Menjemput Rizki-Mu dengan SkenarioNya yang Sempurna

Sebagai seorang pegawai negeri, dengan gaji yang sudah tertakar, kadang aku merasa keyakinanku bahwa Allah itu Rozzak jadi agak terkontaminasi. Rasanya, berbeda halnya jika jadi pedagang yang hari demi hari dinanti dengan debar-debar, apakah dagangannya laku atau tidak, sehingga rezeki yang mengalir dari Allah terasa begitu indahnya .

Juga lain halnya saat aku jadi mahasiswa dulu, yang harus menghidupi dirinya sendiri di ibukota yang keras. Rasanya betul-betul konsep tawakkal pada ‘jatah’ yang Allah berikan itu terasa hari demi hari. Tetapi, subhanallah.. dalam kurun waktu itu hampir aku tidak pernah berhutang, meski jelas tidak bisa dibilang hidup berlebih, alias sangat pas-pasan 🙂

Sekelumit kisah tentang betapa Allah selalu mencukupi hamba-Nya adalah saat semester akhir kuliahku. Kala itu adalah masa2 dimana teman2 putriku banyak yang mulai melepas masa lajangnya. Aku, yang waktu itu menikah belakangan (belum laku2, hehe), tentu sangat menyempatkan diri untuk datang ke walimah teman2 ini. Nah, namanya juga sekolah kedinasan dengan mahasiswa dari seluruh pelosok tanah air, tempat walimah tentu di kampung asal mereka. Jadilah aku jalan-jalan ke sana kemari, dengan biaya sendiri.

Padahal, seringkali undangan walimah itu datang justru saat kantongku sedang benar-benar bokek, uang yang ada hanya cukup untuk ongkos transport PP saja. Tak bersisa lagi untuk ongkos hidup selanjutnya di Jakarta. Tapi, bidznil_Lah, biasanya aku nekat berangkat. Selain menyadari bahwa menghadiri undangan hukumnya wajib, juga karena aku berpikir: "Kapan lagi aku akan bertemu sahabatku ini, setelah nikah pasti sudah diboyong suaminya jauh ke luar kota".

Dan.. Subhanallah, heran sungguh heran… setelah pulang ke Jakarta, adaaaa saja rezeki itu datang, dari arah yang tak kusangka. Benarlah kata Nabi Saw, bahwa silaturrahim itu antara lain akan membuka pintu rezeki 🙂

Kisah lain kudapat dari bapakku. Sebagai pegawai negeri dengan 6 anak, bapak dan ibu merasa gaji PNS tak akan cukup untuk membiayai kami. Jadilah mereka berdagang kain batik pada hari Minggu, biasanya 2 pekan sekali. Ini terjadi sejak aku kecil sampai kira-kira aku lulus SD. Kain batik itu diambil dari mbah Ashari, salah satu pengusaha batik yang eksis di kotaku, masih saudara jauh juga dengan ibu.

Bapak dan ibu biasa memasarkan kain ini ke Kebumen, kota tetangga, menyalurkan ke beberapa toko pakaian disana. Kadang bapak/ibu berangkat juga di luar jadwal jika memang ada pesanan yang mendesak harus segera dikirim. Tentu semua itu dilakukan dengan naik bis umum. Jangankan punya mobil pribadi, satu-satunya motor yang bapak punya pun beliau beli dengan kondisi second.

Aku masih ingat, kain pembungkus batik itu adalah 4 buah karung bekas terigu segitiga biru yang disambung-sambung dengan jahitan oleh ibu, yang kami sebut ‘walun‘. Jika akan berangkat ke Kebumen, walun digelar, 1-2 kodi kain batik (jarik) diletakkan, lalu ujung-ujung walun dibuat simpul di atas. Tinggal digendong. Beratnya, masya Allah! Kayaknya lebih berat dari badanku waktu itu. Tapi bapak ibu tak pernah mengeluh, tetap membawa walun berisi kain itu, dengan senyum 🙂

Suatu hari kerja sepulang kantor, siang-siang terik bapak pergi ke Kebumen dengan semangat karena ada pesanan khusus dari salah satu toko Cina, Sun Ing. Saat itu bapak membawa kain batik dengan corak yang serupa (tidak beragam) beberapa puluh, sesuai pesanan. Sesampai di toko Sun Ing, dengan mohon maaf si engkoh itu bilang bahwa pesanan dibatalkan karena yang pesan kain itu ke dia juga membatalkan. Bapak hanya bisa bingung. Ongkos PP Purworejo-Kebumen cukup banyak untuk ukuran kami waktu itu, sementara dagangan tidak jadi laku. Jadi bukannya dapat untung, malah buntung 🙁

Tapi, bapak tak menyerah. Dia mencoba tawarkan kain-kain batik itu ke toko-toko lain yang selama ini sudah jadi langganan. Sayang, semua toko itu menolak, karena selain stok masih banyak, motif yang dibawa pun secorak semua sehingga diperkirakan susah laku.

Hari makin sore. Kain-kain batik itu tetap utuh, tak berkurang satu pun. Dengan gontai bapak menggendong walun, melangkah menuju terminal bis, memutuskan untuk pulang saja, karena jika kemalaman malah akan sulit mendapatkan bis untuk pulang. Di dalam bis bapak memilih duduk di barisan paling belakang, dan meletakkan bungkusan walun itu di depan kakinya, duduk dalam diam bersimbah peluh sambil menunggu bis diberangkatkan.

Naiklah seorang lelaki muda ke dalam bis, dan duduk di samping bapak. Layaknya orang jawa, basa-basi percakapan segera terjadi. Setelah saling memperkenalkan diri, demi melihat bungkusan besar di depan kaki bapak, lelaki itu bertanya "Niki nopo njih, Pak?" (ini apa, Pak?)

Bapak menjawab "O, niki jarik" (Oh, ini kain batik)

"Mau dibawa kemana pak?"

"Mau saya bawa pulang. Tadi saya bawa ke toko yang pesan tapi ternyata dibatalkan pesanannya"

"Boleh saya lihat-lihat pak?"

"Nggih mangga. Tapi ini kainnya secorak semua kok dik, wong pesenannya begitu"

"Wah kebetulan sanget pak. Saya justru lagi nyari seragam jarik, untuk ibu-ibu yang pada mau lomba. Dari tadi sampun muter2 belum dapet corak yang cocok. Sini-sini pak, saya lihat, saya jadi penasaran"

Bapak kaget campur bingung, segera membuka walun itu tapi belum berani berharap banyak. Lalu, lelaki itu melihat kain-kain batik yang dibawa bapak, dan ternyata ,"Wah, cocok saya pak sama coraknya. Harganya berapa pak? Kalau miring, saya mau ambil semua"

Bapak terlonjak kaget, lalu menyebutkan harganya, yang tentu cukup miring karena harga ‘agen’.

Dan, di sore yang hampir redup itu, terjadilah transaksi penjualan kain batik di bis umum antara seorang bapak dan lelaki muda.

Walun pembungkus kain yang kini telah kosong itu dilipat bapak, didekapkan ke dadanya sambil mrebes mili (menitikkan air mata), dan berkata lirih, "Alhamdulillah… Gusti Allah, matur suwun sanget. Panjenengan mboten rila kula cuwa" (Alhamdulillah. Ya Allah terima kasih, Engkau tidak rela jika aku kecewa).

* Terima kasih banyak pada bapak yg telah bertutur tentang fragmen yang menggugah ini. Terima kasih atas limpahan kasih sayang yang bapak berikan pada kami semua. Semoga ananda dapat selalu belajar dari hikmah kehidupan, dimana pun berada.