Muslimah Kok Jutek?

Senyum kecut asam dan sinis adalah ekspresi langka buat saya yang biasanya, paling minimal adalah senyum tiga jari (jangan diperagakan tanpa ada pengamanan khusus! hehe). Tapi saat itu sungguh-sungguh terpaksa! Diluar rencana, diluar dugaan, dibiarkan bebas, tanpa ada suruhan, senyum langka itu pun keluar. Sekali lagi ini terpaksa (dibuat sok serius). Mau tahu nggak kenapa? Mau tahu dong yah! (ih maksa! ^^)

Tadi sore saya mengantarkan adik ke salah satu lembaga bimbingan belajar yang berbasis Islami di deket rumah buat sekedar tanya-tanya (belum mau daftar nih!). Sampai di sana, ruangan yang sederhana itu terlihat lebih gelap dari pada biasanya, ditambah langit yang mendung di luar sana. saya dan adik langsung ke meja resipsionis yang dijaga oleh mbak-mbak muslimah berjilbab rapi yang cantik. Ternyata kita harus bersabar dulu karena masih ada ”pasien” lain yang lagi butuh informasi di sana. Pas akhirnya giliran kita datang, kita pikir bakal langsung dilayani, ternyata rada dicuekin sama mbak-mbaknya.

Padahal sebelumnya, si mbak-mbak ditanya, ”kok belum pulang?” sama temannya dan mbak-mbak itu menjawab ”ntar, lagi ini”, sambil nunjuk kita berdua. Akhirnya, mas-mas yang entah datang dari arah mana, menggantikan posisi mbak-mbak tadi. Terjadilah tanya jawab antara kami tentang kapan waktu daftar, pembayaran, dll. Dasar emang ini mas-mas bukan bagian administrasi, jadi setiap kita tanya, dia selalu nanya lagi ke mbak-mbak itu. Sampai di sini sih nggak masalah, mungkin si mbak-mbak emang lagi ngurusin hal lain. Sebenarnya rada risih juga dengan percakapan yang arahnya aneh ini (setiap pertanyaan kita ajukan ke mas-mas itu selalu dilempar lagi ke mbak-mbaknya).

Dan mulailah timbul perasaan geram di hati saya, ”kok gini sih?”. Tambah geram lagi ketika saya sadar kalau dari awal saya nyapa ini mbak-mbak, kagak ada senyumnya. Maka untuk mencairkan suasana yang kaku, saya suruh mas-masnya untuk nari jaipongan (nggak deng!), akhirnya saya sok-sok nanya, “mbak, anak-anak itu (sambil nunjuk ke belakang dimana banyak anak-anak yang pada nge-geng heboh) anak program Ronin yah?”. saya nggak begitu merhatiin jawabannya karena keburu ilfeel duluan dengar jawaban mbak-mbak itu yang diselimuti dengan nada yang jutek! Bahkan saat menjawab pertanyaan, matanya nggak melihat ke saya, sebagai orang yang bertanya! Sampai ini sini, senyum kecut asam sinis saya belum keluar. Masih bisa tertahan. Terus saya coba tanya lagi (sambil berharap, mungkin kalau pertanyaan yang satu ini bisa buat kita lebih akrab), ”Kak Fulan masih ngajar di sini, Mbak? Kalau Kak Fulan?…”.

Ternyata kawan-kawan! Responnya sama aja: JUTEK! Nah, saat itulah senyum langka saya keluar! Bener deh! Nggak habis pikir saya sama mbak-mbak ini, paling cuman butuh waktu 1 menit untuk menjawab dengan ramah, apa susahnya? Menatap saya pun tidak! Saat itu, hilanglah sudah pesona cantiknya bagi saya. Perasaan saya saat itu campur aduk antara dua rasa. Yang pertama kesel. Yang kedua, malu sama adik. Tahu nggak kenapa? Karena selama ini saya sudah berusaha membangun citra muslimah yang baik di mata adik. Eh, tiba-tiba di depan matanya sendiri ada muslimah yang jutek (malah, pantas dikategorikan sebagai tidak sopan!). Kegeraman yang saya rasa nggak bisa terbendung, akhirnya saya bilang ke adik saya pas mau naik motor minggat dari lembaga bimbingan belajar itu, ”De, mbak-mbaknya kok jutek yak?”. Tahu nggak jawaban adik saya apa?

”nah, itu dia kenapa Dede nggak mau di lembaga bimbel ini, kak! Mbak-mbaknya jutek-jutek! Waktu Dede daftar di lembaga bimbel yang sama di daerah rawamangun, mbak-mbaknya juga begitu juteknya, makanya akhirnya Dede ngeikhlasin uang pendaftaran 100.000nya. Biar aja, uangnya angus, yang penting nggak di sana.”

Wah, langsung saya merasa kayak di hajar massal! Perih banget hati ini. Dalam hati, wah, jangan-jangan fenomena muslimah jutek nggak cuman dialami sama kita aja, jangan-jangan banyak muslimah yang kayak gini, jangan-jangan saya termasuk di dalamnya. Maka saya mau MINTA MAAF YAH KALAU saya PERNAH JUTEK! Hiks…

Nah, teman-teman, waktu saya merasa kesal sama mbak-mbak yang tadi diceritain, dalam hati Ang sempet nyeletuk, ”Mau Islam bisa dinikmatin sama semua orang tapi senyum aja kayak barang mahal! Mau Islam menang, tapi melayani klien aja pake jutek segala. Kalau gini caranya mah bukan salah orang-orang lain menganggap kita eksklusif!” Akhirnya istighfar sih karena Allah yang Maha Tahu. Tapi gini, teman-teman, dari cerita pengalaman saya itu, kita bisa ambil satu nilai penting: senyum! Bener deh! Biar kita nggak kenal, tapi kalau senyum, akan terasa ada tali-tali yang terikat. Segala perkenalan selalu diawali dengan senyum.

Segala pertemanan selalu diawali dengan senyum. Bahkan cinta yang tidak dihiasi dengan senyuman pun akan hambar kan (cie cie!)? Segalanya! Senyum! Makanya ekspresi yang satu ini diberikan tempat istimewa oleh Allah sebagai suatu perbuatan yang termasuk ke dalam sebuah ibadah. Padahal cuman senyum! Tarik sedikit bibir kita ke samping atas, maka wajah kita tersenyum. Sedikit saja, maka senyum itu akan datang dan orang-orang di sekitar kita merasa dekat dengan kita. Apa susahnya? Nggak ada tuh istilah alasan karena ingin jaga image! Senyum dong, lebih hebat lagi kalau ditambah dengan, ”assalamu’alaikum…”. Teman-teman tahu nggak kalau di China (saya lupa LSM atau apa) ada program senyum yang isinya adalah diwajibkan bagi para pekerja sosialnya untuk menebarkan senyum di tempat-tempat umum, seperti jalan, bank, dll.

Tahu nggak kenapa program itu ada? Karena di China orang-orangnya jarang senyum. Terlambat mereka! Islam sudah lebih dulu membuat program itu dengan jargon terkenalnya, ”senyum itu ibadah!”. Tapi kenapa masih ada yang susah senyum? Sedikiit aja. Sebentaar aja. Wah, Harusnya hal ini jadi salah satu sub bab di bukunya Asma Nadia “Jangan Jadi Muslimah Nyebelin” yah.. hehe!
Teman-teman, (terutama buat para ukhti-ukhti nih), AYO TEBAR SENYUM TERBAIK KITA!! Kepada siapapun. Lintas usia, lintas agama, lintas jenis kelamin, lintas angkatan, lintas jurusan, lintas budaya, lintas jabatan, lintas segala deh (asal jangan ke jalan lalu lintas atau senyum berlebihan yang malah bikin orang yang disenyumin geleng-geleng dan terus kesurupan hehe). Jangan sampai kita udah capek-capek buat strategi dakwah, bikin program dakwah, dll tapi selama perjalanannya kita tidak menebarkan senyum kepada objek dakwah kita. Duh, bikin malu Islam nanti.

Yok! Setelah kamu baca ini, coba langsung ke kamar kamu (boleh dengan jalan, lari, ngesot –sekalian ngepel, ibu jadi senang ^0^/-, asal jangan loncat-loncat, entar capek! Hehe), terus berdiri di depan cermin. Senyum! Lihat, perhatikan, cermati, betapa sebenarnya ketika kita tersenyum, begitu banyak keindahan yang tepancar dari wajah ini. Coba sekali lagi tersenyum, maka kita akan merasakan betapa cintanya Allah pada kita karena telah memberikan kenikmatan dengan memudakan kita tersenyum. Islam itu indah. Maka jadikanlah senyum manis kita ini ibadah kecil yang mewakili manisnya Islam.

AYO, KITA SENYUM! =)

Pinky room, 18 oktober 2008
Selamat hari persahabatan untuk sahabat-sahabatku di Bandung!!