Meraih Keutamaan Membaca Qur’an

Ahad pagi, saat mentari belum beranjak dari peraduannya, aku berjalan menuju sebuah kawasan Islamic centre di wilayah Pondok Gede. Tidak terlihat lalu lalang orang bepergian ke kantor atau anak-anak ke sekolah. Tetapi banyak muslimah datang berduyun-duyun. Ada yang berjalan kaki setelah turun dari angkot, ada yang berkendara sepeda motor, dan tidak sedikit pula yang mengendarai mobil. Suasananya mirip kawasan pondok pesantren putri. Semuanya bergerak menuju tempat yang sama, yaitu majelis di mana diadakan pengajaran memperbaiki bacaan al-Qur’an.

Saat kuberjalan, kudengar dari sebuah rumah, suara para muslimah ramai melafalkan Qur’an. Kemudian kuayunkan beberapa langkah, dari sudut rumah lainnya terdengar suara para muslimah yang juga ramai melantunkan Qur’an. Saat aku berada di pusat kawasan, kudengar di sekelilingku suara-suara Qur’an yang bergemuruh. Kuamati, mereka ada yang berlatih melafalkan huruf atau kata dari Qur’an, ada yang lancar, ada yang yang terbata-bata, ada yang melancarkan bacaan Qur’an, dan ada yang mengulang-ulang hafalan. Sungguh kurasakan lantunan Qur’an yang bergema dari berbagai sudut rumah itu, laksana melodi yang berpadu membentuk harmoni yang menyejukkan kalbu dan menggetarkan jiwa. Kawasan tersebut layaknya lautan lebah yang mendengungkan kalimat tasbih.

Itulah gambaran semaraknya para muslimah belajar membaca al-Qur’an. Aku mengagumi langkah-langkah muslimah menuju majelis belajar baca al-Qur’an itu. Mereka belajar dari berbagai penjuru daerah di Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi demi bisa membaca al-Qur’an. Mereka memilih hari Ahad, karena hari itulah mereka bisa meluangkan waktu dan tidak memiliki banyak kesibukan. Luar biasa kemauan mereka!.

Gelora muslimah yang ingin bisa membaca al-Quran, menjadikan muslimah yang datang pada hari Ahad sangat semarak. Lembaga tahsin memfungsikan rumah penduduk sekitar sebagai kelas. Syukur, pemilik rumah pun menyambut dengan antusias. Mereka berharap kebaikan dan keberkahan semata karena rumahnya digunakan untuk mempelajari al-Quran.

***

Ya, kesadaran akan pentingnya membaca Qur’an lah yang meringankan langkah-langkah mereka menuju tempat yang jauh dengan mengorbankan semua aktivitas lainnya. Mereka merasa perlu belajar membaca al-Qur’an karena di balik membaca al-Qur’an terkandung keutamaan-keutamaan yang sangat besar. Rasulullah bersabda: Membaca satu huruf dari al-Qur’an berbalas pahala satu amal kebajikan, dan pahala satu amal kebajikan dilipatkan sepuluh kali. Alif lam mim bukanlah satu huruf, tetapi alif satu huruf, lam satu huruf, dan mim satu huruf. Di Hadits lain dikatakan bahwa orang yang pandai membaca al-Qur’an maka ia bersama malaikat yang mulia lagi suci, sedangkan mereka yang terbata-bata membacanya, memperoleh dua pahala. Dan hadits yang cukup menggugah mereka adalah al-Qur’an pada hari kiamat akan datang memberi syafaat kepada para pembacanya.

Motivasi belajar mereka makin menggebu menjelang Ramadhan ini. Terbayang alangkah bahagianya orang yang pandai membaca al-Qur’an. Setiap hari di bulan Ramadhan secara rata-rata bisa membaca membaca satu hingga dua juz al-Qur’an bahkan bisa jadi lebih. Satu hurufnya saja berbalas sepuluh kebaikan. Di bulan Ramadhan tentu satu hurufnya yang dibacanya berpuluh-puluh kali lipat kebaikannya. Subhanallah.

Siapa yang tidak bergegas meraih kebaikan Qur’an, sesungguhnya dia orang yang merugi.

***

Aku heran, masih ada aja orang yang enggan belajar membaca al-Qur’an.

Aku bertetangga dengan seorang ibu. Ibu itu cukup dekat dengan kami. Dia sering datang ke rumah membantu pekerjaan tertentu. Kadang dipanggil untuk mengurut isteri atau bayiku. Jika ada hajat apapun ia kami libatkan. Kami selalu memberinya sejumlah uang semata-mata ingin meringankan dia yang dihimpit kesusahan. Kadang jika keperluannya besar, ia datang meminjam uang dengan tempo pembayaran yang tidak kami atur.

Sebagai orang yang sudah dikenal, isteriku coba memasukan nilai-nilai Islam ke dalam dirinya. Tak lama ia pun menggenakan jilbab. Kata-katanya jadi terjaga. Dan sholatnya pun jadi rajin.

Anak-anaknya coba kami bantu. Baik uang sekolah bulanan, atau dicarikan pekerjaan. Singkat cerita, dua anaknya kini sudah bekerja. Yang tertua sudah menikah. Dapurnya akan ringan karena dibantu oleh anak-anaknya yang sudah berpenghasilan. Dia tidak lagi banyak kekurangan uang seperti dulu.

Seiring dengan berkurangnya kesusahan, anehnya ia mulai jauh dari nilai-nilai Islam. Ia mulai berpandangan sinis. Kini ia mulai menanggalkan jilbabnya. Bujukan-bujukan isteriku untuk istiqomah sudah tidak digubris lagi. Kini saat isteriku membentuk majelis taklim, ia tidak mau mengikuti. Padahal majelis taklim itu bebas dari muatan politik yang ia tuduhkan. Isteriku semata-mata mengajak mereka untuk bisa membaca al-Quran dan sedikit mengenal Islam.

Sungguh disayangkan, orang-orang baru banyak mendapat hidayah dari perantaraan isteriku, sedangkan dia yang sudah dikenal lama makin menjauh. Kini aku menyadari bahwa apa yang semua kebaikan yang dilakukannya dulu adalah tidak tulus. Didorong oleh suatu motif ekonomi belaka.

Sebagaimana kata-kata bijak, barang siapa yang tidak mau bersama kebaikan maka ia bersama dengan kemaksiyatan. Maka ia pun makin jauh dengan kelalaiannya. Keterjauhan itu selaras dengan keengganannya untuk belajar al-Qur’an.

Waallahu’alam