Mengenang Bahasa Cintamu, Ibu

Kemarin sore, tak sengaja terlintas di mataku sebuah kalimat „Alles Liebe zum Muttertag „ dalam sebuah jurnal iklan sebuah swalayan di Berlin. Ternyata kulihat tanggalan di kalender tanggal 11 Mei ditulis sebagai Muttertag. Banyak sekali bentuk hadiah yang terpampang dalam iklan tersebut yang ditujukan untuk merayakan hari tersebut.

Hmm…tiba-tiba saja pikiranku melayang pada sosok perempuan yang tegar namun lembut dan penuh kasih. Perempuan yang mengiringi nafas hidupku sejak kanak-kanak hingga dewasa. Perempuan anggun yang hingga detik ini kusebut ibu.

Sebuah penggalan dialog yang sampai kini masih kuingat dan seperti masih terngiang-ngiang dengan jelas di telingaku adalah ketika kami kehilangan cinta ayah untuk selamanya. Saat itu aku masih duduk di bangku kelas 3 SD. Begitu tenang beliau menyampaikan rasa duka itu pada kami.
„Anakku, kemari sayang, ibu mau ngasih tahu sesuatu…“sambil meraihku ke dalam pelukannya.

„Apa yang kamu inginkan dari ayah?“ tiba-tiba beliau bertanya.
Spontan kujawab, „aku ingin ayah bahagia“…
“Kamu tahu rahasianya agar ayahmu bahagia?“ beliau kembali bertanya.
Aku menggelengkan kepala…“apa rahasianya Bu?“…
„Ayahmu pasti akan bahagia sekali jika kamu dan saudara-saudaramu selalu berdoa saat ayahmu menjumpai Allah“. Ibu berhenti dan sejenak menunggu reaksiku…

Kenapa ayah menjumpai Allah?“tanyaku.
„Bukan hanya ayah yang akan menjumpai Allah, kita semua pasti akan menjumpainya. Tetapi, waktunya tidak bersamaan.. Pagi ini saatnya giliran ayah berangkat ke tempat Allah. Nah, agar ayah selamat sampai di tempat Allah, ayah memerlukan doa kalian“…urai ibu panjang lebar.
Indah sekali tutur kata ibu mengungkapkan duka lara ditinggal belahan jiwa tanpa membuat kami merasa berat melepas ayah.

Sejak itu, aku selalu melihat ibu rajin sekali shalat, di samping shalat wajib beliau pun selalu memunaikan shalat-shalat sunah. Sering aku terbangun setiap jam 3 malam karena gemericik air saat beliau mengambil wudhu. Suatu waktu kutanyakan pada beliau tentang kebiasaannya itu, lalu dengan tenang beliau menjelaskan padaku bahwa semua yang ibu lakukan itu agar kami dikasihi Allah termasuk ayah. Sejak itu aku pun membiasakan diri bangun dan mengikuti apa yang ibu kerjakan.

Di saat aku menginjak usia baligh dan kebingungan dengan apa yang terjadi padaku saat itu, ibu malah dengan sumringah mengucapkan selamat bahwa aku telah menjadi remaja putri. Seminggu kemudian Ibu memberiku hadiah al-qur’an dan sebuah mukena hasil karya tangannya sendiri, di ujung mukena tersebut tersulam namaku. Aku terharu apalagi saat beliau memberiku wejangan tentang kewajiban shalat dan menjaga ahlak. Syukurku tak terkira menerima bahasa cintamu, ibu.

Tidak hanya kami yang merasakan hangatnya cinta ibu, tetangga dan masyarakat umum pun merasakannya. Sejak ayah tiada, seluruh hasil kebun warisan ayah yang ditanami berbagai pohon buah-buahan seperti kedondong, mangga, jeruk, nanas, alpuket dan lain-lain, ibu bagi-bagikan pada tetangga. Padahal kalau ibu mau, bisa saja dijual untuk membantu mencukupi kebutuhan hidup kami. Tetapi ternyata ibu lebih senang membagikannya, aku dan saudara-saudaraku sering mendapat tugas mengantarkan hasil kebun itu hingga tetangga yang rumahnya paling jauh dari rumah kami pun dapat merasakannya.

Pernah suatu hari saat berlibur ke rumah ibu di Garut, ibu meminta maaf padaku karena uang yang kuberikan pada beliau sebulan sebelumnya tidak dibelikan seperti harapanku. Ya, sejak mulai belajar mengenyam dunia kerja aku punya kebiasaan baru mengumpulkan sebagian honor gajiku yang tidak seberapa untuk kubelikan sesuatu untuk ponakan-ponakanku juga tentunya buat ibu, sekalipun beliau tak pernah meminta bahkan sering menolak tapi aku selalu memaksa. Hingga waktu itu aku memberi ibu sejumlah uang dengan harapan ibu membeli sesuatu untuk keperluan pribadi ibu.

Tapi ternyata sungguh aku terkejut sekaligus terharu karena uang tersebut ibu gunakan untuk membuat trotoar agar anak-anak yang sekolah di SMA dekat rumah maupun orang-orang yang sering berlalu lalang di depan rumah kami bisa nyaman berjalan, demikian alasan ibu. Subhanallah, begitu mulia hatimu, ibu. Hidupmu tetap dalam kesahajaan namun jiwamu sangat kaya.

Kebiasaan lain yang hingga kini ibu geluti sejak ayah tiada adalah aktif dalam kegiatan menolong kaum duafa. Ibu bekerja tanpa pamrih mendata masyarakat miskin, tiap malam mengevaluasi data yang diperoleh kemudian pada hari-hari tertentu mengunjunginya hingga ke pelosok-pelosok desa dengan berjalan kaki. Pernah suatu hari aku mengikuti kegiatan ibu, dan berikutnya aku tak pernah mau ikut lagi karena kelelahan. Segala aktivitas sukarelanya membuahkan penghargaan. Ibu diundang ke Bogor untuk menghadiri acara penyematan lambang penghormatan atas usaha beliau tersebut. Aku tahu ibu tak menginginkan semua itu, karena pernah ibu menjelaskan padaku saat aku protes atas sedikitnya waktu ibu untuk kami, bahwa semua yang ibu lakukan adalah untuk memenuhi wasiat ayah yang meminta ibu mengabdikan diri pada masyarakat tanpa pamrih.

Saat itu ayah menyitir sebuah hadist rasul tentang sebaik-baik orang adalah yang paling memberikan manfaat untuk sekitarnya. Ibu berjanji memenuhi permintaan ayah tersebut karena ibu ingin mendapat ridha Allah menjadi isteri yang shalihah. Lagi-lagi aku dibuat kagum sekaligus malu pada dirisendiri yang belum bisa berbuat banyak untuk umat.

Kembali terlintas kenangan saat aku baru saja melahirkan anak pertama sementara suami sedang di negeri orang. Entah kenapa saat itu aku ingin mendapat perhatian lebih dari ibu, namun ternyata ibu lebih mendahulukan seorang janda sangat miskin di kampungku yang sedang hamil 9 bulan dan saat itu memerlukan pertolongan karena terjatuh. Ibu segera menolong melarikan janda tersebut ke rumah sakit dan mengurus seluruh keperluannya sekalipun akhirnya bayi janda tersebut tak bisa di selamatkan. Aku yang saat itu sempat kecewa menjadi malu dan menyesal atas kelakukanku setelah mendengar penjelasan ibu mengapa beliau mendahulukan janda tersebut.

Oh ibu…bahasa cintamu tak kan pernah sanggup kubalas. Teringat pada sebuah kisah saat Rasulullah SAW lagi thawaf dan bertemu dengan seorang anak muda yang pundaknya lecet-lecet. Setelah selesai thawaf Rasulullah SAW bertanya kepada anak muda itu, "Kenapa pundakmu itu?" Jawab anak muda itu, "Ya Rasulullah, saya dari Yaman, saya mempunyai seorang ibu yang sudah udzur. Saya sangat mencintai dia dan saya tidak pernah melepaskan dia. Saya melepaskan ibu saya hanya ketika buang hajat, ketika sholat, atau ketika istirahat, selain itu sisanya saya selalu menggendongnya."

Lalu anak muda itu bertanya, " Ya Rasulullah, apakah aku sudah termasuk ke dalam orang yang sudah berbakti kepada orang tua?" Nabi SAW sambil memeluk anak muda itu dan mengatakan, "Sungguh Allah ridho kepadamu, kamu anak yang soleh, anak yang berbakti, tapi anakku ketahuilah, cinta orangtuamu tidak akan terbalaskan olehmu."