Seorang Ibu yang Tidak Cantik

Ibu itu tampak letih. Dengan tubuh gemuknya, ia duduk meneduhkan diri di bawah pohon yang rindang. Duduk di kursi kayu yang seolah masih menjadi bagian dari pohon itu. Ia seperti melamun, entah memikirkan apa. Wajahnya biasa saja, dan ya, tidak cantik. Wajah itu hanya memancarkan irama kesabaran seorang ibu. Begitulah kira-kira kesanku.

Tak jauh dari sana, teriakan anak-anak yang tengah bermain di arena outbond terdengar lebih ceria dibandingkan kicau burung-burung di pucuk-pucuk pohon. Berkejaran, berlari, mengatasi rintangan. Tertawa senang, meringis ketakutan, bahkan yang hampir menangis pun, semuanya mendendangkan lagu kegembiraan.

Tiba-tiba seorang anak lelaki bertubuh ramping berlari-lari ke arah ibu tadi. Tanpa intro apa-apa, ia menghambur ke pangkuan sang ibu, dan berteriak senang, “Umi, aku berani! Aku bisa!”

Sang ibu tersenyum lebar, mengimbangi kegembiraan sang anak. Sang anak bercerita detail bagaimana ia melewati detik-detik mendebarkan ketika melakukan flying fox. Ia bercerita dengan susunan kata yang menggemaskan yang menggambarkan saat-saat seru tatkala terbang melintasi danau sambil berteriak.

Sang ibu mendengarkan dengan wajah yang nyata-nyata turut bangga, yang semakin membuncahkan kegembiraan sang anak. Nyatalah bagi sang anak, bahwa sang ibu adalah orang pertama yang berhak mengetahui prestasi terbaiknya. Hanya sang ibu. Bukan orang lain.

Tak lama kegembiraan itu pun terusik, ketika dating seorang anak yang lebih kecil, yang menghambur pula, namun dengan wajah murung. Rupanya ia iri dengan kegagahan kakaknya, dan merajuk untuk dibolehkan menjajal keberanian pula.

Sang ibu sedikit menunduk, membisikkan kata-kata entah apa untuk menghibur sang adik. Adik tadi masih merajuk, memeluk sang ibu dengan air mata yang mulai mengembang. Ibu tadi pun mempererat dekapannya, meluruhkan kegalauan hati sang anak. Bagi sang adik, sang ibu adalah tempat pertama baginya untuk menceritakan seluruh kegalauan hatinya. Bukan orang lain. Dan ia sungguh beruntung memiliki seorang ibu yang memiliki hati seluas samudera, yang mampu menampung apa saja keluh kesah sang anak.

Aku tak tahu apa saja yang dikatakan sang ibu, karena dialog privasi keluarga itu berlangsung lirih. Namun jelas sang adik telah terlipur. Wajahnya berangsur tenang. Keluh kesahnya telah tersampaikan. Sang ibu menampungnya dan menggantinya dengan mengalirkan kasih sayangnya. Kasih sayang yang ternyata mampu meredakan keluh kesahnya.

Pada titik ini, betapa redupnya kecantikan dibandingkan kilau cahaya kasih sayang. Betapa tak berartinya kecantikan di mata sang anak dibandingkan harapannya terhadap limpahan cinta sang ibu.

Sang kakak, yang telah puas berbagi bahagia dengan sang ibu, kembali melesat berlari, meninggalkan sang ibu, dengan semangat yang telah diperbarui. Sang adik menunggu di pangkuan sang ibu.

Bagi kakak yang baru lepas balita itu, dan adik yang masih balita itu, ibu barang kali adalah segalanya. Sehingga wajar jika Islam mengajarkan satu doa yang indah, “Wahai, Rabbku, sayangilah mereka berdua seperti mereka menyayangiku waktu aku kecil.”
Lewat ibulah seseorang pertama kali mengenal kasih sayang, yang dengannya seorang anak manusia bisa belajar bahwa Allah itu Maha Penyayang. Maka guru pertama dari pelajaran cinta dan kasih sayang Allah adalah sang ibu. Wajar jika manusia pertama yang berhak mendapatkan bakti seorang anak manusia adalah sang ibu itu sendiri.

Namun ironisnya, bisa jadi lewat ibu pulalah seorang anak manusia belajar secara keliru tentang hakikat dunia ini. Bisa jadi pula ia keliru memaknai sifat-sifatNya. Seorang ibu yang kasih sayangnya meredup, teredam gejolak duniawi yang memang acap merontokkan keimanan, dapat menjadi guru yang teramat buruk untuk anaknya. Seorang ibu yang kesabarannya berganti dengan kegusaran, kata-kata manisnya terusir oleh hardikan, dan perhatiannya hanya kepada dirinya sendiri, alih-alih kepada anaknya, agaknya adalah seorang ibu yang harus rajin-rajin meminta kepada Allah agar dipulihkan kembali energi kasih sayangnya. Energi yang sejatinya ada pada diri setiap manusia, yang telah Allah titipkan sejak ia lahir.

Ibu yang tak mampu mengenalkan anaknya kasih sayangNya, betapapun cantiknya ia, takkan menjadi pelabuhan bagi anaknya untuk belajar menjadi hamba Allah yang sempurna.

Namun bagaimana jika kita temukan kasih sayang yang berpadu dengan kecantikan? Jika kita menerima anugerah tak terperi seperti ini, kita harus mengimbangi geletaran jiwa ini, dengan kata-kata subhanallah, wal hamdulillah, wallahu akbar!

sabruljamil.multiply.com