Mencari Bahagia

Bersyukurlah inga dapat jodoh orang jauh. Selalu muncul kesan baik”, itu sms dari adikku suatu hari. Dia mengemukakan itu ketika kami berdiskusi tentang suatu hal yang menyangkut hubungan suami, orang tua, dan mertua.

Padahal konsekuensi bersuamikan orang jauh, maksudku orang yang bukan berasal dari daerah kelahiran yang sama, adalah semakin sering jarang pulang ke tanah kelahiran. Sebelum menikah, aku membiasakan satu tahun sekali pulang ke kota kelahiran. Setelah menikah, sepertinya agenda satu tahun sekali pulang ke daerah kelahiran mesti ditinjau ulang. Daftar pertimbangan akan menjadi semakin panjang. Bukan lagi hanya menyangkut masalah biaya, tapi juga harus bergantian dengan jadwal mudik ke rumah mertua.

Wah, enak yah punya kesempatan sekolah di Jepang”, itu komentar beberapa orang setelah pengumuman beasiswaku diterima oleh sebuah perusahaan minyak Jepang.

Padahal, aku dan suami jatuh bangun menata hati dan menyingkirkan sedih karena sudah terbayang jauhnya jarak yang memisahkan kami. Mungkin juga kami terlalu melankolis karena sejak menikah berada pada satu atap rumah adalah suatu kesempatan yang mahal untuk kami berdua.

****
Wah, enak yah bla…bla…bla…”, mungkin rangkaian kalimat itu sering kita dengar. Mungkin, hampir semua orang pernah menerima untaian kalimat tersebut dari orang lain, baik dari orang terdekat, kerabat, teman ataupun orang yang baru mengenal kita. Entah karena apa. Bisa karena momongan, suami yang romantis, istri yang cantik, anak-anak yang menggemaskan, studi dan nilai IPK yang baik, karier yang bagus, penghasilan yang lebih dari cukup, kesempatan sekolah di perguruan tinggi negeri atau bahkan universitas di luar negeri, dan masih banyak penyebab lainnya.

Padahal mungkin orang yang kita pandang enak dengan kondisinya, sedang berjuang menghadapi hal-hal yang ‘tidak enak’, yang tidak nampak oleh orang lain, termasuk kita. Dan dia sedang menata hati dengan ‘ketidakenakan’, jatuh bangun, dan bahkan mungkin meneteskan air mata dalam setiap pengharapannya pada Sang Khalik.

Dia mungkin memang tidak menampakkan dukanya untuk kita. Bahkan setiap memandangnya, kita hanya melihat seulas senyum bahagia dengan wajah yang bercahaya, sehingga kita menyimpulkan dia berbahagia dengan kondisinya.

***
Rumput di halaman rumah tetangga memang terlihat lebih hijau dibandingkan rumput di halaman rumah sendiri, kata sebuah pepatah bijak lama. Rasanya tepat pepatah bijak ini. Kadang, kita hanya memandang dari satu arah tentang sebuah kata: kebahagiaan, dan ini adalah milik orang lain. Sedangkan memandang diri sendiri, kita hanya menemukan wajah muram dan duka yang berlipat-lipat. Dan seribu alasan akhirnya mengemuka sehingga sampai pada sebuah kesimpulan: sepertinya aku adalah orang yang paling malang di dunia.

Padahal, jika kita berada pada posisi orang yang kita anggap bahagia dan beruntung, apakah kita sanggup memikul ‘ketidakenakan-ketidakenakan’ yang mengiringi dan mesti dilakoni untuk mencapai hal yang nampak di mata kita adalah sebuah bahagia? Juga apakah kita sanggup berjuang menata hati, berteman tangis, keringat, lelah dan penat? Rasanya tidak, karena Sang Khalik Maha Mengetahui bahwa bahagia kita adalah apa yang sudah menjadi milik kita, karena tentu Allah juga Maha Mengetahui kalau kita baru mampu memikul ‘ketidakenakan-ketidakenakan’ yang menjadi pengiring bahagia milik kita. Kita belum mempunyai bahagia seperti orang lain, karena di hadapan Sang Penguasa Kehidupan, tubuh, pundak, pikiran dan hati kita masih terlalu rapuh dan lemah untuk diletakkan ‘ketidakenakan-ketidakenakan’ yang mengiringi bahagia milik orang lain.

Mencari bahagia ternyata memang tidak jauh. Melihat ke dalam diri sendiri dengan sebuah syukur yang menggunung kepada Sang Pemberi Bahagia. Bahwa semua yang dianugerahkan Sang Khalik adalah bahagia milik kita, walaupun dengan compang-camping dan bergerigi di setiap sudut-sudutnya. Karena baru pada tahap inilah, tubuh, pundak, hati dan pikiran kita mampu memikul ‘ketidakenakan-ketidakenakan’ yang mengikuti bahagia milik kita.

Karena sebuah hal: setiap orang adalah berbeda dan unik dengan bahagia miliknya sendiri-sendiri. Tidak ada yang sama, bahkan untuk dua saudara kembar sekalipun. Jadi, yuk, kita belajar mencintai bahagia milik kita. Apapun itu. Suami atau istri yang fisiknya tidak cantik atau ganteng seperti artis papan atas dan juga tidak seromantis di film Romeo Juliet, mungkin. Penghasilan yang hanya cukup dalam hitungan seminggu, mungkin. Anak-anak dengan tangis yang hampir setiap hari menggema di setiap sudut rumah mungil kita, mungkin. Penat dan lelahnya pikiran bergulat dengan penelitian atau pekerjaan yang seakan tidak berujung, mungkin. Keterpisahan sementara dengan orang-orang yang kita sayangi, mungkin. Tempat kuliah di universitas swasta yang bahkan tidak terlalu kenal, mungkin. Yuk, kita belajar mencintai diri kita dengan bahagia kita sendiri. Sesederhana apapun milik kita.

@ winter, february 2009
Yang sedang belajar dengan bahagianya:)
ingafety.wordpress.com