Karena Standar Kita Rendah, Saudaraku…

Umat yang malang ini kini diuji dengan berbagai nabi palsu yang muncul nyaris berbarengan. Seperti mengikuti komando yang tak terlihat, mereka berdatangan dari segala arah. Virus megalomania berjangkitan di mana-mana. Ada yang mengaku mendapat wahyu setelah bertapa di Gunung Bunder, ada pula yang mengaku-ngaku sebagia titisan Maryam atau Jibril (klaimnya memang selalu berubah seiring waktu). Ada yang mengaku menjalankan syariat yang sebenarnya dengan mengecat rambutnya pirang dan berpakaian hitam, sehingga mereka – seperti pengakuan imamnya sendiri – berwajah seram dan bagaikan singa.

Tidak perlu menyesali kedatangan para nabi palsu yang hidup dengan membohongi diri sendiri. Sejak dulu manusia jenis ini sudah ada. Matanya tertutup, pergaulannya sangat sempit, sehingga ia merasa dirinya hebat sendirian, sementara yang lain tidak. Mereka tidak tahu kenyataan, karena mereka ciptakan dunia independen dalam dirinya sendiri. Ketika Rasulullah saw. Masih hidup pun ada orang yang berusaha menandingi surah Al-‘Ashr dengan sebuah syair bodoh tentang Gajah. Sepeninggal Rasulullah saw., tepatnya pada era pemerintahan Khalifah Abu Bakar ra., muncul pula nabi palsu yang membawa sebuah syair tentang kodok. Agaknya tantangan Al-Qur’an untuk menciptakan ayat-ayat yang mampu menandinginya memang terlalu berat bagi manusia.

Semuanya bermuara pada pendidikan. Secara formal maupun non-formal, pendidikan agama di negeri ini memang masih sangat menyedihkan. Kita nyaris tidak mendapatkan apa-apa dari pengajaran di sekolah. Waktu SD dulu, saya pernah mendebat guru agama yang mendefinisikan Islam sebagai singkatan dari ‘Isya, Subuh, Lohor, ‘Ashar dan Maghrib. Ketika itu saya protes karena nama Islam berasal dari bahasa Arab, dan setahu saya, dalam bahasa Arab tidak ada kata “Lohor”, yang ada hanyalah “Zhuhur”. Kalau memang nama agama ini berasal dari singkatan nama shalat lima waktu, maka namanya tidak akan menjadi “Islam”, melainkan “Iszam”. Kalau mau argumen yang lebih cerdas lagi, silakan merujuk pada salah satu hadits arba’in dari An-Nawawi yang penjabarannya sudah dikenal oleh setiap anak SD yang beragama Islam yang paling bodoh sekalipun. Hadits itu menjelaskan rukun Islam yang terdiri dari lima hal yang sudah amat kita kenal. Yang namanya rukun tentu tak boleh ditinggalkan sama sekali. Karena itu, shalat lima waktu yang wajib itu hanya satu dari lima rukun Islam. Kebodohan guru agama saya dulu itu ‘dikompensasi’ dengan nilai tujuh di dalam rapor, dan saya belum pernah menerima nilai di bawah sembilan untuk pelajaran yang sama di waktu lain. Bahkan guru agama pun tak mampu mengendalikan egonya dengan baik. Ilmu macam apa yang akan diwariskan kepada murid-muridnya?

Standar kita memang terlalu rendah. Terlalu sedikit kita mempelajari Al-Qur’an, Al-Hadits dan Sirah Nabawiyah, sehingga kita justru merasa asing dengan agama ini. Fakta bahwa para nabi palsu akhir-akhir ini sedang ‘naik daun’ adalah suatu petunjuk bahwa begitu banyak orang yang tidak memahami agamanya sendiri.

Dalam Islam, kita mengenal banyak tingkatan manusia. Ada kafir, munafiq, fasiq, Muslim, dan sebagainya. Di antara umat Islam pun ada berbagai tingkatannya. Ada yang ahli bid’ah, ada yang rajin maksiat, ada yang pembohong, ada yang malas ibadah, ada pula orang-orang saleh. Di atas orang-orang saleh itu adalah para utusan Allah, yaitu para Nabi dan Rasul. Di antara para Nabi dan Rasul, kita mengenal manusia yang kualifikasinya paling tinggi, yaitu Rasulullah saw., sang Nabi penutup, sang Rasul akhir zaman.

Berdasarkan logika sederhana saja, kita akan menyadari bahwa seorang direktur atau manajer perusahaan hanya akan mengganti karyawannya dengan yang setara atau lebih baik, atau setidaknya masih dalam range kualifikasi yang sama. Tidak mungkin ada direktur yang mengganti karyawan dengan yang lebih buruk. Kalaupun terjadi, itu pastilah sebuah kekhilafan murni, bukan kesengajaan. Allah SWT, di sisi lain, tidak mengenal ketidaksengajaan. Karena itu, logikanya, Allah tidak akan mengganti seorang Nabi atau Rasul dengan seseorang yang tidak memenuhi standar kualifikasinya.

Dengan demikian, kalau masih ngotot ingin menjadi Nabi sesudah Rasulullah saw., maka setidaknya ada dua hal yang mesti diperhatikan: (1) kualifikasinya harus lebih tinggi dari manusia kebanyakan, karena seorang Nabi harus lebih baik daripada orang-orang saleh, dan (2) harus memiliki kualifikasi seorang Nabi, atau preferably yang lebih baik daripada yang digantikan (which is Rasulullah saw.).

Sekarang mari kita cek keterangan Al-Qur’an mengenai kualifikasi para Nabi.

Sebelum Allah menciptakan Nabi Adam as., Allah juga telah menciptakan para malaikat dan jin. Ketika itu, Allah menceritakan kehendak-Nya untuk menciptakan manusia yang kemudian mendatangkan keheranan bagi para Malaikat. Jawaban Allah SWT yang singkat dan tegas membuat para malaikat memilih untuk tidak mempertanyakan masalah ini lebih jauh lagi: “Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang kamu tidak ketahui. ” Setelah Nabi Adam as. Diciptakan, Allah mengajarinya begitu banyak pengetahuan yang bahkan para Malaikat pun tidak mengetahuinya. Melihat luasnya pengetahuan Nabi Adam as., para malaikat pun takjub dan tidak menolak ketika disuruh bersujud kepadanya (Q. S. Al-Baqarah [2]: 30 – 34). Kalau mau menggantikan Nabi Adam as., maka harus mampu memiliki pengetahuan yang membuat para Malaikat takjub.

Nabi Nuh as. Adalah contoh seorang pendakwah tangguh. Beliau berbantah-bantahan dengan kaumnya sendiri yang durhaka kepada Allah. Begitu kuatnya usaha beliau, namun betapa keras kepalanya mereka dalam kekufuran. Nabi Nuh as. Tidak mengeluh sedikit pun, namun akhirnya Allah sendirilah yang mewahyukan padanya bahwa kaumnya tidak akan beriman padanya kecuali mereka yang sudah beriman saat itu. Dengan pengikut yang secuil itu, Nabi Nuh as. Dengan tabah terus berdakwah sekaligus memimpin para pengikutnya membangun sebuah perahu superkuat untuk menyelamatkan diri dari banjir besar yang menghabisi kaumnya, termasuk putranya sendiri (Q. S. Huud [11]: 25 – 83). Kalau mau menggantikan Nabi Nuh as., jangan pernah mengeluh dan harus punya track record yang hebat dalam berdakwah.

Nabi Ibrahim as. Hidupnya tidak pernah sepi dari cobaan. Beliau tidak lari dari tantangan. Menghadapi umatnya yang gemar menyembah berhala, Nabi Ibrahim as. Melakukan serangan yang langsung kepada pusatnya. Beliau hancurkan berhala-berhala itu, dan ditantangnya mereka secara terbuka (Q. S. Al-Anbiyaa’ [21]: 52 – 67). Nabi Ibrahim as. Kemudian berhadapan dengan seorang Raja, dan kekerasan hatinya tetap menjadi ciri khasnya. Terhadap raja yang merasa dirinya paling hebat, beliau ajukan tantangan: “Sesungguhnya Allah menerbitkan matahari dari timur, maka terbitkanlah ia dari barat!” (Q. S. Al-Baqarah [2]: 258). Atas ‘kenekadannya’, Nabi Ibrahim as. Diganjar hukuman dibakar hidup-hidup, namun Allah menyelamatkannya (Q. S. Al-Anbiyaa’ [21]: 68 – 70). Sampai akhir hayatnya, Nabi Ibrahim as. Dikenal karena keteguhan hatinya untuk tetap berada dalam jalan yang lurus. Beliau tidak menolak ketika harus meninggalkan isteri dan anaknya di lembah tandus tak berpenghuni (Q. S. Ibraahiim [14]: 37), tidak juga protes ketika disuruh menyembelih Nabi Isma’il as (Q. S. Ash-Shaaffaat [37]: 102 – 107). Kalau mau menjadi pengganti Nabi Ibrahim as., minimal harus memiliki keteguhan seperti beliau. Buktikanlah dengan menentang kesesatan di tengah-tengah masyarakat secara terbuka, menasihati penguasa yang zalim secara terang-terangan, dan tidak boleh menolak tugas seberat apa pun dari Allah SWT.

Kalau mau jadi pengganti Nabi Isma’il as., berarti masa mudanya harus dipenuhi dengan prestasi memakmurkan rumah-rumah Allah dan membaktikan diri pada-Nya saja. Kalau mau menggantikan Nabi Yusuf as., maka harus bisa menyelamatkan negeri sendiri dari krisis ekonomi. Kalau mau menjadi pengganti Nabi Musa as., maka harus mampu memimpin umat untuk menghindar dari marabahaya. Kalau punya hasrat menjadi pengganti Nabi Daud as., mestilah memiliki keperkasaan yang unggul.

Nanti sajalah mempersoalkan masalah legalitas ‘para nabi’ setelah Sang Nabi Penutup. Sekarang pandanglah orang-orang yang mengaku nabi itu, dan tanyakanlah pada hati terdalam: “Apa pantas mereka menyebut dirinya sendiri nabi? Apa yang mereka miliki sehingga mampu menggantikan para Nabi dan Rasul terdahulu?”

I rest my case.

Wassalaamu’alaikum wr. Wb.