"Bunda, Tolong…"

"Masya Allah…40, 5 derajat!" rasanya tak percaya ketika kulihat alat pengukur suhu yang barusan kukempitkan di sela-sela ketiak si sulung. Matanya menatapku dengan sorot sayu padahal belum lama berselang mata itu masih berbinar-binar ceria diiringi senyum penuh rasa bangga manakala menunjukkan kepadaku sebuah kreasinya menyusun balok-balok kayu membentuk kereta api.

"Bunda, aku ingin tidur" suara si sulung tiba-tiba mengagetkanku.

"Ya, nak sayang, tidur ya? Bunda kompresin keningmu dengan air ya?" kataku sambil memeras handukyang telah dicelupkan ke dalam air.

Ia mengangguk lemah. Beberapa detik kemudian handuk kecil itu telah berada di atas keningnya. Ia tersenyum seolah ingin mengucapkan terimakasih. Aku membalas senyumnya dan membisikkan padanya bahwa ia kuat dan akan segera sembuh. Lagi-lagi ia tersenyum dan mengangguk padahal panasnya masih belum turun.

Setelah memastikan bahwa ia bisa kutinggal, aku berniat ke dapur untuk membuat bubur serta sup untuk ia makan. Baru saja kulangkahkaan kaki menuju pintu kamar, ia memanggilku.

"Bunda, tolong bacakan Al-Hafithah!"

Sejenak kutertegun dan sejurus kemudian berbalik dan kembali mendekatinya. Si sulung dengan mata terpejam masih terus menyebutkan permintaannya berulang-ulang dengan suara lemah.

"Ya sayang, Bunda akan bacakan." Kugenggam tangan mungil yang panas itu. Pelan kubacakan surat Al-Fathihah yang masih sering keliru ia sebut menjadi al-Hafithah. Mata yang terpejam itu tiba-tiba mengeluarkan bulir-bulir kristal.

Aku segera bertanya padanya, "ada yang sakit, Nak?"
Ia hanya menggeleng lalu berucap lemah tetap dengan mata terpejam.

"Noch mal (ulangi lagi) Bunda!" pintanya.

Kubacakan lagi surat Al-Fatihah dengan penuh penghayatan. Kutatap wajahnya yang berpeluh keringat itu menyunggingkan senyum dan tetap dalam keadaan terpejam. Lalu bulir-bulir kristal dari matanya mengalir lagi. Menyaksikan hal itu, hatiku jadi menggigil dan suaraku bergetar saat membaca surat Al-Qur’an yang diinginkannya itu. Sepenuh perasaan kubacakan berulang-ulang padanya dan bulir-bulir kristal itu tak kuasa kubendung.

"Sekarang tolong Al-Ikhlas, Al-Falaq, An-Naas, Bunda!" pintanya dengan mata tetap terpejam.

Sekalipun kaget, tetap kupenuhi lagi permintaannya itu. Membaca berulang-ulang di antara deraian air mata dan getar suaraku.

"Bunda, tolong sekarang nyanyikan lagu doa untuk ayah bunda!" pintanya lagi.

Aku terdiam, menata gemuruh di hatiku.

"Ayo Bunda, tolong!" kali ini ia meminta dengan suara memelas.

Akhirnya aku pun bernyanyi, mendendangkan sebuah lagu yang belakangan ini sangat disukainya. Sebenarnya lagu itu sebuah lirik doa untuk orangtua yang sedikit kugubah ketika ingin mengajari ia dan adiknya menghapal doa-doa. Tak disangka, sejak itu ia selalu menyanyikan lagu tersebut kapan dan di mana saja ia suka.

Dengan mata yang masih terpejam, ia ikut bersenandung pelan, "Ya Allah, ampuni Abang Adik….juga Ayah Bunda Abang Adik. Kasihi mereka…bagai mereka sayang Abang Adik."

Bibir mungilnya terus bergerak-gerak, melengkungkan sebentuk senyum tiap di akhir lagu. Sementara itu batinku gerimis dan air mata terus mengalir tak tertahankan.

"Bunda, tolong jangan sedih!" pintanya, padahal matanya terpejam. Bagaimana ia bisa tahu kalau aku sedih padahal saat itu matanya terpejam terus hingga aku merasa leluasa menangis di hadapannya.

"Iya sayang, Bunda tidak sedih. Bunda senang mendengarmu menyanyi." Ujarku sambil mengusap air mata.

Ya Allah, ia yang baru berusia tiga tahun dapat sedemikian tenang menghadapi sakit yang tiba-tiba datang. Tidak ada keluhan terlontar, yang ada malah keinginan mengingat Engkau Ya Allah, lewat firman-firmanMu yang kubacakan. Ia juga masih sempat mengingat untuk mendoakan kami sekalipun dalam bentuk lagu. Benar-benar sebuah pelajaran yang teramat berharga bagiku.