Kali Ini, Setelah Bangkok Kelabu

Bismillah,

Hari Senin, dua hari sebelum Bangkok menjadi kelabu, hatiku tak karuan rasanya. Ini adalah akumulasi dari rasa ketakutan dan kerisauan yang aku alami selama dua bulan lamanya. Kami tinggal sangat dekat dengan pangkalan kaos merah dan termasuk dalam wilayah zona berbahaya.

Beberapa hari sebelumnya kami tak dapat tidur dengan nyenyak. Bagaimana tidak, di malam hari kami kerap mendengar dengan jelas bunyi pistol berdar-der-dor serta beberapa granat diledakkan di sekitar tempat tinggal kami.

Beberapa tempat sudah diserang oleh pihak militer Thailand untuk membubarkan secara paksa kelompok kaos merah yang mangkal di pusat bisnis kota Bangkok. Beberapa toko sudah banyak yang tutup. Tak ada lagi orang yang berani berjualan. Kami takut keluar rumah. Persediaan makanan semakin menipis. Belum lagi isu air dan listrik yang akan dipadamkan.

Tanpa pikir panjang, aku langsung mengikuti nasehat suami untuk mengepak baju-baju kami ke dalam koper dan membawa dokumen-dokumen penting. Yang ada dalam benakku, kami harus segera keluar dari sini karena kami khawatir dengan perkembangan psikologis anak-anak.

Entahlah kami belum tahu akan pergi ke mana. Pikiranku sudah menerawang jauh, aku ingin segera terbang ke Indonesia, pulang. Tiket yang sudah ada di tangan menjadi andalanku.

Walaupun tanggalnya masih berlaku sebulan lagi namun setidaknya dapat sedikit menenangkan hatiku yang sedang gelisah. Orang tua, keluarga, para sahabat dan teman tak henti-henti menanyakan keadaan kami di sini.

Sambil menunggu mobilku datang dari tempat parkir, aku duduk di lantai lobby dengan tiga koper besar di depan mata. Jika memang kami harus pindah ke Indonesia lebih awal, sedih dan belum siap rasanya meninggalkan negeri gajah putih dengan akhir yang seperti ini. Rumah dalam keadaan berantakan dan masih banyak pekerjaan yang belum sempat aku selesaikan. Semua terasa tergesa-gesa dan menegangkan.

Kami bergerak menuju KBRI (Kedutaan Besar Republik Indonesia) untuk meminta bantuan kendaraan mengantarkan kami meninggalkan daerah ini. Dengan plat CD (corps diplomate) kami berasumsi bahwa mobil KBRI lebih leluasa untuk bergerak ke sana kemari dibandingkan mobil kami yang berplat lokal (Thailand) dan merah pula warnanya!

Jalan Petchburi depan KBRI yang biasanya ramai, kini sunyi senyap dan hanya ada sekelompok tentara yang berjaga-jaga. Di sisi kirinya dipasang kawat berduri oleh pihak tentara yang semakin merapatkan barisannya. Sedangkan di sisi kanan dibuat benteng dari tumpukan ban-ban mobil dan bambu runcing oleh pihak kelompok merah.

Alhamdulillah tiga keluarga (termasuk aku) dapat mengungsi di rumah atase pertahanan RI di lokasi yang aman dan jauh dari area konflik. Inilah pengalaman pertamaku mengungsi di negeri orang di tengah perang politik antar saudara.

Setiap saat kami memantau berita melalui televisi. Hari Rabu kucoba menghubungi teman-teman dan sahabat-sahabatku yang masih terjebak di area konflik. Maklumlah KBRI berlokasi di daerah ini sehingga banyak warga Indonesia yang tinggal di sekitarnya. Mereka sudah benar-benar tidak boleh keluar rumah. Mereka bercerita sejak pukul 6 pagi suara tembakan sudah terdengar di sana-sini. Keadaan di negeri Siam menjadi semakin panas dan memburuk.

“Dan Kami pasti akan menguji kamu dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. Dan sampaikanlah kabar gembira kepada orang-orang yang sabar, (yaitu) orang-orang yang apabila ditimpa musibah, mereka berkata “innaa lillaahi wa innaa ilaihi raaji’uun” (sesungguhnya kami milik ALLOH dan kepada-NYA lah kami kembali). QS Al-Baqarah [2] : 155-156.”

Untunglah pukul 11 siang para pemimpin kelompok merah menyerahkan diri ke pihak kepolisian untuk menghindari bertambahnya korban yang jatuh dari pihak mereka. Massa merah kecewa, mereka menjarah dan membakar beberapa gedung penting. Jadilah hari itu, Rabu 19 Mei 2010, Bangkok kelabu. Asap hitam membumbung tinggi di 27 titik di kota Bangkok. Jam malam diberlakukan, sunyi mencekam di seluruh penjuru kota. Tak ada orang yang berani keluar rumah. Bahkan untuk sekedar merokok keluar rumah pun nyawa bisa melayang.

Segera esok harinya pemerintah Thailand mengerahkan petugas kebersihan untuk membuang sampah-sampah dan puing-puing sisa pembakaran. Mobil-mobil pemadam kebakaran segera meluncur untuk memadamkan api di berbagai titik dan menyiram jalanan yang kotor. Ratusan sukarelawan bergabung untuk membersihkan kota.

Mulai dari pelajar sekolah, karyawan kantor, ibu rumah tangga, bahkan sampai artis-artis cantik dan terkenal pun turut menyapu jalanan dan membersihkan dinding dan tiang-tiang jalan. Jalanan yang rusak akibat pembakaran tumbukan ban-ban mobil segera diperbaiki kembali. Kerja yang cepat dan rapi.

Ada pepatah mengatakan ‘membangun memerlukan masa, merusak sekejap masa’. Bangkok kelabu meninggalkan duka bagi rakyat Thailand. Banyak orang kehilangan mata pencahariannya. Korban yang meninggal lebih dari 70 orang. Gedung Central World yang merupakan mall kedua terbesar di Asia Tenggara, setengahnya hangus dimakan api.

Entah berapa lama waktu yang diperlukan untuk renovasi. Supermarket BigC tempat aku biasa berbelanja karena komplit dan harganya miring, ikut menjadi korban penjarahan dan pembakaran.

Sampai hari ini jam malam masih diberlakukan oleh pemerintah Thailand namun durasinya menjadi lebih singkat. Alhamdulillah kami sudah tiba di apartemen tiga hari setelah perang saudara usai. Keadaan semakin membaik. Anak-anak gembira mulai sekolah lagi, berjumpa dan bermain lagi dengan teman-temannya. Aku pun mulai beraktivitas seperti biasa lagi.

Tak seperti biasanya, kali ini kusambut dengan senyum saat melihat jalanan di depan apartemenku kembali macet. Kali ini kusapa hangat bunyi-bunyian nyaring klakson mobil dan suara bising pembangunan gedung-gedung di sekitarku. Ya, itu pertanda roda kehidupan sudah kembali berjalan. Itu pertanda aktivitas sehari-hari sudah kembali normal. Itu pertanda kondisi sudah kembali aman.

Aku rindu saat seperti ini, alhamdulillah tak kusangka akhirnya aku bisa bersua lagi dengan para penjaja makanan di pinggir jalan yang tak seorangpun aku kenal. Akhirnya aku bisa berjumpa lagi dengan teman-teman dan sahabat-sahabatku sesama warga Indonesia setelah peristiwa mengguncangkan Rabu silam.

Aku sangat bersyukur semua warga Indonesia selamat dan sehat wal’afiat termasuk para wartawan dari tvone yang sangat berani meliput di tengah peperangan. Bahkan tak jarang mereka melihat orang tertembak peluru termasuk kawan mereka sendiri sesama pers dari benua lain. Pasti ada hikmah di balik setiap kejadian. Semoga kami dapat mengambil hikmah dari kejadian ini. Tentunya Bangkok kelabu telah menjadi bagian dari pengalaman hidup kami yang tak terlupakan.

Wallohu’alam bishshowaab
Mkd/bkk/25.05.2010