Remember Umi, Nobody is perfect

Barangkali kalau balitaku sudah bisa bicara, ia akan mengatakan hal itu. Saat ini aku sedang menikmati menjadi ibu dari putra pertamaku yang usianya memasuki bulan ke 20. Subhanallah, rasanya sayang meninggalkan momen-momen berharga sedetik saja bersamanya. Tiap saat ada saja yang baru darinya, tingkahnya lucu dan menggemaskan. Idenya selalu muncul dan membikin orang penasaran untuk menciumnya.

Sayangnya hingga saat ini Dzaki-nama anakku- belum bisa bicara dengan jelas, tepatnya dia baru bisa mengucapkan 2 kata yang bermakna; udah dan nggak. Dulupun ketika belajar berjalan dia tergolong agak lama, dia baru bisa berjalan lancar di usianya yang ke-16 bulan, itupun setelah kubawa pulang ke kampung dan kubiarkan bermain bebas di halaman yang luas. Awalnya aku agak resah dengan perkembangannya yang terbilang lambat ini, apalagi kalau mendengar komentar dari teman-teman yang rata-rata anaknya sudah bisa berjalan sebelum 15 bulan.

Tapi Allah Maha Adil, di saat kecerdasan berjalannya belum tampak, dia sudah mulai menaruh minat pada crayon warna dan senang mencoret-coret apa saja yang masih kosong, tembok, matras, kertas. Ini yang kemudian menghiburku dan membuatku mulai tidak terfokus pada kekurangannya. Di saat itu kemudian aku menyalurkan minat yang kuanggap sebagai kelebihannya itu.

Jika saat ini, Dzaki belum bisa bicara, aku tak merasa gusar karena dia mulai menampakkan kecerdasannya yang lain. Subhannallah, dia bisa dan berani naik ke atas motor sendiri hingga duduk di atas joknya. Dia juga tertarik pada benda-benda listrik apa saja, kipas angin, televisi, setrika, laptop dan senang mengotak-atik tombolnya atau menirukan gaya orang menyetrika. Ini yang kemudian menjadi daya tariknya bagiku dan aku mulai mengembangkannya sedikit demi sedikit. Kalau makan, dia juga lebih memilih untuk menyendokkannya sendiri ke dalam mulutnya.

Begitu pula dengan minum, dari gelas ataupun botol dia lebih suka minum sendiri.
Dari sini, aku bisa mengambil kesimpulan bahwa sebenarnya tiap anak dilahirkan dengan kelebihan dan kekurangannya masing-masing, tinggal bagaimana sudut pandang kita terhadapnya.

Jika kita terfokus hanya pada kekurangannya saja, dan berupaya untuk mengatasi kekurangan itu secara paksa, barangkali anak tidak akan merasa nyaman, di samping kita juga akan tertekan dengan target-target kita sendiri. Biarkanlah anak tumbuh alami dengan daya minatnya masing-masing, tugas kita hanyalah mengarahkan kebaikan-kebaikannya saja dan menjaganya di jalan yang benar.

Jika boleh jujur, kami sebagai orangtua memiliki cita-cita agar kelak anak kami menjadi teknokrat yang hafidz Qur’an. Tetapi, nantinya akan kami telusuri terlebih dahulu minat dan bakat anak kami, hingga jangan sampai nantinya anak menjadi korban cita-cita orang tua.