Renungan Ramadhan

ramadhanWaktu sangat cepat berlalu. Tanpa terasa Ramadhan tahun ini telah berkurang setengah dari masa yang telah ditentukan untuknya. Manusia-manusia yang bersyahadat gusar melihat begitu cepat sang kekasih itu hendak pergi. Didalam benak mereka seakan-akan tamu yang agung itu baru datang sore kemarin, disaat tamu tersebut kini telah berkemas dan hendak meninggalkan mereka sampai sebelas bulan kedepan. Yang mereka gusarkan, mereka tak tahu pasti apakah sebelas bulan nanti ia masih mampu berdiri di shaf yang sama, apakah ia masih memiliki iman yang sama, atau apakah ia telah terpekur didalam tanah yang dingin, dibalut secarik kain usang dan kesakitan dihimpit kubur yang gelap. Karena sebab itulah mereka kemudian mengencangkan ikat pinggangnya, memaksimalkan masa-masa yang tersisa dari bulan yang penuh rahmat dan keberkahan.

Sementara itu disudut yang lain ada manusia yang melipat jari-jarinya. Beberapa kali ia menghitung hari-hari yang tersisa. Bukan untuk melakukan ketaatan, tapi mereka tidak sabar untuk segera keluar dari bulan-bulan keterpaksaan seperti Ramadhan, menurut mereka. Ia tidak sabar untuk menghabiskan masa-masa yang ia rasa mengekang syahwat dan dorongan nafsunya. Ia tak kuasa, demi Allah ia sungguh tak kuasa dan ingin segera berakhir.

Bermacam manusia pada bulan ini kita temukan. Ada yang taat, ada yang tetap bermaksiat. Kelompok yang satu tentu susah untuk kita bedakan secara pasti kecuali apa yang tergambar dari penampakan dzahirnya. Kita tidak menyalahkan mereka sebelum menyalahkan diri kita sendiri. Hendaknya kita memperhatikan diri sendiri daripada memikirkan orang lain. Kita perlu bermuhasabah, berdamai dengan waktu, dan menulis kesalahan-kesalahan yang mendasar pada lembaran hidup diri kita.

Pada bulan Ramadhan ini, setidaknya terdapat beberapa golongan kaum muslimin yang saling beradu dengan diri dan jiwanya ketika Ramadhan yang mulia ini hadir ditengah-tengah mereka.

Pertama, golongan para hanif yang hatinya lembut, bersih dan terkikis dari noda-noda dosa. Ia sehat pada ruh-nya. Jiwanya mengajak kepada ketaatan sedang jasadnya menurut untuk melakukan apa yang diinginkan oleh ruh-nya. Jiwa ini melipatgandakan segala ‘amal baik, bahkan ia dijaga oleh Allah dari dosa-dosa pada jiwa dan jasadnya. Ia terbebas dari dengki, hasad, lisan yang kotor, kemunafikan dan kotoran amal yang lainnya.

Kedua, golongan manusia yang sehat secara jasadi, mereka beribadah sepanjang malam, membaca firman Allah setiap hari, namun hatinya masih diliputi oleh noda-noda kedengkian dan pandangannya penuh cela hasad. Manusia seperti ini ibarat bagaikan buah yang penampakannya halus, memikat setiap lidah untuk bersegera merasakan manisnya, namun pada nyatanya ia adalah sebuah buah yang pahit, bahkan beracun.

Ketiga, adalah golongan manusia yang terombang-ambing dalam keimanannya. Kadang ia tersesat, kadang ia menemukan petunjuk. Kadang ia terjatuh dan kadang ia berdiri tegak. Meski kerapkali melakukan kemaksiatan, manusia seperti ini bukanlah manusia yang sepenuhnya durhaka. Ia sadar telah melanggar titah Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa salam. Ia sadar telah melanggar batas-batas yang ditetapkan oleh Allah Rabbul ‘Alamin. Namun, nafsu hewani dan syahwat yang kadangkala mendominasi dirinya tersebut tak mampu membuat hatinya berpaling dari keimanan. Ia selalu berusaha untuk membersihkan hatinya setelah tercelup kekotoran, ia bersegera menuju kebaikan meski jasadnya kadangkala berat untuk ia tundukkan. Didalam dirinya terdapat pertarungan hebat antara jasad yang menolak dan jiwa yang berhasrat.

Ke-empat, adalah golongan manusia yang terus melakukan kemaksiatan dan pembangkangan. Baginya, tak ada beda antara bulan yang disucikan dan bulan-bulan biasa. Baginya ketaatan itu adalah mimpi yang terlalu jauh, usaha yang tidak bermanfaat dan kegiatan orang-orang yang telah gemetar karena usia tuanya. Manusia ini adalah manusia yang telah dikalahkan oleh angan-angannya. Nafsunya begitu besar dan syahwatnya terlampau merasuk sehingga baik jiwa maupun jasad sama-sama menikmati nikmat yang pada hakikatnya adalah adzab pada diri mereka. Kita memohon pertolongan Allah dan perlindungan-Nya.

Angin-angin semakin lembut pada bulan Ramadhan, sedang kebaikan Rasulullah melebihi ketulusan angin-angin yang berhembus tersebut. Kita tertahan oleh angan-angan, terhimpit oleh keserakahan terhadap dunia. Sehingga untuk yang kesekian kalinya kita terperosok pada lubang yang sama. Kita lebih tahu dimana posisi kita dari golongan-golongan yang telah disebutkan. Faktanya, pada bulan suci ini, jiwa kita tertahan dari berbuat nista dengan alasan Ramadhan. Syariat Rabbul ‘Alamin kita penuhi dengan alasan Ramadhan, dan segala ‘amal kebaikan kita lakukan dengan alasan bulan Ramadhan. Masjid pun penuh, aurat tertutup, lisan terjaga dan jiwa terkendali. Namun setelah Ramadhan usai, jiwa kita kembali liar, aurat kembali terbuka, masjid kembali kosong, dan Al Qur’an kembali usang dan berdebu untuk waktu yang lama. Apakah kita pernah sadar, ataukah kita lupa bahwa Allah yang kita sembah pada bulan Ramadhan adalah Allah yang kita sembah pada sebelas bulan lainnya? Allah yang memerintahkan syari’at yang kita penuhi pada bulan-bulan lainnya adalah Allah yang memerintahkan syari’at pada bulan Ramadhan. Lantas mengapa kita masih mematung, terpekur dan menentang? Seakan akan syari’at dan ketaatan hanya pada bulan Ramadhan, seakan-akan kemaksiatan dan kekufuran hanya dilarang dibulan Ramadhan dan tidak dibulan selainnya. Kita perlu merenungi segala yang telah lewat dan yang akan datang. Cukuplah dibulan ini kita memulai langkah untuk kembali kepadanya. Cukuplah kita dengan ayat Allah yang berbunyi,

 

اقْرَأْ كِتَابَكَ كَفَى بِنَفْسِكَ الْيَوْمَ عَلَيْكَ حَسِيبًا

“Bacalah kitabmu, cukuplah dirimu sendiri pada waktu ini sebagai penghisab terhadapmu”. (Surat al Isra’ ayat 14)

 

Wallahu a’lam bis showwab,

Masjid UI, 22 Juli 2013

Hamba Allah yang fakir,

Afandi Satya .K