Harga Seorang Perempuan

Berapa gerangan harga seorang perempuan?

PERTANYAAN usil itu terus menggelayut di benak saya sepulang dari pameran The 19th Indonesia International Motor Shows (IIMS) 2011 yang dihelat tanggal 22-31 Juli lalu di Jakarta International Expo, Kemayoran, Jakarta Pusat.

Mengusung tema “Sustainable Green Technology” atau Teknologi Hijau Berkelanjutan, IIMS merupakan pameran motor dan mobil terbesar di negeri ini. 256 peserta, terdiri dari 32 agen tunggal pemegang merk (ATPM) dan lebih 220 industri pendukung dan aksesoris, dikunjungi oleh 322.832 orang, dan total transaksi keseluruhan berada di angka Rp 3.274.171.963.750 yang diperoleh dari total transaksi 11.585 unit kendaraan dari masing-masing ATPM.

Sebenarnya apa yang sedang dipamerkan di sana? Mobil, motor, aksesoris kendaraan atau para SPG (sales promotion girl) berpakaian seronok dan rok jauh di atas lutut yang mencetak jelas celana dalam di sebaliknya?

Dijabarkan dalam lampiran SK (Surat Keputusan) Penunjukan dan Pengangkatan serta Pemberian Honorarium Panitia dan Penjaga Stand Pameran IIMS 2011 di instansi tempat saya bekerja, honorarium untuk penjaga stand pameran per hari dari pukul 09.00 sampai 21.00 WIB dihargai Rp. 250.000,-

Menurut Anda, berapa gerangan harga yang pantas untuk honorarium para SPG penjaga stand pameran IIMS itu per hari atau total selama sepuluh hari pameran berlangsung?

***

Lewat tengah malam, antara tanggal 14-19 Maret 2011, saya keluar dari kamar saya di salah satu kamar hotel di bilangan Cisarua, Bogor, tempat saya diklat selama sepekan, untuk hajat mendesak pergi ke warnet. Tidak ada fasilitas wifi di kamar hotel.

Pengalaman saya selama tinggal di Yogyakarta beberapa tahun silam warnet buka 24 jam, namun ternyata warnet-warnet di sekitaran hotel sudah gelap semua bahkan sebelum jarum pendek arloji tegak menjejak angka 12.

Akhirnya saya pun kembali ke kamar hotel untuk istirahat. Tetapi mata saya tak bisa langsung mengatup seketika. Pikiran saya masih terpatri pada sosok seorang perempuan muda, berambut sebahu, berperawakan ramping, menyandang tas di bahu, berdiri mematung di tepi Jalan Raya Puncak-Cisarua tepat di depan area hotel.

Mau pergi ke mana sudah lewat tengah malam begini? Seorang diri, menjelang dini hari. Tapi jika memang untuk sebuah keperluan maha penting, kenapa hilir mudik beberapa angkot yang lewat tak satu pun distopnya?

Malam ini, saya baca di sebuah koran nasional edisi lawas.

Bulan mendatang, Fa akan genap berusia 18 tahun. Namun, saat “tertangkap” razia di Cisarua, Puncak, Kabupaten Bogor, Jawa Barat, ia mengaku telah “menikah” 11 kali dengan turis Timur Tengah. Usia pernikahan itu amat singkat, paling lama 10 hari.

“Biasanya satu atau dua hari, atau paling lama 10 hari. Menikahnya sesuai dengan cara si Arab itu. Kalau saya mau pulang, lalu ditalak sama dia,” tutur Fa.

Dari “kawin” kontrak itu, ia mengaku mendapat uang bervariasi. Bisa ratusan ribu rupiah semalam atau Rp 5 juta-Rp 7 juta seminggu. Uang “kontrak” tersebut dibagi dua dengan makelar yang menghubungkannya dengan turis itu. Penghubung bisa berganti-ganti, yang dikenalnya di beberapa tempat atau melalui akun jejaring sosialnya.

Soal latar belakang tindakannya, Fa bertutur demi uang. [*]

***

Menjelang detik-detik pernikahan adik perempuan saya, awal April 2011, saya bertanya polos padanya. “Apa mas kawin yang kau harapkan dari calon suamimu? Berapa rupiah uang yang kau minta darinya sebagai tebusan dirimu?”

Kurang lebih dia menjawab: emas dua kufu’ (sekitar 14 gram) dan uang tunai Rp. 20 juta ditambah seserahan adat berupa seperangkat pakaian lengkap dengan tetek-bengeknya.

Jawaban itu tak urung membuat saya yang masih perjaka kala itu kebat-kebit juga. Jika setiap pemuda muslim harus menyediakan modal awal sejumlah itu untuk “membeli” label kehalalan seorang muslimah baginya, sepertinya tak perlu heran jika hari ini masih (sangat) banyak ditemui perawan muslimah mendekati usia kepala tiga di sekitar kita.

Maka, segala puji hanya milik Allah semata. Istri saya tak memberatkan saya ketika akan “membeli” dirinya genap sebulan lalu. Cukup dengan mahar sebuah mushaf Al-Burhan dan 3,8 gram emas putih.

Dan, sebuah ikrar suci di hadapan-Nya untuk saling menjaga dan mengasihi hingga sampai ke surga abadi kelak. Amin. (*)

Jakarta Selatan, 15 Agustus 2011 12:56 WIB
http://lakonhidup.wordpress.com

[*] Kompas, Minggu, 12 Juni 2011 hal. 4 rubrik “Metropolitan” di bawah judul Perdagangan Manusia: Setelah Mereka Dirazia, Lalu…