Masihkah Harapan Itu Ada

Mungkinkah saya dapat percaya lagi pada orang lain, bila orang yang saya percaya adalah orang yang tidak sengaja mengeluarkan belangnya, karena sebuah kekhilafan orang lain padanya. Masihkah saya harus dekat padanya bila, saya sudah tahu selama ini dia tak ikhlas menolong orang lain, karena pada saat terjadinya konflik tersebut, maka dia pun mengeluarkan semua daftar kebaikan yang telah dilakukannya pada orang tersebut.

Saya pun merenungi keadaannya, bagaimana tak berharganya setiap bantuannya kepada orang lain selama ini. Tapi mungkin saya menilainya terlalu jauh.

Seorang ibu yang beranak dua dan tinggal di sebuah rumah, berdekatan dengan rumah mertuanya. Selama ini yang saya tahu, sang ibu ini, yang kita sebut saja Ani ( nama samaran ) terlihat tidak akur dengan mertuanya ( perempuan ) karena perbedaan sikap yang mencolok.

Mertuanya ini, secara lahir saja terlihat keras pada wajahnya, memang ini terlihat karena wajah adalah cerminan hati. Apalagi bila kita bergaul padanya, maka terlihat lah betapa susahnya kita menasehatinya. Setiap nasehat kita, memang di tanggapi dengan positif, tapi jangan kaget hanya dengan bilangan detik, dia akan tetap berpendapat kurang baik pada seseorang yang dianggapnya bersalah padanya, walau pun itu adalah tetangga dekatnya. Susah memang tipe wanita seperti ini, dan ini pula yang dirasakan Ani pada mertuanya.

Pada awal-awal pernikahannya, Ani sering-kali dibuat menangis oleh mertuanya. Kadang tanpa disangka-sangka mertuanya “menyosornya” tanpa tedeng aling-aling. Ani yang ramah, tak bisa berucap sepatah dua patah kata, karena tersentak dengan serangan mendadak tersebut. Perbuatan mertuanya ini hingga dia mempunyai dua anak yang bungsu berumur sekitar tiga tahun.

Tapi saat ini terlihat lah Ani mulai terjalin ikatan yang manis dengan mertuanya. Bukan karena mertuanya yang berubah, tapi saya melihat Ani lah yang tidak secara sadar mulai berpihak pada mertuanya yang memang sering-kali konfrontasi terbuka dengan para tetangganya, dan sayang sekali Ani perlahan tapi pasti terlihat sering-kali memaklumi perbuatan mertuanya ini. Padahal saya mengira, Ani yang rajin ikut kajian ilmu setiap minggunya ini, akan mampu merubah pola pikir dan akhlak mertuanya secara perlahan-perlahan. Sebuah harapan yang saya tanamkan pada Ani, ternyata malah membuat saya berpikir bagaimana sebuah akhlak yang buruk, yang pertamanya di benci ternyata malah lambat laun di dukung. Kesedihan merambati hatiku, karena saya berharap Ani seorang yang tangguh, ternyata malah terseret oleh prilaku seseorang yang tidak pernah ikut kajian agama secara rutin. Ani yang pengertian, akhirnya berduet untuk urusan gosip tetangga yang seharusnya dihindarinya.

Benarlah yang dikatakan oleh Rasulullah bahwa manusia itu dinilai dari temannya. Bila temannya seorang penjual minyak wangi, tentu bau harum akan di dapatkannya pula. Begitu pula bila temannya seorang pandai besi, maka dia pun ikut terbakar.

Mungkin itulah yang terjadi pada Ani. Yang pada awalnya akan tangguh dan akan punya kemampuan untuk mewarnai lingkungannya yang memang jauh dari sisi cahaya Ilahi, ternyata tak mampu. Jangankan untuk membuat keadaan lebih baik, malah dia pun secara perlahan dan sangat tidak dirasakannya turut pula dalam lingkaran orang-orang yang semula tidak begitu disukainya tersebut.

Memang dalam kehidupan ini, khususnya bersosialisasi dengan tetangga diperlukan kekuatan dan kemampuan untuk bisa melihat batas-batas pergaulan yang akan kita jalani. Apakah kita akan mampu untuk berada di komunitas tersebut tanpa tesentuh oleh nilai-nilai negatip yang melekat pada mereka, ataukah kita punya kekuatan untuk turut memberi nilai pada lingkaran kehidupan kita, khususnya di lingkungan sekitar rumah.

Bila kita merasa mampu untuk tetap berada pada nilai-nilai agama yang lurus, tentu alangkah baiknya kita bertahan pada sebuah lingkungan yang memang memerlukan pencahayaan. Tentu itu adalah tempat untuk kita beramal sholeh. Tapi…bila kita tahu kekuatan kita, maka tentu saja kita harus angkat kaki, sebelum kita dan keluarga kita turut serta dalam sebuah kemudharatan mereka.

Diperlukan kejelian dan ( muingkin ) sebuah survey sebelum kita, menentukan dimanakah kita akan hidup. Jangan hanya berpatokan, rumah yang kita tempati ada dalam lingkungan yang lengkap fasilitas. Tapi yang perlu ( dan harus ) kita waspadai, apakah lingkungan itu dapat membuat kita menjadi orang yang dapat tetap berpegang pada kebenaran ataukah hanya akan membuat kita ikut terseret adat dan kebiasaan yang berlaku di lingkungan tersebut.

Akhirnya, apakah kita masih punya harapan pada seseorang maupun pada sebuah lingkungan, untuk dapat memengaruhi kita dalam meningkatkan ketakwaan kita kepada Allah Swt.

Bumi Allah, 7 Oktober 2009

Ambe Mardiah ([email protected])