Perumahan Mewah yang Membenci Da’i

”Mas…saya dapat perintah dari atasan, apakah mas mau bila jadi anggota DPR?”

“Maaf Saudaraku.. saya tidak ahli di bidang itu”

Mas Darto, pemuda tampan, sederhana, cerdas, itu menolak secara halus, tawaran penjadi pejabat legislatif. Beliau Lebih menyukai menjadi penyeru kebenaran dan kebajikan. Mas Darto senang memakai baju koko putih bersih yang selalu dicuci setiap hari oleh istrinya. Yang membuat Mas Darto terlihat berwibawa, apalagi dia berbadan tegap dengan postur tinggi bak peragawan.

Mas Darto bergabung dengan organisasi massa besar, yang bergerak di bidang dakwah dan pendidikan. hidup bersama Istrinya yang shalihah yang dinafkahi dari hasil beternak belut di gentong-gentong yang dibelah dua lalu diisi lumpur dan bibit atau anak belut di pekarangan rumahnya yang tak jauh dari perumahan mewah tersebut.

Sebuah Organisasi Massa sering menugaskan Darto untuk berdakwah, suatu ketika beliau mendapat tugas berdakwah di perumahan real estate yang elit dan mewah di Daerah Depok, di sana dia bertemu ladang dakwah masyarakat yang hidupnya bermewah-mewah, berlomba-lomba dalam memamerkan harta dan mengumpulkan materi sebanyak-banyaknya. Mas Darto berdakwah dengan cara rajin shalat berjamaah di mushola perumahan elit itu. Selama 40 hari berturut-turut, dia berkenalan dan memantau situasi rakyat/warga di perumahan mewah tersebut.

Setelah 40 hari, Mas Darto mulai mengenal dengan akrab beberapa orang di Mushala dan beliau mulai ditawari menjadi Imam yang cuma dihadiri jamaah 5-6 orang laki-laki saja. Karena kaum laki di sana sibuk. Kalaupun hari libur lebih senang ke tempat wisata atau nonton TV Cable di rumah masing masing atau sibuk mencuci, memodifikasi mobil-mobil mewah mereka. Hal dan keadaan tersebut membuat sedih Mas Darto. Sehingga dia berkali-kali tanpa lelah memperingatkan warga agar rajin shalat berjamaah di masjid, namun sebagian besar warga perumahan mewah itu justru merasa tak suka dengan nasehat-nasehat Mas Darto. Sebagian kecil ada yang mau menerima alias Pro dan kontra. Karena ada pertentangan dua kubu yang pro dan kontra, namun lebih banyak yang kontra. Akhirnya, Mas Darto berdoa kepada Allah untuk mencoba-coba mengundang rapat kepada seluruh warga untuk hadir di Musholla dengan undangan yang ditanda tangani bapak RW setempat. Dan tak disangka-sangka, banyak juga warga yang kontra atau warga yang membencinya ikut hadir. Mas Darto berpidato

“Assalamualaykum warhmatullahi wabarakaatuh, wahai warga perumahan Mewah. Engkau semua adalah saudara seagamaku, sebangsa dan senegara, saya heran , mengapa hadirin semua membenci saya?” Padahal saya tidak mengharap balas jasa anda semua, nasehat saya insya Allah Berguna untuk semua warga, sedangkan nafkah dan belanjaku bukan dari anda semua.” ”saya tidak suka para ulama dan dai satu persatu pergi meninggalkan mushala perumahan ini akibat tak tahan mendapat sindiran kebencian. Sehingga sebagian warga disini yang bodoh agamanya menjadi tetap bodoh karena ditinggal ulama dan yang sudah pintar agama akan melupakan ibadah-ibadahnya. maka dari itu saya berharap semua warga menjadi bertaqwa. Mengerjakan perintahNya dan menjauhi laranganNya, berhati hati dalam bertindak dan bekerja sehingga terhindar dari harta haram dan dosa.” saya juga tidak suka melihat warga di sini yang sibuk mengumpulkan harta sebanyak banyaknya, tetapi hartanya tidak dipakai di jalan kebaikan. Warga banyak yang mempunyai rumah mewah berharga ratusan juta sampai milyaran tetapi tidak di tempati. Kosong melompong ditempati bangsa jin-jin saja. Tidak laku dijual/dikontrakkan karena terlalu mahal.” Hadirin, saya peringatkan sebuah sejarah banyak bangsa yang dahulu sibuk membangun gedung dan rumah mewah dan mengumpulkan harta sebanyak-banyaknya tetapi dalam waktu singkat Allah membuat harta mereka terkikis habis, cita-cita dan rumah mewah mereka hancur dan runtuh bagaikan kuburan.” mendengar pidato seperti itu, satu persatu warga meneteskan air mata.

Sejak melihat jamaah meneteskan airmata di hari itu, Mas Darto menjadi lebih semangat mengunjungi majelis-majelis taklim di sekitar mushala tersebut dan mengunjungi pasar-pasar untuk berdakwah. Dia mengingatkan orang-orang yang melalaikan ibadah dan menjawab pertanyaan orang yang bertanya tentang agama Islam. Suatu ketika, saat selesai shalat jumat, tak jauh dari depan Masjid Pasar, Mas Darto bertemu segerombolan orang yang sedang mengeroyok seseorang “SUDAH-SUDAH, cukup-cukup, ada apa?” “Dia maling sepatu, Pak Ustadz” jawab mereka.

“Sebentar bapak-bapak…, tahan emosi, Kalau ada orang yang tidak dikenal,dia tercebur ke sungai dan tak bisa berenang, apakah bapak-bapak akan menolong orang itu?” “Ya secara reflek akan kami tolong” “Walaupun bapak tak kenal orang itu? ” “Ya iya lah, kami orang baik-baik Pak Ustadz” “Ya maka dari itu, janganlah bapak-bapak main keroyok orang maling sepatu ini, tapi ajari dia dan sadarkan dia lalu bersyukurlah pada Allah yang selalu menerima tobat dan memaafkan dosa ”

“Tapi, apa Pak Ustad tidak benci maling begini?” tanya salah seorang pengeroyok. “Ude hajar aja tuh maling” sahut pengeroyok lainnya. “Astaghfirullah, sabar-sabar, saya benci pada perbuatan malingnya, kalau maling ini menghentikan kebiasaan buruknya, maka dia menjadi saudara saya” jawab Pak Ustadz Darto.

Si maling yang tadinya nampak ngocol walau wajah sangarnya sudah biru di sekitar mata dan pelipisnya, mendengar perkataan Mas Darto itu tiba-tiba tertunduk berikut butiran air mata menetesi conblock. dan dia berkata dan merengek seperti anak kecil “Pak Ustad saya mau bertobat dan saya mau shalat lagi” Esoknya di Mushala rumah mewah, tiba-tiba datang seorang pemuda maling sendal kulit, pada kejadian kemarin, dia memohon dengan wajah sedih “Pak Ustadz! Ajari saya”

“Assalamualaykum anak muda, tentu saya akan ajari dengan senang hati. Dan Ingat ingatlah: Ingat Allah saat kamu bahagia, maka Allah akan ingat kamu saat kau sengsara jadilah pengajar atau pelajar atau pendengar jangan sekali kali kau menjadi orang bodoh (yang tak mau belajar) karena hal itu bisa membuatmu celaka”

***

Kisah fiksi yang bisa jadi terjadi di masa kini.