Surat Cendil Untuk Bapak

Sehari-hari banyak kita saksikan; bahkan mungkin kita alami, kesenjangan dalam keberagamaan antara tataran normatif dengan praksis di medan hidup. Iman yang diformulasikan dalam bentuk ritual ibadah, zikir dan tafakkur tidak dipantulkan bayangannya dalam segmen kehidupan. Iman menjadi pohon angker yang tak berbuah manis, tapi pahit dan getir.

“Pak, aku ga habis pikir, kok bisa ya, orang sudah haji dua kali, jamaah dan ta’limnya rajin, tapi sampai hati memperlakukan anak dan isterinya sangat tidak santun”, pak, Hasib, guru Matematika membuka obrolan selepas jam terakhir sekolah.

“ Jangan gossip ah, ga santun juga”, kata saya menimpali seadanya. ” Paling, Bapak lihat di sinetron, kan?”.

” Bukan Pak, ini realitas. Bukan hayalan atau gosip kacangan. Saya keheranan melihat kenyataan demikian. Saya kurang paham soal agama, dan kenyataan demikian menimbulkan teka-teki buat saya. Mengapa orang yang kelihatan soleh itu, bisa berbuat begitu”.

Sebenarnya sudah hampir habis energi saya untuk sekedar menimpali pembicaraan rekan kerja saya yang satu ini. Aktivitas di kelas saja sudah hampir menguras separuh tenaga fisik dan mental saya. Hampir tidak ada gairah lagi untuk membicarakan masalah yang agak berat. Apalagi menyangkut cela dan aib orang lain. Untunglah, ada teman guru yang nimbrung dan banyak cakap pula. Dan saya, menghilang.

Tapi rupanya, obrolan tempo hari itu malah mendapat tempat dalam benak saya. Masalah yang dilontarkan Pak Hasib tidak ikut hilang sebagaimana saya sengaja menghilang ketika ia memancing wacana. Batin saya malah lebih tajam mengorek kenyataan hidup dan mendapat dilema yang lebih rumit tentang hal itu.

Saya teringat sebuah cerita realita imajiner yang menampilkan gambaran utuh teka-teki Pak Hasib dan dilema yang saya temukan. Cerita tentang ”Surat Cendil Pada Bapaknya”.

***

Tersebutlah nama Dulkamid, seorang yang telah berpuluh kali naik haji. Sawah ladangnya lebar, usahanya maju, ternak tak terkira banyaknya, rumahnya besar dan bagus. Ibadahnya rajin, serajin ia mengurus semua harta kekayaannya. Pergaulannya luas, setara dengan luas tanah miliknya yang tersebar di mana-mana. Ilmu agamanya mumpuni tempat banyak orang bertanya dan mengaji. Orang-orang yang mengaji dan meminta nasehatnya menyebutnya dengan Kyai Dulkamid. Penghormatan orang kepadanya lengkap; kaya harta dan ilmunya.

Istri satu-satunya yang bernama Mutingah telah lama sakit. Kesehariannya hanya tergolek di atas dipan tak berdaya seolah menunggu nasib ajal menjemput.

Anak-anak Haji Dulkamid empat orang. Semuanya perempuan masih lajang. Badannya kurus-kurus, matanya cekung, pakaiannya pun lusuh-lusuh. Untuk perempuan lajang layaknya gadisanak orang kaya, penampilan mereka kurang menarik.

Satu hari anak bungsu Haji Dulkamid minggat dari rumah. Saudara-saudaranya telah mencari kemana-mana, tapi sia-sia. Berharap kabar dari para tetangga, juga tak ada. Anak itu pergi tak ketahuan rimbanya.

Suatu pagi di hari kesepuluh keminggatan anak bungsunya, anak sulung Haji Dulkamid menyodorkan secarik kertas kumal. Haji Dulkamid kelihatan kurang senang diganggu istirahatnya. Dihentikan ayunan kursi malasnya dan dicopot cerutu dari bibirnya.

” Apa ini?”, katanya menyelidik.

” Baca saja, Pak. Ada di bawah bantal tempat tidur Cendil”, sahut anak sulungnya takut-takut. Haji Dulkamid membuka lipatan kertas lusuh itu sambil meracau tak karuan. Tapi mendadak Haji Dulkamid terdiam. Mukanya merah padam. Nafasnya naik turun cepat. Keringatnya mengucur deras. Tangannya gemetar membaca sepuluh baris isi kertas lusuh dari Cendil anak bungsunya:

Bapak pelit, bapak kasar, bapak galak, ibu disiksa.
Bapak pelit, bapak kasar, bapak galak, ibu disiksa.
Bapak pelit, bapak kasar, bapak galak, ibu disiksa.
Bapak pelit, bapak kasar, bapak galak, ibu disiksa.
Bapak pelit, bapak kasar, bapak galak, ibu disiksa.
Bapak pelit, bapak kasar, bapak galak, ibu disiksa.
Bapak pelit, bapak kasar, bapak galak, ibu disiksa.
Bapak pelit, bapak kasar, bapak galak, ibu disiksa.
Bapak pelit, bapak kasar, bapak galak, ibu disiksa.
Bapak pelit, bapak kasar, bapak galak, ibu disiksa.

Cendil.

***
Islam satu substansi tata nilai, iman sebuah substansi, ihsan juga sebuah substansi, dan seorang muslim adalah substansi yang lain. Allah menghendaki, keterpautan yang utuh antara Iman, Islam dan Ihsan. Ketiganya menjadi pilar yang harus diamalkan sebagai jalan hidup bagi setiap orang yang berikrar sebagai muslim. Semestinya memang, antara substani tata nilai dangan kepribadian adalah menyatu. Seperti menyatunya Iman, Islam dan Ihsan pada diri Rasulullah SAW, para sahabat ra. dan orang-orang sesudahnya yang taat kepada-Nya.

Pada titik tertentu, begitu banyak orang menyalahkan Islam sebagai agama yang gagal menjadikan ummatnya sebagai manusia arif. Maraknya korupsi, kekerasan, kawin-cerai dan beberapa perilaku menyimpang, dijadikan sebagai amunisi untuk memukul Islam.

adahal masalahnya bukan pada Islamnya, tetapi lebih kepada substansi pribadi muslim yang enggan menjadikan Islam itu sebagai jalan hidup yang kaaffah.

Memang terasa ganjil, apabila seorang yang khusyu ketika di masjid, tetapi menjadi penipu ketika di pasar. Berulang kali ke tanah suci, tetapi mendekam di penjara karena kasus korupsi. Atau seperti cerita seorang ”wanita nakal” setengah baya yang berbisik di sisi laki-laki tamunya setelah mereka kelelahan menghabiskan separuh malam. Keringat masih hangat mengalir dari kedua tubuh mereka.

” Om, apakah Om sudah selesai memakai jasa saya?. Saya minta izin”.

”Mau kemana?”, sahut tamunya itu malas-malasan sambil tangan kanannya masih mengapit tubuh wanita itu.

”Saya mau mandi junub dan tahajjud. Ini waktu sepertiga malam. Mudah-mudahan do’a saya didengar”.

Subhanallah. Seharusnya seperti dulu; seperti Rasulullah, para sahabat dan tabi’in. Di mana Iman, Islam dan Ihsan mendarah daging dalam hati. Menjadi teks saat berbicara dan menjadi energi saat berperilaku.
Semoga.

Abdul
Ciputat, 30 Januari 2009.