Menjadi Mulia Tak Perlu Menunggu Kaya

Hari Ahad lalu saya sekeluarga berkesempatan menghadiri undangan masjid dekat rumah yang tengah mengadakan launching sebuah program zakat bekerjasama dengan Rumah Zakat Indonesia.

Kegiatan launching tersebut ditutup dengan ceramah yang disampaikan seorang ulama ternama di kota Bogor. Beliau adalah orang yang sangat menguasai dan sering berbicara mengenai zakat. Tentu ada banyak pelajaran berharga yang dapat diambil dari tuturan beliau. Salah satunya adalah ketika sang ulama berbagi cerita saat ia berceramah seputar zakat di sebuah daerah.

Sang ulama mengisahkan di tempat tersebut ada dua orang wanita yang tinggal serumah. Keduanya selalu menyisihkan sebagian harta yang dititipkan Allah pada mereka dengan cara berinfak. Hal ini mungkin bukan sesuatu yang menarik untuk dibicarakan. Tetapi tunggu, ulama tersebut melanjutkan kisahnya. Siapakah kedua wanita yang tinggal dalam satu atap itu? Bagaimana kisah ini menjadi sebuah hal yang menarik perhatian yang hadir saat itu (khususnya saya)?

Ulama tersebut menyampaikan bahwa kedua wanita yang tinggal dalam satu atap itu bukanlah anak dan ibu atau kakak beradik. Lalu, siapakah gerangan mereka? Keduanya tak lain adalah seorang majikan dan pembantunya.

Tanpa diketahui oleh masing-masing, sang pembantu selalu menyisihkan rezeki yang diperoleh setiap kali menerima gaji, demikian pula dengan sang majikan. Secara logika kita pastinya berfikir bahwa penghasilan sang majikan lebih besar dari sang pembantu, maka infaknya pun tentu akan lebih besar.

Namun logika tak selalu sejalan dengan kenyataan, harta yang disisihkan sang pembantu setiap bulan untuk berinfaq ternyata lebih besar dari infaq sang majikan. Padahal ia memiliki banyak anak yang harus dinafkahi dengan penghasilannya yang pas-pasan itu. Meskipun demikian keadaannya, ia berhasil menghantarkan anak-anaknya sekolah hingga perguruan tinggi.

Hmmm… apa yang terpikirkan oleh kita setelah mengetahui hal di atas? Mungkin ada yang merasa heran dan terselip tanya, bagaimana dengan gaji tak lebih dari 500 ribu bisa menghidupi sebuah keluarga bahkan bisa menyekolahkan anak-anaknya sampai jenjang yang tinggi?

Tentu saja bagi orang beriman yang mengakui bahwa hanya Allah yang berkuasa memberi rezeki, tak kan pernah heran atau terlontar tanya seperti demikian. Karena sudah jelas tercantum firman-Nya dalam Al-Quran:

“Perumpamaan orang yang menginfakkan hartanya di jalan Allah seperti sebutir biji yang menumbuhkan tujuh tangkai, pada setiap tangkai ada seratus biji. Allah melipatgandakan bagi siapa yang Dia kehendaki. Dan Allah Maha Luas (karunia-Nya) lagi Maha Mengetahui.” (QS. Al-Baqarah [2] : 261)

“Sesungguhnya orang-orang yang bersedekah baik laki-laki maupun perempuan dan meminjamkan kepada Allah dengan pinjaman yang baik, akan dilipatgandakan (balasannya) bagi mereka, dan mereka akan mendapat pahala yang mulia.” (QS. Al-Hadid [57] : 18)

Demikianlah Allah telah menunjukkan salah satu contoh kekuasaan-Nya melalui kisah yang dituturkan sang ulama di atas sebagai sebuah pelajaran supaya cukuplah Allah tempat kita menyandarkan keyakinan sepenuhnya atas rezeki yang diberikan-Nya. Di samping itu kita tidak perlu merasa khawatir untuk bersedekah atau menginfakkan sebagian rezeki yang Allah titipkan tersebut karena janji Allah pastilah benar adanya. Kita pun tak perlu menunggu menjadi orang kaya untuk berbagi rezeki demi mendapatkan kemuliaan di hadapan-Nya. Sungguh, perilaku pembantu tersebut adalah suatu hal yang patut kita tiru.

Ada banyak cerita nyata yang senada dengan kisah tersebut di mana orang-orang yang dalam hitungan matematika kita berpenghasilan sangat minim dan diprediksikan tak kan sanggup memenuhi kebutuhan hidup, ternyata perkiraan tersebut tak dapat dibuktikan ketika orang-orang tersebut membelanjakan hartanya di jalan Allah. Akan selalu kita temukan kebenaran firman-Nya dalam kehidupan mereka.

Kembali pada kisah yang dituturkan sang ulama itu, kita pun dapat menemukan satu pelajaran lainnya, yakni untuk selalu menghormati sesama atau tidak meremehkan keadaan orang lain. Berbeda keadaan atau kedudukan dalam penilaian manusia tak mengurangi nilai kemuliaan seseorang di hadapan Allah SWT, seperti kisah berinfaknya dua orang wanita sebagai majikan dan pembantu tersebut. Karena kemuliaan seseorang di hadapan Allah bukanlah ia yang kaya, tampan atau cantik, memiliki sederet gelar dan atribut lainnya melainkan hanya satu saja, yakni yang paling takwa.

“…. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.” (QS. Al-Hujuraat [49] : 13)

www.ratnautami.com