Terpatah Menekuni Ukhuwah

Menyimak uraian manisnya perilaku para sahabat, yang mendoakan pencuri usai menyatroni rumahnya, dengan doa yang indah:

"Ya Allah… jika dia orang kaya, maka ampunilah dia. Dan jika dia orang miskin, jadikanlah ia orang kaya."

Sungguh membuat diri ini malu hati.

Sudahkah aku berdoa untuk orang-orang di sekelilingku? Bukan hanya untuk orang-orang yang dekat denganku saja, tapi juga untuk semua orang, bahkan orang yang mencideraiku? Mampukah aku begitu?

Mendengar cerita tentang sahabat yang menangis tersedu-sedu setelah hartanya dicuri, lalu ditanyakan kepadanya gerangan apa yang membuat ia menangis? Ia menjawab sendu, "Aku menangis karena kasihan dengan pencuri itu, atas dosa yang telah ia lakukan."

Wahai! Masih mampukah aku menangis untuk orang lain seperti itu? Jika saja aku menjadi korban pencurian, mungkin aku menangis karena hartaku yang hilang, bukan karena kasihan dengan si pencuri. Ya! aku masih sibuk dengan menangis untuk diriku sendiri….

Membaca cerita tentang 2 karib, saat salah seorang dari mereka mengakui bahwa dia telah mengambil uang dari saku gamis sahabatnya itu tanpa ijin, karena kebutuhan yang sangat mendesak dan baru mengatakaan setelahnya, namun sahabatnya itu justru memeluknya erat dan berkata, "Alhamduulillah, selamat, selamat. Dengan ini kau benar-benar telah menjadi saudaraku, karena sesungguhnya hartaku adalah juga hartamu."

Duhai, apa yang akan kulakukan jika ada orang yang mengambil uang dariku tanpa ijin? Merobek buku kesayanganku yang dia pinjam? Merusakan netbukku yang dia pakai sementara? Apakah aku masih bisa mengucapkan tabaruk padanya, tanpa kalimat omelan atau makian? Mampukah aku berlapang dada atas itu semua?

Apatah lagi akan mampu bersikap itsar seperti gambaran sahabat anshor dalam surah Al-Hasyr, sedang untuk bersikap salamatus sadr sebagai serendah-rendahnya ukhuwah saja, ternyata begitu sulitnya. Astaghfirullah..

Ta’aruf – Tafahum – Takaful, rukun ukhuwah yang indah, tapi ternyata sangat tidak mudah.

Jangankan tafahum apalagi takaful. Ta’aruf saja rasanya masih begitu jauh kugapai. Masih terbata-bata aku mengeja maknanya.

Aku tak hafal nama semua anak-anak temanku. Tak mampu menyebutkan dengan lengkap alamat rumahnya. Bahkan kadang lupa hari ulang tahunnya. Aku tak tahu apa yang menjadi hobbynya, tak tahu dengan jelas dimana dia bekerja. Belum pernah sekali pun datang ke rumahnya.

Astafghfirullah…

Sementara itu, aku sedih saat diri ini sakit dan hanya sedikit sahabat yang menjenguk. Menangis berhari-hari saat ibuku meninggal dan beberapa orang sahabat dekat ternyata tak kunjung mengucapkan sekedar turut berduka cita, hari demi hari kutunggu sampai aku kembali ke ibukota. Mudah tersinggung saat ada kata-kata dari sahabat yang kurang tertata (padahal cuma kata-kata, bagaimana jika luka fisik?)

Allahu, masih saja aku menuntut banyak hak dari ukhuwah, sementara tak kutunaikan dengan baik kewajiban ukhuwah pada diriku.

"Mbak itu orangnya kurang perhatian, jarang menanyakan kabar pada kami. Kalau telepon, maunya langsung to the poin."

Astaghfrullah, kenapa aku jadi seperti robot? Bukankah orang lain juga ingin diperhatikan, tak hanya dibebani kewajiban?

"Gimana sih Ning? Kamu kalau aku cerita kok diam saja gak ada komentar? Mbok ngomong apa gitu, yang bisa menghiburku."

(dan aku terperangah karena sebenarnya sedang memikirkan solusi dari apa yang dia ceritakan. Oh, ternyata dia bercerita padaku hanya butuh didengarkan dan dihibur, sementara aku berpikir dia butuh solusi. Maafkan, maafkan aku tak pandai memahami)

"Mbak itu terlalu tegas dan galak, jadi saya agak takut mau cerita yang sebenarnya dari kemaren."

Innalillahi, begitu ya? Apa tampang saya mirip monster, atau algojo? Sampai orang pun enggan untuk sekedar bercerita?

Rabbana, ternyata sungguh tak mudah menekuni rukun ukhuwah.

Maafkan, maafkan diriku yang lengah

Namun, meski diri ini belum sempurna menekuninya

semoga ia-nya tetap menuai keberkahan yang indah

dan selalu ingin kukatakan pada sahabat2-ku

uhibbukum fil-Lah…

~pondok cabe, 6 jan 2011
masih harus banyak berkaca… T_T