Lebarannya Orang Kebayoran

Lebarannya Orang Kebayoran

“Jangan lupa nanti kalau Lebaran bawa bawaan buat, Nyak!”

Begitu pesan suara dari balik ponsel dengan lantang kepada orang yang berada dari balik seberang jalan. Suara itu tak lain keluar dari parau suara Ibu saya kepada menantunya ketika menantunya itu menanyakan kabar mertuanya. Tak lain Ibu saya itu.

^^^

Ini adalah Lebaran tahun kedua bagi kakak ipar perempuan saya sekaligus istri dari kakak laki-laki saya—yang sudah ‘resmi’ bergabung di keluarga besar saya. Hingga Lebaran tahun kali ini begitu lain dan beda saya rasakan. Terlebih ketika kakak ipar perempuan saya itu memiliki anak laki-laki satu-satunya berusia dua tahun dari kakak laki-laki saya itu. Hingga benar-benar Lebaran kali ini saya rasakan amat ramai bahkan seru! Saking serunya kadang kala saya kewalahan juga ketika anak laki-lakinya itu sudah ikut serta bertandang ke rumah saya lebih tepatnya rumah orangtua saya. Pastinya akan disulapnya rumah saya menjadi kapal pecah.

Itu baru anak laki-laki dari kakak laki-laki saya belum ditambah dengan anak dari kakak ketiga perempuan saya yang memiliki tiga orang putra pula plus ditambah satu dan tiga putra-putri kakak pertama dan kedua perempuan saya klop jadinya! Klop membayangkan rumah saya saat itu pasti seperti tempat penitipan anak saja—dan nantinya tidak berapa lama kemudian akan disulap seperti kapal pecah! Betapa ramainya rumah saya saat Lebaran tiba jika dihadiri oleh mereka notabene keponakan-keponakan saya itu. Maklum saya keluarga besar. I luv full my big family.

^^^

Seperti yang sudah-sudah Lebaran bagi saya adalah bukan hanya sekedar ritual ajang saling berhalal bihalal saja, saling berlaku bermaaf-maafan tetapi bagi saya adalah reuninya untuk keluarga yang sudah lama tak berkumpul bersama. Jadi bagi saya Lebaran selalu saya identikan dengan reuni. Entah itu reuni keluarga besar yang sudah jarang bertemu. Atau, juga bisa saya katakan reuni kawan-kawan saya khususnya yang sudah tidak lama tak bersua. Apalagi bagi saya yang tidak mudik. Kampung saya ada di sini!

Namun bagi saya apalah artinya ajang reuni apalagi sangat erat kaitannya dengan Lebaran bila tidak ada penganan atau kuliner sebagai teman pelengkap di hari raya Lebaran. Apalagi hal ini menyangkut untuk menghormati tamu jika bertandang. Sudah barang tentu hal itu sudah menjadi kewajiban sohibul bait untuk menyediakannya. Bukankah menghormati tamu itu diwajibkan? Tentu hal ini tidak boleh dilupakan begitu saja.

Memang penganan atau kuliner yang setiap kali disajikan pada saat Lebaran tiba tidaklah ada hal yang baru apalagi yang istimewa ketika saat kedatangan atau bertandang, berhalal bihalal ke rumah tetangga dekat maupun kerabat. Terlebih penganan atau kuliner yang disajikan selalu saja klise. Itu-itu saja. Tak lain yang disajikan itu berupa nastar, putri salju, kue keju, kue satu, biji ketapang, kacang goreng mede maupun kacang goreng bawang. Tidak lupa ketupat-opor sampai rendang pun selalu tersaji dengan manja di ruang tamu. Ya, walau klise tapi tetap saja maknyusss! Apalagi kalau perut sedang berkukuruyuk dan dapat makan gratis di rumah tetangga dekat atau kerabat dengan alasan halal bihalal, bersilaturahmi. Padahal numpang makan gratis! Hmm…, indahnya bila Lebaran tiba.

Tapi bagi saya yang Perjaka. Peranakan Jakarta. Alias Betawi tulen biasanya penganan yang tersajikan adalah penganan-penganan tempo doeloe. Namun karena semakin maju dan pesatnya perkembangan kuliner di nusantara penganan semacam ini saat-saat Lebaran jadi tergeser. Biasanya penganan sekelas kembang goyang, akar kelapa, wajik ketan, renginang, kue tambang, kue kipas sampai dodol Betawi harus tersaji saat Lebaran tiba.

“Kalau Lebaran tiba biasanya yang ada di meja waktu dulu makanan khas Betawi bukan kayak sekarang ini harus beli dulu di pasar.”

Begitulah yang sering diceritakan oleh Ibu saya jika Lebaran tiba tempo doeloe. Namun Lebaran kali ini saya rasakan sangatlah berbeda terlebih ketika ada ‘orang baru’ yakni kakak ipar perempuan saya yang berasal dari Kebayoran. Tepatnya Kebayoran Lama. Jika ia bertandang untuk silaturahmi, halal bihalal ke rumah pasti ia akan selalu membawa buah tangan berupa khas penganan orang Kebayoran. Entah, apakah hal ini sudah tradisi atau hanya untuk menyemarakan Lebaran saja? Bagi saya itu bukanlah hal yang utama. Yang utama adalah buah tangannya, eh salah silaturahminya. Kalau pun kakak ipar perempuan saya membawa buah tangan toh mungkin itu sebagai bentuk untuk berbagi kepada mertuanya. Tak lain ibu saya itu. Duh, sebegitu mengharukannya….

^^^

“Di rumah emang biasa kok bikin uli-tapai kalau Lebaran. Ini juga bawa karena memang sudah dibuat khusus untuk, Nyak. Tapi sayang Nyak bikin dodolnya nggak keburu,” ujar kakak ipar perempuan saya saat tiba di rumah usai bermaaf-maafan sambil menyerahkan buah tangan yang berwadahkan baki.

Dan ternyata buah tangan yang dibawa kakak ipar perempuan saya itu adalah penganan yang terbuat dari ketan. Uli dan kawan cs-nya tapai ketan hitam—yang terlebih dahulu diragikan. Dipermentasikan dahulu. Sedangkan penganan uli itu sendiri terbuat dari ketan yang sudah ditanak dahulu lalu dihaluskan tumbuk pakai alu hingga halus menjadi uli. Itulah khas penganan yang dihantarkan oleh kakak ipar perempuan saya yang berasal dari Kebayoran itu.

Padahal bukan itu saja tapi masih banyak lagi. Walau penganan kampung tapi bagi saya sangat leukerr… Toh, saya juga melihatnya bukan dari hantaran kakak ipar perempuan saya itu melainkan hubungan antar dua keluarga yang begitu bersahaja dan legowo. Hubungan antara menantu dan mertua yang begitu akrab ketika Lebaran tiba maupun di hari-hari lainya. Hmm, lagi-lagi saya yang memperhatikan orangtua (Ibu) saya dengan menantunya itu saya jadi terharu. Hingga dalam hati saya berkata,” kapan ya saya mendapatkan jodoh seperti kakak ipar perempuan saya itu? Akrab dan begitu erat kepada Ibu saya itu…? Entahlah.

Bagi saya walau hanya uli dan tapai ketan hitam saja sebagai buah tangan Lebaran bagi saya tak mengapa. Lagi pula buah tangan itu juga sebagai peneman serta meramaikan penganan yang seperti biasa disediakan setiap Lebaran tiba. Seperti halnya hubungan erat menantu dan mertua saat itu walau pun mereka sangat berbeda dari lintas usia dan beda zaman tetapi mereka saling menghargai dan meramaikan hari raya Lebaran bersama-sama. Apalagi mereka berdua adalah seorang ibu dari anak-anak yang mereka lahirkan. Ibu saya melahirkan saya dan kakak ipar perempuan saya melahirkan anaknya sekaligus keponakan saya juga. Hmm…, indahnya Lebaran tiba bersama-sama.(fy)

Ulujami—Pesanggrahan, 10 Syawal 1430 H
Tulisan ini saya persembahkan untuk para kaum menantu juga para istri-istri di nusantara. Cintailah mertuamu serta cucu-cucunya.

FB/Email: [email protected]

www.sebuahrisalah.multiply.com