Metologi Kejujuran Dari Seorang Anak

Alkisah ditemukan sebuah buah nangka yang nampak dari luar seakan-akan mengiurkan tapi ketika dibuka dan dicicipi ternyata belum matang. Saat itu pemiliknya sedang berpuasa, lalu ia memanggil anak balitanya serta teman sebaya yang berumur 5 tahun untuk mencicipi. Pertama anaknya diminta mencicipi buah tersebut, anaknya mengatakan enak. Tapi ketika dicoba dengan teman sebaya justru sebaliknya mengatakan tidak enak lalu tanpa disadari anaknya berubah pikiran dan mengatakan hal yang sama dengan teman sebaya, tidak enak.

Namun jika dua orang dewasa diminta mencici nangka tersebut. Orang dewasa pertama mencicipi, dalam waktu singkat, ia akan mengatakan tidak enak lalu orang dewasa berikutnya mencicipi ia pun mengatakan hal yang sama. Tapi sebenarnya buah nangka tersebut ternyata dapat terasa lezat dan nikmat jika diolah menjadi es buah. Stop !! bukan itu sebenarnya yang kita perkarakan.

Dilihat dari kisah ini, saya mencoba mengangkat sebuah persepesi kejujuran. Banyak orang mengatakan persepsi kejujuran dapat dilihat dari tolok ukur keimanan seseorang. Seorang anak balita (belum beranjak remaja) tingkat kejujurannya masih terlihat murni. Tapi orang dewasa, tingkat kejujuran mudah sekali tergoyah. Bisa saja ia berkata hari ini ok, berapa menit kemudian lain lagi. Secara harfiah kita sudah dibina sejak kecil untuk berkata jujur. Tapi terkadang kejujuran kita dipelintir oleh pihak wewenang yang mengharuskan untuk selalu menutup aib sebuah lembaga/ormas.

Study kasus kejujuran misalnya terjadi dibeberapa media beberapa bulan lalu. Diceritakan kasus seorang mahasiswa yang berdemo BBM, meninggal di RS dibilangan Jakarta, akibat penyakit yang belum jelas. Berita sengaja disimpang siurkan. Ada yang mengatakan hasil visum geger otak akibat pukulan benda tumpul oleh oknum polisi, ada juga yang mengatakan karena mengidap penyakit paru-paru sejak kecil.

Sampai kini tak ada kejelasan yang pasti. Terlebih suasana makin mencekam tak kalah aparat sempat mengatakan ia mengidap penyakit HIV atau kasus lainnya, tentang salah tangkap, pembunuh Asrori. Tersangka sudah dikurang dan disiksa, lalu dibebaskan. Dimana letak kejujuran!! Jika semua orang merasa dirinya benar. Ia lupa, bahwa kebenaran yang hakiki milik Allah Saw. Selagi kita berdiri dalam batas kejujuran, ada apa dibalik cerita tersebut? Sebuah konspirasi, kepentingan politik atau citra!? Sekarang bagaimana kita sebagai orang dewasa belajar metologi kejujuran dari sang anak. Meski besarnya seorang anak tergantung pada lingkungan, namun memori penuh masih banyak tersisa untuk menanam kebaikan.

Ramadhan lagi lagi Ramadhan. Ibadah yang penuh keberkahan sudah kita tinggalkan. Tapi masihkah saja mulut enggan untuk berkata benar dan salah? Bertahun-tahun kita menjalankan ibadah Ramadhan, namun seakan-akan ibadah yang dijalankan terasa jauh dari kejujuran. Bukankah sebenarnya pintu surga terbuka bagi kita?