Melihat dengan "Mata yang Lain"

Pagi mendung di Jogja. Langit kelabu. Udara lembab menyelinap ke hidung perlahan sejukkan dada. Matahari pun belum juga nampak dari persembunyiannya. Hilir kendaraan mulai memadati jalan raya, sebagaimana biasanya di pagi hari banyak orang berangkat beraktivitas.

Pagi ini saya berangkat dari rumah saudara di Bantul akan kembali ke kos. Tak berapa lama menunggu saya sudah bertemu dengan angkot yang saya maksud. Ternyata angkot yang saya naiki masih kosong, jadilah saya penumpang tunggal pagi ini. Tapi syukurlah, tak berapa lama kemudian angkot berhenti, ada 4 anak sekolah berseragam putih-putih menaiki angkot. Awalnya saya tidak terlalu memperhatikan mereka. Tetapi karena posisi duduk saya di depan pintu, jadi saya dapat melihat jelas setiap penumpang yang naik angkot. Dan apa yang saya lihat…….

4 penumpang tersebut adalah siswa sekolah menengah lanjutan atas. Satu persatu mereka langkahkan kaki naik ke dalam angkot. Langkah mereka pelan dan hati-hati, sambil berusaha meraih-raih benda yang bisa mereka sentuh sebagai tumpuan tangan. Kemudian mereka duduk, masing-masing di deretan bangku yang berbeda, entah kenapa. Dengan tenang mereka mengikuti arus lalu lintas pagi ini meskipun dengan penglihatan yang tidak sesempurna pada umumnya.

Nafas saya tiba-tiba menjadi pendek-pendek. Dada saya bergemuruh. Tulang-tulang terasa ngilu. Subhanalloh Alhamdulillah…. di satu sisi saya merasa amat beruntung dan bersyukur karena masih diberi penglihatan yang nyata, hingga saya masih bisa melihat langit yang mendung, hingga saya masih bisa melihat warna-warni cat toko-toko yang masih tutup yang berjajar sepanjang jalan, hingga saya masih bisa menikmati damainya warna hijau pohon-pohon yang tegak berdiri di tepi trotoar….dan banyaak lagi hal yang sudah bisa disampaikan oleh sepasang mata ini kepada jiwa saya….

Tapi di sisi lain saya sungguh merasa bersalah karena belum bisa "menjaga" mata ini, masih begitu sering mata ini saya gunakan untuk melihat yang bukan hak saya. Mata ini tak pernah salah, hanya ego saya saja yang mengendalikannya hingga masih sering terlalui masa-masa di mana ada penglihatan yang tidak seharusnya.

Kemudian saya tersadarkan kembali untuk ke sekian kali, bahwa mata ini adalah amanah dari Alloh, sama halnya dengan anggota badan kita yang lain. Selayaknya amanah, maka suatu ketika pasti akan dimintai pertanggungjawabannya. Digunakan untuk apa saja, untuk melihat apa saja, diniatkan untuk apa… Dan sebagainya. Kembali dada saya terasa sesak…. teringat kembali bahwa selama ini sudah benarkah cara saya menjaga amanah mata ini… Sudah luruskah niat ketika mengajaknya untuk melihat dunia dengan warna-warni kehidupannya….

Kemudian saya alihkan pandangan ke salah seorang dari mereka, gadis berjilbab biru muda yang duduk tidak jauh di depan saya. Wajahnya tenang, menatap keluar jendela, dengan tatapan yang (mungkin) tidak bisa dilakukan oleh semua orang, karena ia melihat dengan mata hati. Lalu ke salah seorang lagi yang duduk di belakang saya. Apa yang saya lihat kembali menggemuruhkan jiwa saya. Apa yang saya lihat menjadi teguran sekaligus teladan bagi saya. Bahwa keterbatasan kita tidak seharusnya menghalangi kita untuk terus berusaha, bahwa kerja keras dan usaha sudah seharusnya selalu kita lakukan, apapun keadaan kita. Karena Alloh menyukai hamba-hamba_Nya yang senantiasa berikhtiar. Karena Alloh tidak menilai HASIL yang kita peroleh, tapi Alloh menilai PROSES yang kita jalani. Apa yang saya lihat sungguh dapat memberi rangkuman kurang lebih demikian.

Yang saya lihat adalah, salah satu dari mereka tengah membaca sebuah buku, buku berhuruf braille ia genggam erat di pangkuannya. Mulutnya komat-kamit mengeja kata demi kata. Raut mukanya begitu serius dengan alis mengernyit.

Ah… Sudah! Saya tak kuat lagi melihatnya. Bukan karena kasihan tapi karena rasa simpati kepadanya. Dan juga karena saya merasa bersalah terhadap diri saya sendiri, keluarga, teman-teman dan masa depan. Bahwa selama ini mungkin saya masih terlalu bersantai-santai ria, bahwa selama ini saya masih terlalu hanyut dengan nikmat sehat (yang justru merupakan ujian bagi saya), bahwa selama ini saya masih terlalu mudah putus asa.

Alhamdulillah, pagi ini saya mendapatkan pelajaran berharga di sebuah "sekolah gratis" dengan guru 4 orang siswa SMA yang mampu melihat dunia dengan "mata yang lain." Jazakumulloh khoiron katsiro (Hdyti).
Semangat…..!!!