Indahnya Ber-ukhuwah

Hari  itu, menjelang azan zhuhur berkumandang ia datang ke rumah saya. Seperti biasa, setiap kali berjumpa dari sorot mata dan pancaran mukanya, saya menemukan semangat hidup yang seolah tak pernah padam. Semangat untuk selalu memberi dan berbagi kebaikan dengan sesama hamba-hamba Allah. Perkenalan saya sejak sekian tahun telah memberi banyak warna indah dalam kehidupan saya. Dengan kata-katanya, ia sanggup memompa semangat dan menyalakan kembali api ghirah yang terkadang hampir padam dalam jiwa ini. Laki-laki yang benama Alim dan telah dikarunia seorang putra ini selalu tampak bersemangat.

Kamipun mulai berbincang hangat menanyakan keadaan masing-masing, tentang kegiatan sehari-hari yang kini tengah digeluti, dan perencanaan hidup ke depan.

Kemudian ia berkata, "Arif, salah seorang teman kita, Nashir-nama samaran-  sejak beberapa hari yang lalu sakit, yuk kita menjenguknya selepas zhuhur ini", ajaknya pada saya.

"Oh..,inna lillahi wa inna ilaihi raji`un,  insya Allah, saya bersedia ikut untuk menjenguknya", jawab saya bersemangat tanpa berpikir panjang.

"Saya sudah mengajak Ahmad, insya Allah, katanya ia mau ikut bersama kita", lanjutnya.

"Baiklah kalau begitu, tapi saya ada urusan dulu sebentar, insya Allah kita jumpa shalat zhuhur di mesjid ar-Rasul, Madrasah", ujar saya padanya.

Usai shalat zhuhur kami bertemu kembali di mesjid ar-Rasul, Madrasah. Ia mencoba menelpon Ahmad, memberitahukannya bahwa kami sudah berada di mesjid a-Rasul, agar  ia  secepatnya untuk datang ke mesjid ar-Rasul. Sembari menunggu Ahmad, ia bertanya pada saya, "Tadi Arif ada lihat Fajri nggak?", "Iya, saya lihat ia shalat di belakang Akhi, tapi saya tidak sempat menyapanya, dan saya lihat ia sudah ke luar duluan pulang ke rumah".

"Oh gitu, saya akan coba telfon dia, semoga saja ia mau kita ajak untuk menjenguk teman kita yang sakit itu."

"Iya, silahkan."

Alhamdulillah, Fajri pun dengan semangat menyambut baik ajakan itu, tak lama kemudian ia pun datang ke mesjid menemui kami.

Saya sudah cukup lama mengenal Fajri. Sejak 2 tahun yang lalu. Perkenalan yang tentunya banyak memberi kesan tersendri bagi saya, terutama dari segi menghafal al-Qur`an. Ia adalah seorang hafizh al-Qur`an. Dan suaranya tak kalah indah dengan para qurra` yang lain. Sehingga pada bulan ramadhan ia selalu diminta untuk jadi imam shalat tarawih. Saya  sering kali merasa iri padanya, saya juga ingin sepertinya dalam kebaikan ini, saya juga berharap  bisa menjadi seorang hafizh.

Fajri adalah seorang sosok pribadi yang murah senyum, tenang, fasih berbahasa arab, mudah bergaul, dan cerdas. Tahun ini, ia naik tingkat dengan nilai yang sangat membanggakan.

Kami larut dalam perbincangan yang hangat dan mengasyikkan sembari menunggu kedatangan Ahmad, namun Ahmad belum kunjung datang, sehingga kami pun memutuskan untuk pergi lebih dulu, dan  Ahmad nanti  menyusul ke rumah Nashir.

Sebelum  ke rumah Nashir, kami pergi ke pasar, mencari oleh-oleh yang akan dibawa ke rumah Nashir. Setelah dilihat-lihat, kami pun sepakat untuk membeli  jawafah.

Saat itu, saya merasa malu, di saat Fajri dan Alim berebut untuk membayar, saya hanya diam, karena saya tidak membawa uang. Subhanallah, mereka tak mau kalah untuk membayar, seakan tidak ingin ada yang lebih dulu membayarkan, sehingga Fajri lebih cepat mengeluarkan uang dari dompetnya, dan membayarkan uang 4.50le untuk 2,5 kg jawafah.

Tapi Alim seoalah tidak puas, uang yang telah ia keluarkan dari dompetnya, ia berikan ke Fajri, untuk mengganti uang yang terpakai, tapi Fajri menolak untuk menerimanya. Saya melihat ada goresan kesedihan di wajah Alim, karena kalah berbuat baik saat itu dari Fajri. Subhanallah, sebuah pemandangan yang bagi saya begitu indah.

Saya jadi teringat dengan kisah perlombaan sedekah Umar ra dan Abu bakar ra. Dalam kisahnya, Umar bercerita, "Suatu ketika Rasulullah saw memerintahkan untuk bersedekah, waktu itu saya memiliki sedikit harta kekayaan. Saya merenung, setiap saat Abu Bakar membelanjakan lebih dari apa yang telah saya belanjakan di jalan Allah. Saya berharap dengan karunia Allah, semoga saya dapat membelanjakan lebih darinya kali ini, karena saat itu saya mempunyai dua harta kekayaan untuk saya belanjakan. Saya pulang ke rumah dengan perasaan gembira sambil membayangkan buah pikiran saya tadi. Segala yang ada di rumah, saya ambil setengahnya, Rasulullah saw bersabda, "Apa ada yang kamu tinggalkan untuk keluargamu, wahai Umar?"

Saya menjawab, "Ya, ada yang saya tinggalkan, wahai Rasulullah!"

Rasulullah bertanya lagi, "Seberapa banyak yang telah kamu tinggalkan?"

Jawab saya, "Saya telah tinggalkan setengahnya."

Tidak berapa lama kemudian Abu Bakar datang dengan membawa seluruh harta bendanya. Saya mengetahui bahwa beliau telah membawa seluruh miliknya. Begitulah pembicaraan yang saya dengar antara beliau dengan Rasulullah.

Rasulullah bertanya, "Apakah yang kamu tinggalkan untuk keluargamu, wahai Abu Bakar?"

Jawab Abu Bakar, "Saya meninggalkan Allah dan Rasul-Nya kepada mereka."

"Sejak saat itu, saya mengetahui bahwa sekali-kali saya tidak dapat melebih Abu Bakar", kata Umar ra menutup kisahnya.

Kembali kita lanjutkan, setiba di rumah Nashir, kami disambut baik oleh Nashir, senyum mengembang dari raut mukanya. Ia begitu bergembira dan haru menyambut kedatangan kami. Ia pun mempersilahkan kami  masuk dan duduk di ruang tamu.

Nashir adalah sahabat saya sejak lama, kini ia telah menikah dan dikarunia seorang putri yang cantik dan cerdas. Dulu, sebelum menikah, kami sering berbincang tentang rencana-rencana hidup ke depan, diantaranya tentang pernikahan, saat itu keinginannya untuk menikah demi menggenapkan setengah agama sudah kuat, hanya saja karena beberapa faktor keiinginan itu sempat tertunda. Namun, berkat doa yang tak kenal henti ia panjatkan, kesungguhan berusaha, akhirnya Allah memperkenankan niatnya.

Setelah menikah, saya menemukan banyak perubahan dalam dirinya, ia nampak semakin ceria, rajin dan bersemangat.

Tak lama berselang, Ahmad datang. Ia baru pulang dari kuliah untuk mengurus tasdiq, guna memperpanjang visa yang hampir habis. Terlihat kelelahan menyapa tubuhnya. Tapi, walau cukup lelah, senyum yang biasa menghiasi wajahnya tak hilang.

Ahmad, atau ust. Ahmad ini juga sudah cukup lama saya kenal. Ia juga sudah berkeluarga

dan dikarunia dua orang putri yang cantik.

Kamipun larut dalam perbincangan yang hangat. Banyak hal yang kami bicarakan, saling bertanya, bercerita, saling berkomentar dan diselingi dengan tawa ceria.

Pada ksempatan tersebut salah seorang diantara kami tampil berbicara menyampaikan sedikit tadzkirah.

Dalam tazkirah singkat itu, diantaranya ia menyebutkan, "Hidup di dunia ini hanya sementara, kenikmatan yang ada padanya  sementara, begitu juga kesusahannya sementara, hanya di akhrat kenikmatan dan kesusahan yang abadi. Apapun yang menimpa kita adalah  ujian dari Allah. Apakah kita akan menjadi hamba-hamba-Nya yang bersyukur tatkala berbagai limpahan nikmat kita dapatkan? Dan apakah kita akan menjadi hamba-hamba-Nya bersabar di saat berbagai ujian musibah dan kesusahan menimpa kita?

Sakit pada hakikatnya adalah rahmat dari Allah untuk orang-orang mukmin. Dengan sakit yang ia derita, Allah akan menghapus dosa-dosanya, yang diumpamakan seperti  daun-daun yang berguguran, dan derajatnya diangkat oleh Allah, itu akan ia dapatkan jika ia sabar dan ihtisab ketika menghadapi sakit itu.

Allah telah menyatakan, melalui lisan rasul-Nya, bahwa jika ia mencintai hamba-Nya ia a kan mengujinya.

Ia juga membacakan sebuah hadits Rasulullah saw tentang keutamaan menjenguk orang sakit, "Barang siapa yang menjenguk orang sakit, atau menziarahi saudaranya karena Allah, sebuah panggilan( dari langit) akan menyerunya, "Sungguh baik apa yang kamu lakukan, dan baiklah perjalananmu itu, dan kamu sungguh akan  mendiami  sebuah tempat di sorga."

Silaturahmi pada hari itu begitu berkesan, ada ilmu baru yang didapat, ada semangat untuk meningkatkan amal, dan ikatan ukhuwah semakin kuat.

Tak lama kemudian kami mohon izin untuk pulang, dan tak lupa memohon doa dari Nashir agar kita semua diberi keberkahan pada sisa umur, dikaruniakan hidup yang penuh manfaat dan kebaikan serta diridhai Allah swt.

Di tengah perjalanan pulang kami berpisah, saya harus segera menjemput istri  di rumah temannya, karena mengikuti kajian Fiqh mingguan, Alim ke rumah Fajri, melanjutkan silaturahmi dan Ahmad ke pasar berbelanja kebutuhan dapur.

Alhamdulillah, saya bersyukur hari itu bisa menjenguk saudara yang sakit. Begitu terasa indah jika persaudaraan terbina di atas pondasi keimanan pada Allah swt, hidup akan penuh kebaikan, keberadaan mereka selalu memotivasi dan membuka jalan-jalan kebaikan, dan hari-hari yang dijalani penuh dengan peningkatan ilmu, iman dan amal.

 

Salam dari Kairo