Karunia Terbaik

Di musim liburan lalu, Sulistyanto berniat hendak ke Madura. Dia adalah tenaga pendamping dalam proyek CSR (Corporate Social Responsibility) perusahaan minyak asing yang bekerjasama dengan kantor konsultannya di Surabaya. Dia mendapat tugas untuk melakukan koordinasi dengan aparat, ulama, perangkat desa, dan masyarakat agar program CSR itu bisa diterapkan dengan baik. Selanjutnya setelah program itu berjalan nantinya, dia diminta melakukan supervisi secara berkelanjutan. Karena tugas supervisi itulah, dia membulatkan tekad untuk bolak-balik Jakarta-Madura setiap dua pekan dengan menumpang kereta api.

Meskipun proyek itu memiliki durasi waktu yang cukup panjang, yaitu sekitar 5 tahun, dia belum memutuskan untuk menetap di Surabaya atau Madura. Di Jakarta ini, dia juga mengelola kantor konsultan bersama rekan-rekannya. Isterinya pun bekerja di Jakarta dan belum memiliki keinginan untuk pindah ke sana.

Suatu ketika saya bertemu dengannya, dan menanyakan kapan akan pergi lagi ke Madura.
Dia pun menjawab,
“Insya Allah besok Pak!”.

“Sudah ada tiketnya?” saya pun bertanya.

Saat itu adalah masa liburan sekolah, biasanya tiket-tiket perjalanan khususnya kereta api, habis dipesan (full-booking) oleh para penumpang atau oleh para makelar. Dan dugaan saya benar adanya. Sulistyanto belum memiliki tiket ditangan karena tiket sudah habis ter-booking. Saya memberikan saran alternatif,

“Ga coba naik bis aja pak!. Biasanya kalau Bis tidak begitu penuh.”

Sulistyanto menjawab dengan antipati,
“Ah nggak nyaman, Pak!. Besok aja saya pagi-pagi ke stasiun Gambir, masih bisa pesan tiket secara langsung kok Pak. Tapi yang nggak ada kursinya. Besok pagi habis dapat tiket, saya balik lagi ke rumah, kemudian sorenya baru berangkat..”

Besok sorenya, saya masih melihat Sulistyanto masih ada di rumah. Ketika bertemu sehabis shalat Isya, saya tanyakan lagi.

“Belum jadi ke Maduranya, Pak!”

“Wah, tadi terlambat nggak kebagian tiket Pak! Tetapi tadi sudah saya pesan, Insya Allah besok dapat tiket dan bisa berangkat!”

“Syukurlah jika demikian, Alhamdulillah.” Saya coba menghargai upayanya itu.

Ketika berpisah, tidak lupa ia memohon pamit –siapa tahu tidak ada kesempatan bertemu lagi, dan memohon doa agar dimudahkan di dalam tugas dan di dalam perjalanan.

Besok sorenya, saya lihat dia naik sepeda motor melewati depan rumah. Saya sedikit kaget, berarti dia belum jadi berangkat ke Madura. Langsung saya sapa dan ia berhenti. Seakan tahu apa yang ingin saya tanyakan, ia bercerita,

“Tadi saya sudah antri cukup lama untuk mendapatkan tiket, Pak. Tetapi begitu tiket itu sudah saya bayar dan saya pegang, saya mendapat telepon dari Surabaya. Katanya keberangkatan saya mohon di tunda dulu!, akhirnya tiketnya saya jual ke orang lain.”

Sulistyanto merasa tidak ada beban menceritakan semuanya. Bahkan ia sering menyelinginya dengan tertawa karena merasa lucu. Tidak ada gurat kekecewaan kepada rekannya di Surabaya. Baginya, jika memang sebaiknya tidak berangkat, ya tidak usah berangkat. Tidak perlu risih kepada siapapun, termasuk kepada isteri dan tetangga-tetangganya. Ia sempat berseloroh bahwa ia dibawakan macam-macam makanan oleh isterinya, makanan itu langsung ia habiskan sebagian di stasiun, sebagiannya lagi dibawa pulang. Cukup unik dan cukup menghibur kisah yang dialaminya itu.

Ingatan saya masih terbayang kepada ungkapannya bahwa ia merasa tidak nyaman bilamana harus naik bis dan lebih baik repot sedikit mengusahakan naik kereta api. Yah, meskipun kelas ekonomi yang tanpa tempat duduk. Tiba-tiba saya teringat, ia pernah mengatakan bahwa biaya apapun yang keluar akan ditanggung oleh perusahaan asal diberikan bukti pengeluarannya. Segera saja terlontar pertanyaan dari saya,

“Pak, kenapa ngga naik pesawat terbang saja sekalian. Kan bisa dibooking secara on-line dari Surabaya, kemudian bapak issued di Jakarta. Lagian, lebih nyaman naik pesawat dan tidak banyak menghabiskan waktu Bapak. Bapak kan konsultan, jadi waktu bapak tentu sangat berharga dong?! Minta pesawat yang bagus saja, Pak! Klien Bapak kan perusahaan minyak, pasti besar dong nilai kontraknya dan tidak ada kesulitan untuk itu.”

Saya hanya sekedar memancing jawaban yang mampu memuaskan penasaran saya. Akhirnya Sulistyanto membuka kartu dan berterus terang kepada saya, “Iya sih Pak!, tetapi saya sebenarnya menghindari itu.”

Saya heran, dan bertanya kenapa. Awalnya saya menduga karena jiwa egaliter dan empatinya kepada rakyat kecil. Namun rupanya karena ia mengalami trauma naik pesawat.

“Saya ini punya penyakit vertigo (pusing yang bersangatan), Pak. Pernah sekali saya naik pesawat, begitu melihat pemandangan dari balik jendela, kepala saya langsung berputar-putar (pusing).Sejak saat itu, saya menghindari naik pesawat.”

Saya jadi tercekat. Itukah rupanya, Sulistyanto begitu enjoy dengan kerepotannya mendapatkan tiket kereta api. Bahkan untuk tiket kereta api kelas ekonomi.

***

Saya merenung dan mendapatkan beberapa pelajaran dari dirinya. Andai diibaratkan dengan sebuah kenikmatan, menumpang pesawat terbang –dengan mengabaikan faktor resiko keselamatannya– tentu lebih nikmat, lebih bergengsi, dan lebih efisien dibanding menumpang kereta api. Tetapi konsultan seperti Sulistyanto justru menghindarinya, dan lebih memilih menumpang kereta api kelas ekonomi dengan mengorbankan lebih besar tenaga dan waktu untuk meraihnya.

Hal yang serupa, keunikan itu dialami oleh juga oleh seorang kawan. Jika menumpang mobil pribadi dan ber-AC, ia mabok. Baginya menumpang mobil angkot tanpa AC lebih menyenangkan dibanding harus menumpang mobil pribadi yang ber-AC itu.

Agaknya setiap orang memiliki kondisi yang berbeda dan memiliki preferensi (kesukaan) yang berbeda pula. Jika antara kondisi dan preferensi menemukan titik temu, maka yang muncul adalah ketenangan hati. Dengan kata lain, jika hati bisa tenang, itulah kondisi terbaik baginya.

Jika kita mampu menyelami hal ini, tentu kita akan bisa meredam penyakit hati seperti hasad, dengki atau iri hati. Karena sesungguhnya setiap orang dianugerahi kondisi terbaik oleh Allah SWT. Yakinlah bahwa Allah itu Maha Adil dan Allah Maha Bijaksana dengan keputusan-Nya.

Allah memberikan kemuliaan bagi sahabat seperti Abu Bakar yang memiliki banyak harta. Namun Allah juga memberikan kemuliaan bagi sahabat seperti Bilal yang mantan budak dan tidak memiliki harta apa-apa. Mereka tidak pernah saling mendengki meski ada kesenjangan harta di antara mereka. Mereka menyadari posisinya masing-masing dan menyadari bahwa kondisinya itu adalah kondisi terbaik yang diberikan Allah SWT.

Yang sering kita lupa, karakteristik khas dari para sahabat Nabi Saw adalah selalu antusias dalam mengejar amal kebajikan, tanpa pandang miskin maupun kaya. Menurut saya, antusiasme kepada kebajikanlah yang menjadikan mereka mulia dihadapan Allah SWT, bukan karena posisi harta yang dimilikinya masing-masing.

Waalllahua’lam bishshawaab ([email protected])