Melayani Sepenuh Hati

Sejak hari sabtu, kondisi isteri menunjukkan kondisi yang kurang fit. Banyak bersin, pegal-pegal, nafas terasa sesak, dan batuk-batuk. Sabtu sore saya membawanya ke sebuah klinik pengobatan dan bersalin di Jakarta Timur. Asmanya kambuh. Untuk membuka penyempitan saluran nafas dan mengeluarkan dahak yang menganggu jalan pernafasan itu, isteri saya menjalani terapi inhalasi. Terapi inhalasi adalah pemberian obat secara langsung ke dalam saluran nafas melalui penghisapan Biasanya setelah dilakukan inhalasi, saluran nafas menjadi longgar dan nafas pun menjadi lega.

Benar saja, setelah menjalani terapi inhalasi, kondisi isteri makin membaik. Namun ternyata hal itu hanya berlangsung sementara. Keesokan harinya, isteri kembali mengalami sesak dan batuk-batuk yang teramat parah. Orang yang mendengarkan batuknya pun serasa sakit dan capai, apalagi yang mengalaminya. Seharian dia tidak bisa tidur dan sebagai akibatnya kondisinya makin melemah.

Saya berusaha menyabarkannya, kemudian saya kembali membawanya ke klinik tersebut. Biasanya kami naik motor menuju klinik yang berjarak cukup dekat tersebut. Namun karena kondisi kali ini ternyata cukup parah sehingga isteri tidak kuat bangun dan berdiri lama-lama, maka akhirnya saya berusaha mencegat sebuah taksi di jalan raya yang tidak jauh dari rumah.

Cukup lama saya menunggu taksi dan tidak menjumpai sebuah taksi yang lewat. Karena merasa bahwa isteri harus segera di bawa ke klinik, saya memutuskan mencari taksi biru di sebuah pangkalan taksi dengan mengendarai sepeda motor. Pangkalan taksi yang saya tuju itu jaraknya cukup dekat, namun jika harus menempuhnya dengan jalan kaki, maka akan terasa banyak menyita waktu.

Setiba di pangkalan, saya menjumpai taksi biru yang sedang ngetem menunggu penumpang. Dengan mimik merendah, saya bilang ke sopir taksi,

“Pak, bisa antarin kami ke rumah sakit nggak?”
“Rumah sakit mana?”
“Bukan Rumah Sakit sih, tetapi klinik, sebelum Rumah Sakit Haji.”
“Ayo lah.”
“Bapak ikutin saya ya Pak!, rumah saya tidak jauh dari sini!”

Saya melaju dengan menggunakan sepeda motor, kemudian supir taksi itu mengikuti dari belakang. Tidak lama kemudian, sampailah taksi itu di depan rumah saya. Jalan di depan rumah hanya cukup untuk dilewati satu mobil. Jika ada mobil lain yang hendak lewat, maka mobil harus mundur atau maju mencari lahan kosong yang bisa di tempati sementara, jika perlu baru kembali ke posisi semula.

Berjarak satu rumah dari rumah kami, ada lahan kosong yang bisa digunakan sebagai parkir sementara. Sembari menjemput isteri ke dalam rumah, saya minta supir taksi itu parkir di tempat kosong sebelum ada mobil yang lewat.

“Tunggu sebentar ya Pak! Bapak mundur dan parkir dulu di belakang.”

Saya masuk ke dalam dan mendapati isteri sedang bersiap-siap. Ketika saya menengok ke depan lagi, ternyata bapak taksi itu belum mundur dan parkir ke belakang. Kekhawatiran saya akhirnya terbukti, ada mobil yang hendak lewat, yaitu mobil pick up seorang tetangga penjual ikan “cuek” (ikan kecil-kecil yang dijual dengan tempat beranyaman bambu bernama cuek). Semula saya mengira, sebagai tetangga ia akan memaklumi adanya taksi di depan rumah, apalagi hal itu tidak biasa. Ia bisa bertanya ‘ada apa’ atau memaklumi dengan menunggu barang sebentar. Tetapi sikapnya itu terasa kurang menyenangkan. Dengan cueknya ia berkata,

“Mundur! Mundur! Cepetan!”

Padahal ia melihat, kami hendak segera menaiki taksi itu.

Atas sikapnya itu, kami berusaha memaklumi. Dalam keseharian, watak seperti itu sudah sering kami jumpai. Pun ketika isteri pernah membeli ikan cueknya yang ternyata sudah berusia beberapa hari dan berformalin. Ia mengakui hal itu, tetapi sama sekali tidak keluar permintaan maaf karena merasa bahwa dunia dagang ya seperti itu. Dalam hati saya bergumam, alangkah teganya seseorang bisa mengorbankan orang banyak demi mendapatkan sebuah keuntungan dan mewujudkan ambisinya untuk kaya.

Melihat sikapnya yang tidak sabar itu, kami merasa tidak enak dengan sopir taksi yang menunggui kami itu. Isteri pun berusaha mengalah dengan meminta menunggu sebentar ketika hendak memasuki taksi, dengan suara sehalus dan sesopan mungkin.

Ketika kami sudah masuk, taksi pun segera mundur, masuk ke ruang kosong, kemudian maju —keluar menuju jalan raya. Jalan sudah mulai sepi karena malam yang kian larut.
Dalam hitungan menit, kami akhirnya sampai di klinik.

Isteri keluar duluan dari pintu belakang sebelah kiri dan langsung menuju klinik, sementara saya keluar dari pintu sebelah kanan, berdiri mengambil dompet, dan hendak membayar kepada sopir. Kulihat meteran argo-nya hanya menunjuk angka 10.000-an, tetapi saya lebih suka membulatkannya menjadi 15.000. Tatkala saya menyerahkan uang 50.000 dan menunggu sang sopir menyiapkan kembalian, ia pun bertanya,

“Ibu penjahit ya?”

Tadinya saya hendak menjawab bukan. Tetapi kemudian saya memaklumi bahwa pertanyaan itu pasti muncul setelah ia melihat spanduk bertuliskan “toko perlengkapan muslim” di depan rumah kami, terlebih di spanduk itu tergambar beberapa produk jilbab dan busana muslimah dan foto seorang model. Ia mengira di rumah kami pasti ada konveksinya. Tanpa memastikan jawabannya ya atau tidak, saya kembali bertanya,

“Memang kenapa Pak?”

Ternyata ia ingin berbagi cerita tentang saudaranya yang kerja di konveksi dan mengalami nasib yang tragis. Ia terserang typus dan berakhir dengan meninggal dunia. Prosesnya memang tidak terjadi secara mendadak. Ia bekerja cukup keras tetapi mengabaikan kualitas asupan dan prinsip keselamatan kerja. Contohnya makan tidak teratur dan cukup bergizi dan tidak menggunakan masker ketika bekerja. Akhirnya penyakit pun menyerang. Salah satu pemacu dari penyakit itu adalah kain material yang banyak mengandung debu dan bau kimia. Belajar dari pengalaman saudaranya itu, ia meminta saya untuk hati-hati. Karena kain material itu bisa memicu datangnya penyakit.

Sebuah pengalaman yang sangat berharga. Saya bisa menindaklanjutinya dengan memberikan peringatan kepada karyawan yang bekerja di rumah produksi kami. Saya salut dengan kesediaannya berbagi pengalaman dengan saya dan menceritakannya dengan penuh antusias. Sungguh saya sebenarnya ingin berlama-lama berbincang dengan sopir taksi biru bernomor pintu DR 2740 itu. Tetapi karena saya harus masuk klinik melihat keadaan isteri, saya pun berujar,

“Wah..Terima kasih ya Pak. Saya harus masuk klinik mendampingi isteri.”
“Sama-sama Pak”
“Kalau boleh tahu, siapa nama Bapak?”
“Dasuki, Haji Dasuki”
“Oh Bapak sudah berhaji ya?”
“Ya Pak, Alhamdulillah”

Rupanya peci rajut abu-abu yang dikenakannya itu, menjadi tanda bahwa ia memang sudah berhaji. Saya jadi ingin mengetahui dan penasaran tentang rahasia berhajinya itu. Saya pun sebenarya ingin menggali, kenapa ia —di usia yang mendekati senja itu— masih mau menjadi sopir taksi dibanding harus bersenang-senang bersama anak dan cucu di rumah.

Saya menduga, pastilah karena ia ingin mendapatkan kebahagiaan dengan melayani orang sebaik-baiknya, melayani orang dengan sepenuh hatinya. Hal itu saya tangkap dari sikap ramahnya dan kesediaannya berbagi pengalaman dengan saya. Sangat berbeda dengan seorang tetangga penjual ikan cuek itu, tentu pelayanan yang diharapkannya adalah semata-mata mengharap uang bukan kepuasan atau kebahagiaan pelanggan.

Alangkah bahagianya hidup jika dipenuhi oleh pelaku bisnis, profesional, pemimpin yang memiliki jiwa melayani dengan sepenuh hati demi kepuasan pelanggan atau pemangku kepentingan (stakeholder). Tentu kualitas produk yang dihasilkannya, akan membawa banyak manfaat dan keberkahan yang melimpah.

Namun fakta yang saya temui seringkali tidak demikian. Sering kali orang berfikir teramat pendek demi memenuhi tuntutan hawa nafsunya. Hawa nafsu akan kekuasaan, kedudukan, jabatan, kekayaan, dan wanita. Padahal semua itu tidak abadi dan bersifat sementara.

Bercermin dari sikap sopir taksi biru itu, hendaknya kita mampu memberikan pelayanan terbaik baik kepada isteri dan anak kita, kepada keluarga dan kerabat kita, kepada tetangga kita, dan kepada masyarakat pada umumnya. Karena jika kita mengingat sabda Nabi Saw, kita semua adalah pemimpin dan akan diminta pertanggungjawaban atas apa-apa yang kita pimpin. Dan salah satu sumber dari keberhasilan seorang pemimpin adalah jika ia mampu memberikan pelayanan dengan sepenuh hati. Bersumber dari jiwa yang ikhlas dan mengharap semata ridha ilahi. Bukan justru malah minta dilayani sepenuh hati. Dan saya berfikir jiwa pelayanan seperti itu bisa dibentuk dengan mencerahkan iman di dalam hati. Jika ia makin bening, maka ia makin peduli dan makin melayani.

Waallahua’lam bishshawaab

([email protected]. SMS 0817-99-OIMAN)