya. Saya bersyukur, sejak kecil saya adalah anak perempuannya yang paling dekat. Ibu sering bercerita apa saja pada saya. Ibu juga paling sering mengajak saya pergi, entah berbelanja, menemaninya menemui Bapak di Kapal, atau bersilaturrahim ke handai taulannya. Karena seringnya saya menemani ibu, saya ‘tertular’ sifatnya, menyapa semua orang yang bertemu di jalan! Yah.. ibu memang paling suka menyapa semua orang, mulai dari anak-anak sampai orangtua. Ibu orang yang ramah pada lingkungannya, meski bisa juga berubah ‘galak’ jika merasa ada yang tidak ‘beres’ pada lingkungan sekitarnya.

Ibu juga sosok yang ‘ngangenin’ kalau jauh. Ketika sekolah, saya termasuk orang yang suka membantah ibu, kadang-kadang juga bertengkar mulut (mudah-mudahan Allah memaafkan saya…). Tapi, ketika ibu pergi berlayar ikut Bapak yang seorang pelaut selama beberapa hari, saya merasa kehilangan. Kadang-kadang saya menangis sendiri menantikan ibu, kapan ibu pulang… Atau, ketika saya menginap di rumah Mak Eeng (alm), Kakak Ibu, saya pasti tidak mau lama-lama karena ingat ibu terus.

Di kalangan teman-teman sekolah saya di SMP, SMA, sampai kuliah, ibu terkenal sebagai sosok yang menyenangkan dan ramah. Ibu kenal akrab dengan semua teman-teman saya. Mereka sering bertandang ke rumah dan ibu selalui menemui mereka sambil sesekali bercanda. Tak heran jika teman-teman saya sering berkata, “Wah…. din, nyokap loe enak ya diajak gaul. Enak banget loe punya nyokap kaya temen gitu!”, begitu pujian mereka pada ibu. Padahal mereka tidak tau saja, bagaimana ‘menyeramkannya’ kalau ibu marah. Hehehe…..

Meskipun ibu orang yang pemarah tapi ibu orang yang pemaaf. Ibu bukan sosok yang pendendam. Ibu seperti memiliki segudang maaf untuk orang-orang yang menyakitinya, apalagi pada anak-anaknya yang sering kali menyakiti perasaannya. Pernah, ibu dan saya terlibat pertengkaran kecil, dan setelah itu ibu berubah menjadi sosok yang pendiam dan tidak banyak berkata-kata. Ketika itu, sayapun memiliki perasaan yang amat sangat menyesal, hati saya tidak tenang karena telah melukai perasaan ibu. Saya pun kemudian minta maaf sambil mencium tangannya. Dan beliau dengan naluri keibuannya memaafkan saya, anaknya.

Ibu memang kalau marah lepas saja, keluar saja dari mulutnya kata-kata omelan yang mungkin terdengar kasar di telinga, atau kami anak-anaknya ketika kecil sering juga kena cubitan dan pukulan. Tapi, kemarahan itu cuma sebentar. Ketika emosinya sudah berada di puncak, maka sebentar kemudian emosi itu akan turun ke titik nol kembali. Ibu akan bersikap biasa kembali, seperti menyesali emosinya tadi. Kalau saya mau renungkan, sebenarnya sifat ibu yang seperti itu karena memang tidak adanya kontrol diri ditambah pendidikan ibu yang minim. Saya tidak pernah menyalahkan ibu karena hal ini, bahkan seorang yang berpendidikan tinggipun bisa terjebak pada situasi dimana ia tidak dapat mengontrol emosinya.

Ibu juga seorang yang religius meskipun pengetahuan tentang agamanya sedikit. Dengan yang sedikit itulah ibu mengamalkannya, meyakini bahwa Allahlah satu-satunya tempat memohon pertolongan. Hal ini amat ditekankan pada kami anak-anaknya. Tidak jarang ibu memukul saya jika saya lalai dari menjalankan shalat lima waktu. Ibu selalu menasehati saya, “Jangan pernah lupa berdoa pada Allah karena yang tidak suka berdoa pada Allah adalah orang sombong. Gampang bagi Allah untuk mengabulkan keinginan hamba-Nya. Yang penting kita harus jadi orang yang beriman dan bertaqwa”. Nasehat itu terus terpatri dalam hati saya. Meskipun gaya bahasa dan ajaran-ajaran ibu sangat sederhana mengingat ibu adalah orang yang awam, tapi saya dapat menangkap maksudnya, yaitu selalu jalankan perintah Allah dan jauhi larangan-Nya.

Saya mulai benar-benar memahami pribadi ibu ketika saya kuliah jauh dari rumah. Intensitas pertemuan yang jarang membuat saya memiliki banyak waktu untuk mendalami bagaimana sosok ibu sebenarnya. Saya mulai mengurangi kata-kata yang ‘menyerang’ ibu, meskipun masih saja terjadi sesekali ‘pertengkaran-pertengkaran’ kecil, namun tidak sampai meruncing karena saya mulai dapat ‘mengontrol’ diri saya bila berbicara dengan ibu. Kedekatan saya dengan ibu pun mulai bertambah. Ibu mempercayakan saya pada semua hal. Pada masa inilah saya mulai melihat sisi-sisi positif dari ibu, seorang yang ‘tangguh’ dalam mengarungi kehidupan. Dengan posisi bapak sebagai pelaut yang kehadirannya amat jarang di rumah, ibu dengan cekatannya ‘menghandel’ semua urusan rumah. Ibu bukan orang yang manja, mudah menyerah dan gampang mengeluh. Ibu adalah sosok ‘wonder woman’ yang selalu menyelesaikan semua permasalahannya sendiri. Ibu dengan segala keterbatasan ilmu yang dimilikinya pernah berkata pada saya, “Bapak kan di laut, jauh dari rumah, jangan sampai denger kabar yang nggak-nggak dari rumah, kasian nanti ganggu konsentrasinya”. Karena itulah ibu sebisa mungkin tidak pernah merepotkan bapak dalam hal rumah dan segala permasalahannya. Mungkin sesekali bapak pernah terlibat urusan rumah kalau pas cuti atau off berlayar. Tapi tetap, kendali di tangan ibu.

Meskipun begitu, ibu tetaplah seseorang yang memiliki kekurangan. Karena ‘kekuasannya’ tak terbatas, ibu jadi terkesan ‘otoriter’ dan menekan siapapun untuk menuruti kemauannya, termasuk kami anak-anaknya. Tapi, saya tidak pernah menyalahkan ibu karena karena kekurangan-kekurangannya, tidak sama sekali. Kesalahan-kesalahan yang telah ibu lakukan selama hidupnya adalah bentuk keterbatasan ibu sebagai seorang yang terbentuk dari orangtua yang minim pendidikan agama dan pendidikan formal. Hal inilah yang saya fahami ketika saya mulai berkeluarga dan memiliki anak. Saya bisa merasakan bagaimana susahnya menjadi ibu yang baik, meskipun saya berpendidikan sarjana.

Ada satu ‘noda’ saya pada ibu, yaitu ketika hubungan antara suami dan orangtua yang merenggang. Saya kurang bijak dalam menyikapi hal itu sehingga menyakiti ibu. Namun ketika semua kembali berjalan seperti biasa dan kami memohon maaf, ibu dengan tangan terbuka tetap memaafkan kami, anak-anaknya. Kata ibu, “Allah saja memiliki sifat Ar-Rahman dan Ar-Rahim. Masa kita nggak bisa memaafkan orang, apalagi anak sendiri”. Ya Allah….. memang benar pepatah, “Kasih Ibu sepanjang masa”.

Setelah itu, saya kembali dekat dengan ibu, menjadi tempatnya curhat tentang perasaan-perasaannya terhadap banyak hal. Kami kembali berbagi, saya sering menemaninya ke beberapa tempat, kadang bersama anak-anak dan suami saya. Ketika ibu mendapat stroke pertama akibat diabetesnya, kami sekeluarga berhasil melewatinya dengan baik. Ibu dengan perjuangannya berhasil sembuh dari stroke yang sempat membuatnya tidak mampu bicara normal. Ketika itu saya berkata pada ibu, “Ibu harus sehat, insya Allah ibu bisa melihat isa kuliah nanti!”. Isa adalah cucu pertamanya dari saya. Bagi anak-anak saya, ibu adalah ‘nek yang selalu menuruti keinginan mereka.

Ketika serangan stroke itu datang lagi, terlihat semangat ibu untuk bertahan menjadi melemah. Ibu tidak lagi memiliki keinginan untuk sehat karena beliau menolak semua bentuk makanan, meskipun disodorkan makanan-makanan favoritnya. Selama tiga bulan kondisinya naik turun dan harus bulak balik diopname di rumah sakit. Puncaknya adalah ketika hari senin, 13 Agustus 2007 ibu harus masuk ICU karena kesulitan bernafas dan berbicara. Kami terus berdoa kepada Allah agar diberikan yang terbaik bagi ibu. Ternyata, Allah lebih sayang pada ibu. Setelah koma selama satu hari, akhirnya ibu menghembuskan nafasnya pada sekitar jam 19.20 WIB di ruang ICU Rumah Sakit. Alhamdulillah, meskipun koma, dengan air mata yang terus turun dari kelopak matanya, ibu bisa mengikuti ucapan "Laa ilaa haillallah” yang dibisikkan padanya. Innalillahi wa inna ilaihi raji’un… Sesungguhnya segala yang bernyawa pasti akan diambil oleh Sang Khalik.

Perasaan kehilangan itu kini terasa di hati saya. Saya menyesal belum bisa membahagiakan ibu secara penuh. Kini saya hanya bisa berdoa dan terus berdoa untuk ibu. Mudah-mudahan ibu mendapatkan kelapangan di alam kuburnya, dan amal-amal kebaikan selama hidup dapat diterima Allah SWT sebagai amal shalehnya, amiiiin……

Allahummaghfirlaha warhamha wa afiha wa’fu anha…