Hubungan Gigi Dengan Pola Makan

pameran makananSiapa yang menyangka diusianya yang baru menginjak 37 tahun, Pak Joko sudah divonis mengidap penyakit jantung. Usia yang masih tergolong muda, menurutku. Rasa sedih bercampur takut tak urung menyergap hatinya dan tentu saja perasaan istri, anak dan keluarga besarnya setelah mendengar pernyataan dokter tentang penyakit berbahaya dan mematikan yang dideritanya itu.

Sebab-akibat, karena ada sebab pasti ada akibatnya. Saling berhubungan maksudnya. Ya, penyakit jantung yang dideritanya adalah akibat yang bermula dari pola makan Pak Joko yang boleh dibilang berlebihan atau tak seimbang alias lebay.

Walapun ia rajin berolah raga Pak Joko seakan tak kuasa menahan nafsu makannya. Ia gemar sekali makan goreng-gorengan dan daging-dagingan. Hampir semua jenis gorengan disukainya. Mulai dari yang murah meriah seperti gorengan yang dijajakan di pinggir jalan sampai gorengan yang harganya boleh dibilang mahal seperti ayam goreng dan daging empal goreng.

Tak hanya itu, Pak Joko juga gemar sekali menyantap berbagai jenis olahan daging kambing. Setiap tiga hari sekali sate kambing selalu terhidang di atas meja makannya. Selain itu gule kambing yang mangkal di perempatan jalan dekat rumahnya, menjadi menu andalan di setiap hari Minggu. Belum lagi soto jeroan kambing yang sedap dimakan panas-panas saat udara dingin. Pak Joko mampu melahap habis 2 mangkok soto bila hujan datang mengguyur kota Jakarta. Nikmat sekali rasanya.

Nah, semua itu adalah kenikmatan makan yang diberikan Alloh kepada Pak Joko. Sebetulnya semua makanan tadi sah-sah dan oke-oke saja bagi Pak Joko asalkan ia tidak berlebihan dan dapat mengimbanginya dengan rajin makan sayur dan buah-buahan. Sayang seribu sayang, makanan yang kaya serat seperti sayuran dan buah-buahan tak pernah disentuhnya sejak kanak-kanak. Gak doyan, katanya.

Lain lagi dengan cerita Tuti, remaja usia 18 tahun yang wajahnya penuh jerawat dan sering mengalami susah buang air besar. Berbagai kosmetik telah dicobanya untuk menghilangkan jerawat yang tumbuh subur seolah-olah tak menyisakan tempat lagi di wajahnya. Akibatnya ia jadi kurang percaya diri dan malu bergaul dengan teman-teman abg lainnya.

Masalah jerawat belum beres, masalah lain muncul bersamaan. Tuti sering sekali mengalami kesulitan buang air besar alias sembelit. Perutnya sering terasa kembung tidak karuan. Menurut kesehatan, sisa-sisa makanan seharusnya dikeluarkan minimal sehari sekali. Tapi tidak demikian bagi Tuti, racun dalam perutnya itu baru bisa dibuang satu minggu sekali. Tuti sering merasa tersiksa jadinya.

Sudah berkali-kali orang tuanya memberikan nasehat agar ia rajin mengkonsumsi buah dan sayuran. Namun nasehat ibu dan ayah seakan dianggapnya angin lalu. Ia lebih memilih makanan yang melulu berasal dari ayam atau daging. Buat Tuti, ayam dan daging adalah makanan elit karena harganya mahal dan hanya orang-orang berduit saja yang bisa membelinya. Sayuran dan buah-buahan tak sudi dimakannya karena dianggap sebagai makanan rendahan untuk orang-orang kelas bawah.

Berbeda tapi sama. Itulah sebaris kalimat yang cocok buat Pak Joko dan Tuti, dan mungkin juga bagi kita yang merasa punya kegemaran yang sama dengan Pak Joko dan Tuti. Apa yang berbeda dan apa yang sama? Mari kita tilik bersama.

Berbeda, jika dilihat dari jenis penyakitnya atau akibat yang diterimanya. Penyakit Pak Joko berbeda dengan penyakit Tuti. Sama, jika dilihat dari sebab muasalnya. Maksudnya penyakit yang muncul dan diderita oleh Pak Joko dan Tuti kemungkinan berawal dari sebab atau hal yang sama yaitu pola makan yang tidak seimbang.

Sejak SD sudah sering kita dengar guru menerangkan tentang pentingnya pola makan 4 sehat 5 sempurna. Maksudnya yaitu tubuh kita memerlukan zat-zat penting yang terdiri dari karbohidrat, protein, vitamin dan mineral. Tidak hanya itu, tubuh juga memerlukan susu sebagai penyempurna unsur dalam tubuh agar selalu sehat. Dan ternyata, walaupun asupan bahan-bahan tadi sudah kita penuhi, namun takaran dari masing-masing bagian tersebut juga harus diperhatikan dengan seksama agar metabolisme menjadi seimbang.

Seimbang, betapa pentingnya arti sebuah kata seimbang. Tidak lebih dan tidak kurang. Semuanya pas. Bukankah jasmani dan ruhani kita juga harus seimbang? Bukankah hablumminalloh dan habluminannas juga harus seimbang? Bukankah kita juga harus seimbang dalam membelanjakan uang kita, tidak boleh boros dan tidak boleh pelit atau kikir?

Perhatikanlah bagaimana Alloh Sang Kholik menciptakan alam ini dengan penuh keseimbangan. Lihatlah apa yang terjadi jika manusia sebagai kholifah tidak bisa menjaga keseimbangan bumi yang diamanatkan kepada kita dengan baik!

Bencana alam yang kita ditemui di mana-mana akhir-akhir ini, tak pelak lagi karena keseimbangan alam yang sudah terganggu. Penebangan hutan yang berlebihan karena nafsu serakah manusia mengakibatkan tanah longsor dan banjir menerjang. Akhirnya kita sendiri yang menuai kesengsaraan.

Serangan ulat bulu di berbagai daerah di Indonesia, pun, boleh jadi akibat terganggunya keseimbangan alam. Rantai makanan terputus akibat ulah kita sendiri, maka akhirnya kita jualah yang diganggu.

Dalam QS Albaqarah [2] ayat 60 Alloh berfirman : “Makan dan minumlah rejeki (yang diberikan) Alloh, dan janganlah kamu berkeliaran di muka bumi dengan berbuat kerusakan”.

Sebetulnya tak perlu jauh-jauh menengok kepada hal-hal besar yang terjadi di luar kita. Jika dilihat dalam diri kita sendiri, Alloh telah memberikan petunjuk kepada kita makhluk ciptaannya yang paling mulia untuk selalu menggunakan akal kita. Tak ada ciptaan-Nya yang sia-sia seperti dalam kalam Ilahi QS Ali Imran [3] ayat 191 : “…….Ya Tuhan Kami, tidaklah Engkau menciptakan semua ini sia-sia; Maha Suci Engkau, lindungilah kami dari azab neraka.”

Coba kita perhatikan perbedaan gigi manusia dengan gigi hewan. Hewan-hewan pemakan rumput seperti kerbau, kambing, dan sapi hanya memiliki gigi jenis geraham. Mereka tawadhu’ kepada penciptanya. Mereka hanya dan selalu memakan rumput atau tumbuh-tumbuhan selama hidupnya. Tak pernah terbersit untuk makan daging atau makanan jenis lainnya. Hasilnya? Tentu saja hewan-hewan ini selalu terlihat sehat wal’afiat karena mereka memakan makanan yang sesuai dengan kodratnya.

Lain lagi dengan harimau, macan, singa atau serigala yang mempunyai gigi taring yang besar ukurannya, panjang dan tajam. Nah, sesuai kodratnya, maka hewan-hewan ini memang ditakdirkan untuk selalu memakan daging-dagingan. Mereka tak akan mau memakan rumput-rumputan walaupun diberi kandang yang terbuat dari emas. Dan hebatnya, singa-singa atau macan dan sejenisnya itu tidak pernah terkena penyakit jantung atau kolesterol walaupun selalu memakan daging! Ya, lagi-lagi itu karena mereka tawadhu’ kepada penciptanya.

Sungguh bahagia bagi kita manusia yang diciptakan Alloh dengan susunan gigi yang lengkap. Tak hanya gigi seri, kita juga punya geraham dan taring seperti kedua jenis binatang tadi. Berarti kita boleh dan bisa memakan dua jenis makanan tersebut yaitu dari bahan nabati(tumbuhan) dan hewani(daging-dagingan). Namun jangan lupa, Alloh memberikan kita akal yang membuat kita berbeda dengan hewan-hewan tadi.

Coba cermati gigi kita yang berjumlah 32. Jika kita perhatikan dengan seksama, jumlah gigi taring kita ukurannya kecil dan lebih sedikit jumlahnya dibandingkan dengan gigi seri, apalagi dengan gigi geraham. Jumlah gigi taring kita ada 4, gigi seri 8 dan sisanya (20) adalah gigi geraham. Apa maksudnya?

Kalo kita mau jujur dan menggunakan akal kita untuk berpikir, jumlah gigi menunjukkan porsi makanan kita. Ternyata gigi taring yang jumlahnya sedikit dan kecil memberikan isyarat kepada kita bahwa porsi makanan daging urutannya harus paling kecil, sedangkan sayuran dan buah-buahan justru menduduki porsi yang paling besar. Itulah salah salah petunjuk dari Alloh jika kita ingin selalu sehat.

Namun lagi-lagi hawa nafsu selalu ikut berperan. Karena sulit mengontrol nafsu makan kita, terkadang kita justru menempatkan porsi yang terbalik yang menyalahi kodrat kita seperti yang dilakukan Pak Joko dan Tuti. Alhasil, berbagai penyakit datang menyerang yang berasal dari makanan yang kita pilih sendiri yang jelas-jelas melampaui batas. Jadi, salah siapa jika kita sakit? Sudahkah kita tawadhu’?

“Makan dan minumlah, dan janganlah berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan.” (Q.S. Al-A’raf, 7 : 31)

Semua orang pasti pernah sakit, tetapi semua orang pasti lebih memilih untuk tidak menjadi sakit. Sungguh tidak enak kan rasanya jika kita menderita sakit? Pasti kita berusaha untuk segera sembuh dengan berbagai cara pengobatan. Sebuah pepatah mengatakan “mencegah tentu lebih baik daripada mengobati”. Nah, kalau begitu… yuk! kita jaga nikmat sehat yang tiada terkira ini dengan tawadhu’ kepada Rabbul ‘Alamin dengan mengatur pola makan kita, agar kita dapat berkarya serta beramal sholeh lebih banyak lagi!

Wallohua’lam bishshowaab.
(mkd/sukabumi/17.04.2011)