Wanita Hebat Berpunggung Bongkok

Mengingatnya buat saya adalah mengingat kehidupan. Hidup yang tidak sekedar menghirup udara, tapi tentang hidup yang dinamis, berjuang, dan bermanfaat buat orang lain.

Tubuhnya tidak lebih dari ketiak saya. Pendek. Tapi ia adalah wanita dengan cita-cita tinggi yang pernah saya kenal. Cita-citanya yang jauh melebihi ukuran tubuhnya. Cita-cita yang buat sebagian orang remeh namun membuat sebagian orang lain takjub.

Tungkai kakinya kecil dan tidak lurus. Tulang punggungnya bengkok, mencuat membentuk sebuah punuk. MEski begitu, ia adalah salah satu wanita berhati lurus yang pernah saya kenal.

Masih lekat dalam ingatan saya, ketika dengan takut-takut saya menanyakan mengapa tubuhnya berbeda dari yang lain. Katanya dulu ia sakit malaria. Ketika saya mulai lancar membaca buku-buku literatur kesehatan, saya tahu bahwa malaria yang dia maksudkan bukan sekededar malaria yang membuat tubuh menggigil kedinginan. Monster jahat bernama Plasmodium falciparum mengahajar masa kecilnya yang seharusnya bahagia.

Tubuhnya terperangkap oleh Malaria aestivo-autumnal. Di saat adik-adiknya tumbuh besar, tubuhnya tetap kecil bahkan bungkuk. Saat tungkai adik-adiknya membesar tungkainya tidak lebih dari diameter botol limun.

Hal yang menakjubkan adalah monser jahat itu ternyata hanya mampu menjajah tubuhnya, tidak dengan hati dan pemikirannya.

Adiknya ada enam orang, keenamnya perempuan. Dengan tubuhnya yang kecil ia menjadi putri yang paling bersinar di antara putri-putri cantik lainnya. Sinar itu memancar dari hati dan kecerdasannya. Adik-adiknya memanggilnya dengan sebutan “Kak Aji”, yang berarti Kakak yang mengajar mengaji, sebab dia lah yang bertanggung jawab mengajari ke-enam adiknya mengenal huruf-huruf Kitabullah.

Saya adalah generasi kedua yang keruntung mendapatkan didikan dari dia. Saya memanggilnya “Uak Aji”, sebab saya anak pertama dari adik perempuannya, dan dia pua yang pertama mengajari saya mengaji.

Sepanjang saya mengenalnya, saya tidak menemukan defenisi cacat yang disebutkan orang diam-diam dibelakangnya. Kakinya yang bengkok dan kecil tidak menghalangi langkahnya kemanapun, langkah menuntut ilmu (hingga sarjana), langkah mengajarkan ilmu (Dia cukup lama diamanahi sebagai Kepala Madrasah Diniyah Muhammadiyah dan guru agama di Sekolah Dasar dan Menengah Muhammadiyah), juga langkah berorganisasi (PKK, Nasyiatul Aisiyiah & Aisyiah).

Kaki yang kecil dan bengkok itu juga yang mengantarkannya menggenapkan lima rukun Islam dengan melaksanakan ibadah haji meski sebagian besar orang meragukan kekuatan dan kemampuannya dengan alasan Ibadah haji menuntut fisik yang kuat.

“Tubuh saya boleh kecil, tapi niat dan keinginan saya besar. Fisik saya mungkin tidak sekuat Anda, tapi saya punya sandaran Yang Maha Kuat. Adakah di antara Anda yang meragukan kekuatan dan kemampuan Allah SWT menjaga saya? Biarkan Allah membuktikan keagungan namaNya pada saya, biarkan Allah membuktikan kekuatannya pada saya, hambaNya yang lemah ini, biarkan Allah menunjukkan kemahakuasaanNya pada hamba yang tak memiliki kuasa apa-apa ini” katanya berapi-api, ketika semua pandangan mengkhawatirkan niatnya untuk berhaji.

Dan pekik takbir bergemuruh melepaskan keberangkatannya. Pekik yang lebih dahsyat kembali menggema di halaman Masjid Jami’ ketika menyambut kedatangannya tanpa kurang suatu apapun.

Ia membuktikan, ia tidak pernah cacat hanya karena fisik yang berbeda dari orang lain.

Saya merasa beruntung tumbuh dibawah didikannya yang tegas, disiplin dan siap dengan jeweran ditelinga atau cubitan diperut dan paha. Saya besar diantara tumpukan buku-buku dan segudang majalahnya. Usia SD hingga SMP saya sudah melahap buku-buku HAMKA, Majalah Panji Masyarakat, Kiblat, Tempo, Si Kuncung, Kartini, Gadis, Femina, Sisisipan Si Tongki, Koran Waspada, Suara Muhammadiyah, dll. Saya berkembang dengan asuhannya yang menurut orang membuat saya seperti karbitan, lebih dewasa dari yang seharusnya (meski satu sisi lain, saya merasa kurang menikmati masa kanak-kanak). Sejak SD dia sudah menyertakan saya di kegiatan organisasi yang dia ikuti, mengajari saya untuk mampu berkomunikasi dengan orang lain, menjadi asisten pribadinya untuk mengantarkan surat-surat undangan, dll.

Ia mengasuh saya sebagai putrinya, mendidik saya sebagai muridnya di sekolah dan membimbing saya sebagai sahabat baiknya. Sepanjang ingatan saya, dialah yang selalu menjahitkan baju lebaran dan baju seragam saya dari TK hingga SMP, dia yang membayar uang sekolah saya, yang memberikan jajan dan sesekali membelikan majalah Bobo, bahkan ia juga yang memotong kuku saya setiap hari jumat, agar ketika hari sabtu ia tidak perlu memukul jari saya di sekolah karena kuku-kuku yang panjang dan hitam yang ia sebut seperti kuku monyet.

Bila kelak saya menjulang tinggi, dialah wanita tangguh yang membangun pondasinya, sekian tahun sejak saya balita hingga remaja. Pondasi yang cukup kokoh buat pijakan saya ketika memutuskan untuk sekolah di provinsi sebelah setelah tamat SMP dan hanya pulang setahun dua kali.

SMP adalah ujung kedekatan dan persahabatan kami. Ia melepaskan saya dengan urai tangis yang pilunya masih saya rasakan hingga saat ini. Melepaskan anak sematawayang yang diasuh sejak kecil, seperti melepaskan panah yang tidak mungkin akan kembali.

Saya adalah putri sematawayangnya yang lahir dari kasih sayangnya. Ia tidak akan pernah melahirkan secara biologis, sebab jodohnya tidak menunggunya di dunia yang fana ini melainkan disuatu tempat indah yang ia yakin telah Allah siapkan untuknya.

[email protected]