Ulang Tahun, Kebiasaan Aneh Tapi Nyata

pesta nikahAnak saya sontak teriak ketika mendapat undangan kecil bergambar kartun dari temannya mainnya. Sebagai orang tua, saya bisa memaklumi kegembiraannya karena setahunya, dia mendapat sebuah undangan untuk makan dan bernyanyi-nyanyi ke rumah temannya. Anak saya tahu hal seperti itu dari berbagai tayangan televisi, dari temen-temen bermainnya, dari saudara-saudara yang masih melakukan kebiasaan berulang tahun.

Seperti biasanya, ketika mendapat undangan seperti itu, saya selalu berpesan kepada istri agar tidak menghadiri acara tersebut. Saya berpesan agar memberikan hadiah saja di luar acara tersebut. Dengan niat memberikan hadiah semata. Hal tersebut saya lakukan guna menjaga hubungan antara tetangga, agar jangan sampai terjadi persangkaan-persangkaan yang tidak-tidak karena ketidakhadiran anak saya.

Di awal-awal, sempat juga saya berselisih pendapat dengan istri saya, istri berdalih dan khawatir jika tidak hadir di acara semacam itu kita akan diasingkan oleh masyarakat dan anak kita akan menjadi kuper. Lalu saya jawab, “mi… akal siapakah yang mau menerima, ketika jatah umur kita berkurang dengan bertambahnya waktu, lalu kita malah “bergembira”, lalu “jika dikaitkan dengan rasa bersyukur dengan bertambahnya usia, apakah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wassalam sebagai panutan kita mengajar cara bersyukur yang seperti itu…?” Bukankah ini sebuah pembodohan untuk anak kita? Sebuah pemaksaan ajaran yang jelas tidak bersumber dari agama yang kita yakini yakni Islam…”

Kemudian saya tambahkan kepada istri saya lagi bahwa kebiasaan ulang tahun adalah mengekor pada kebiasaan kaum di luar Islam yang biasa merayakan hari kelahiran “tuhan” mereka. Dan ini merupakan satu point tambahan untuk alasan mengapa kita harus menghindari acara tersebut. Apa dalilnya? Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wassalam telah mengingatkan kita, dari Abdullah bin Umar radhiallahu anhuma dia berkata: Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda, “Barangsiapa yang menyerupai suatu kaum, maka dia termasuk darinya”. (HR. Abu Daud No. 4031 dan dinyatakan shahih oleh Al-Albani dalam Ash-Shahihah: 1/676)

Bisa dikatakan jika kita mengikuti kebiasaan mereka (kaum di luar Islam) tersebut maka kita adalah bagian dari kaum tersebut. Sebab dari panutan kita yang mulia pun, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wassalam tidak pernah memberikan contoh “ritual” tersebut, bahkan jika dalihnya adalah sebuah ungkapan kesyukuran, maka Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wassalam telah mengajarkan dan mencontohkan bentuk kesyukuran yang real, sebagaimana telah diriwayatkan dalam hadist berikut:

Mughirah bin Syu’bah berkata, “Sesungguhnya Rasulullah bangun untuk shalat sehingga kedua telapak kaki atau kedua betis beliau bengkak. Lalu dikatakan kepada beliau, ‘Allah mengampuni dosa-dosamu terdahulu dan yang kemudian, mengapa engkau masih shalat seperti itu?’ Lalu, beliau menjawab, ‘Apakah tidak sepantasnya bagiku menjadi hamba yang bersyukur?'” (HR. Bukhari)

Begitulah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wassalam mengajarkan kita cara bersyukur. Bersyukur yang sebenar-benarnya adalah dengan menambah ketaatan pada Dzat yang memberikan kenikmatan. Bukan dengan sekadar makan bersama atau bernyanyi-nyanyi lalu setelah itu nuansa ketaatan dibuang jauh-jauh setelah mendapat kenikmatan itu.

Jadi, kepada Anda wahai saudaraku seaqidah yang menjadi orang tua, menjadi kakak, dan menjadi contoh bagi anak dan adik-adik kita, masihkah ada dalil dan dalih untuk “gemar” melakukan dan mencontohkan atau menganjurkan kebiasaan ini kepada generasi penerus kita? Jika Anda berlebih harta, ajarkan anak dan adik-adik kita bersedekah dan berinfaq kepada yang membutuhkan. Itu jauh lebih mengajarkan kepada hal yang dicintai Alloh dan RasulNya. Jika Anda ingin mengadakan acara makan bersama, maka undanglah anak yatim untuk bersama-sama menikmati rezeki yang Anda terima dari Alloh. Maka itu juga hal yang diridhoi oleh Alloh dan RasulNya.

Wahai saudaraku seaqidah…

Yakinlah…bahwa agama ini adalah aturan yang sempurna dari Yang Maha Sempurna. Tidak usahlah kita merasa bangga dengan kebiasaan-kebiasaan yang “mereka” lakukan. Cukuplah Alloh dan RasulNya sebagai penilai kita dan tolok ukur kebaikan buat kita…

Wallahu ‘alam.
www.mujahiddesa.blogspot.com