Meneladani Sang Senyum

Setiap hari Selasa dan Jum’at pagi, sepulang mengantar anak-anak ke hoikuen, selalu saya jumpai mereka. Adalah seorang ibu dengan anak laki-laki remajanya. Berdiri erat bergandengan tangan di pojokan gang. Menunggu mobil jemputan. Senyum ceria, tertawa ditimpa cerita mereka yang saya tak paham. Hanya bisa terlihat dari gerakan bibir. Terasa aroma bahagia.

Episode selanjutnya adalah sebuah mobil terhenti di depan mereka. Sopir dan 1 orang lainnya keluar dari mobil, menjemput remaja itu. Menuntunnya dengan halus ke mobil, mengikuti irama berjalannya yang kadang tak teratur, bergoyang ke sana kemari. Mengatur letak duduk untuknya. Si remaja meletakkan kaban yang dibawanya. Melambaikan tangan dengan terpatah-patah pada ibunya yang masih menunggu dengan tersenyum. Si remaja tersenyum, barangkali senyuman yang tak utuh. Tapi itulah senyuman termanis yang diberikan kepada ibu, yang selalu tulus mencintainya. Tak bisa saya terjemahkan apa yang ada dihatinya. Tapi pastilah tentang rasa terimakasih tak terhingga kepada ibu yang selalu mendukungnya. Bahkan sampai mobil yang membawanya berlalu. Ibu melambaikan tangan.

Saya tidak tahu pasti kegiatan apa yang dilakukan si remaja. Yang saya tahu, pemerintah Jepang memang menyediakan fasilitas pendampingan untuk penyandang cacat. Mereka dididik, diberdayakan, ditangani kesehatannya. Dan si remaja adalah salah satu yang menerimanya.Menjadi cacat bukan hal yang mudah. Tapi setidaknya -di Jepang ini- bukanlah sesuatu yang mesti dihindari. Perhatian pemerintah, penghargaan dan pandangan masyarakat sungguh mengagumkan. Tak ada ejekan, tak ada pandangan iba. Hanya bantuan yang memang diperlukan, disediakan untuk mereka. Dan ini pastilah sangat membantu mengatasi rasa ‘tak enak hati’ si remaja dan keluarganya. Mereka sudah cukup sedih dengan keadaan ini. Janganlah lagi menambah kesedihan mereka dengan celaan dan ejekan. Sangat tidak manusiawi.

Maka kalaulah terlihat banyak ibu-ibu berjalan dengan anaknya yang cacat, orang tidak memandang mereka dengan iba. Anak-anak itu masih bisa tertawa. Ibu-ibu masih tetap tersenyum.

Hanya ibu istimewa yang mempunyai anak "istimewa" seperti si remaja. Butuh perjuangan besar merawat mereka, memahami apa yang ada dihatinya. Senyuman mereka, adalah teladan buat saya. Di tengah keterbatasan anaknya, selalu terselip cinta dan bahagia. Di tengah kerasnya hidup, masih banyak senyuman yang ada. Saya jadi malu. Dengan semua yang saya punya, anak-anak yang aktif, kehidupan yang baik, masih sering terlontar keluhan. Apalah artinya masalah yang saya hadapi dibandingkan dengan ibu si remaja.

Simpati saya kepada ibu-ibu istimewa lainnya. Terlebih yang ada di Indonesia. Yang masih sangat terbatas fasilitas dari pemerintah. Percalah ibu, tak akan sia-sia apa yang sudah ibu lakukan.Tak akan ada yang luput dari pandangan-Nya. Semoga diberi ketabahan, kesabaran. Peluk cinta saya untuk Ibu-ibu istimewa beserta anak-anak istimewa lainnya.